- Say…
"Berpikir, terkadang membuat kita mengetahui apa itu sulit, rumit dan ... bahkan sering"
(BO...n...(S)...ai)
***
Nai. Catatannya kini, telah sampai pada judul dengan angka tiga ratus sembilan puluh sembilan. Horeee… 😀 Sebuah kemenangan yang membuatnya berekspresi gembira. Pada suatu sore, dengan disaksikan oleh mentari yang sedang bersinar dengan gemilang, ia kembali melanjutkan langkah. Bersama pancaran rona bahagia yang masih membekas pada wajahnya, Nai tersenyum-senyum sendiri, seraya mengingati tentang kisah perjalanan diri. Ia tidak lagi peduli dengan banyak orang yang ternyata sedang memandangi. Mereka heran, bertanya-tanya di dalam hati, “Apa yang ia alami?.” Tidak lepas pandang yang mereka tebarkan, pada sesosok perempuan yang sedang asyik dengan hape silver-nya. Jeprat! Jepret! Sana sini. Inilah aktivitas yang sedang Nai lakukan. Ia tidak menyadari, bagaimana orang-orang menilainya.
“Enjoy aja lagii…,” begini tanggapan yang ia sampaikan, ketika akhirnya sang sahabat yang bernama Feni, menghampiri. Feni berkata, “Iiich, Teteh lagi ngapain? Geje. Liatin tuch, orang-orang pada merhatiin dari sana.”
“Oiaaa… 😀 ,” sambil tersenyum lebar, ia pun bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan bersama sang sahabat, Feni.
Ternyata, Nai beraktivitas –gak jelas– di sela-sela waktu menunggu Feni yang sedang menyelesaikan keperluannya pada sebuah ruang ATM. Nai berada di parkiran dan sekitarnya, ketika menunggu Feni, sahabatnya. Ia sukses menangkap senyuman matahari sore yang sangat kemilau. Selain itu, Nai juga membawa sekumpulan bonsai yang sedang bersorak-sorai mentertawainya. Derai gelak tawa yang bonsai ekspresinya, membuat Nai ingin mengabadikannya. Hari ini, bonsai sedang tersenyum karena ia bisa berehat di sini, mejeng dan ber-GeJe ria.
Pada hari yang kesekian, Nai tidak tahu pasti jumlahnya. Yang pasti, hari ini adalah hari Selasa. Tanpa banyak bicara, ia segera membuka jendela kaca yang dari tadi tertutup. Hari yang ia nantikan telah tiba. Saatnya menjadikan hari ini lebih bermakna. Inilah salah satu tekad yang terus ia jaga. Entah sudah berapa kali ia mengucapkannya. Meski nada suaranya tidak terdengar. Nai yakin bahwa hari ini tidak akan pernah lagi ada, kalau ia tidak segera memprasastikannya. Hari yang selamanya akan berada dalam ingatan karena ia berkesan. Potret hari ini yang sedang ia lukis, hampir selesai. Dan kini, ia sedang bersiap untuk menyimpan sang potret pada sebuah pigura. Hari Selasa di depan Borma, Cikutra. Begini tema catatan yang akan ia cipta.
Dalam perjalanan pulang, ia terus menjaga ingatannya tentang sebuah suara yang menyapa.
“Lagi apa di sana?”, tanya suara sopran yang mendekatinya. Nai tidak menoleh ke mana-mana, kecuali hanya menyibukkan diri dengan apa yang sedang ia laksana. Karena sebenarnya, memang tidak ada seorangpun di sekitarnya. Lalu, bagaimana dengan suara sopran yang baru saja mengalir hingga Nai mendengarkan nadanya? Apakah ada yang sedang membercandainya?
“Siapa di sana?”, Nai memberanikan diri untuk bertanya. Setelah akhirnya, suara yang sama mengalun lagi, untuk kedua kalinya.
(Hening… tidak ada siapa-siapa, mencekam! Kelam! Seram!. Begini gambaran suasana yang saat ini sedang Nai alami).
Kalau saja ia tidak segera menyadari, entah apa yang saat ini sedang dialaminya. Seperti mimpi yang menghimpit. Ia sesak dan tidak dapat bernapas lagi. Tiba-tiba ia kelu seketika. Dengan tatapan mata yang kosong tanpa cahaya, hanya ada aliran napasnya yang terus berkejaran.
Tiada sesiapapun di sekitarnya. Hingga akhirnya, Nai terduduk dengan kondisi tubuh yang mulai melemas, ia terjatuh, dengan posisi tangan kanan terhimpit oleh tubuhnya yang tirus. Nai tertidur berselimut gelapnya tatapan. Ia tidak menyadari akan hal ini. Lama ia tergeletak begitu saja, tanpa sesiapa yang mengetahui. Hingga akhirnya, Nai pun terjaga beberapa menit kemudian. Masih dengan kondisi tubuh yang lemah, Nai mulai membuka kedua matanya. Berusaha memandangi sekeliling, namun ia tidak kuasa. Jangankan untuk mengangkat tangannya yang sedari tadi terhimpit, untuk membuka dua kelopak mata saja, ia berusaha dengan sepenuh daya dan upaya. Kembali Nai mengusahakan. Agar ia dapat melihat alam tempatnya berada kini. Tidak! Masih tidak berhasil.
Tidak berapa lama kemudian, Nai merasakan ada yang berbeda dengannya. Kepalanya belum lagi mampu berpikir optimal. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Blank, kosong. Beginikah akibat kelelahan? Apakah karena Nai belum mengkonsumsi beberapa suap makanan seharian ini? Ataukah karena belum ada seteguk airpun yang mengalir pada tenggorokan Nai semenjak pagi tadi? Untuk kedua kalinya, Nai tidak sadarkan diri. Ia melemah, tergeletak tanpa makna. Bukan koma. Namun, lagi kelelahan saja. Sampai saya menuliskan laporan ini, Nai masih dalam suasana yang sama. Ku coba mencubit pipinya, menepuk-nepuk pundaknya, menggerak-gerakkan badannya, membangunkan. Namun, Nai belum lagi menunjukkan tanda-tanda siuman.
Lalu, tanpa membuang banyak waktu, saya pun menggendongnya, membawanya pulang. Agar ia terselamatkan. Karena, kalau membiarkannya sendirian seperti tadi, saya tidak akan pernah tahu lagi apa yang akan terjadi dengannya. Bahkan, tidak dapat dipastikan kami akan berjumpa lagi. Ini adalah kesempatan. Yuuuuukkss, Nai-ku sayang. Kita pulang.
Dengan kondisi tubuhnya yang melunglai, Nai terdiam saja di dalam dekapanku. Ia begitu ringan. Seringan angin yang tanpa raga. Ia begitu rapuh, serapuh sayap kupu-kupu yang akan segera meluruh apabila disentuh. Ia begitu kecil, sekecil pepasir di pantai kehidupan. Ia sangat mudah terbawa suasana, seperti aliran air yang bergerak dengan tenangnya, menuju muara rasa. Ia adalah sosok yang selama ini tidak pernah luput dari perhatianku, semenjak kita berkenalan.
“Nai, sahabatku, bangunlah sayang…,” ku oleskan beberapa tetes aroma terapy di sekitar hidungnya yang sedang mengalirkan napas penuh kedamaian. Napas yang ia hembuskan, antara ada dan tiada. Sangat tipis. Dengan penuh kasih sayang, ku tatap lekat wajahnya yang terlihat sangat lelah. Ia tidak mengetahui apa yang aku lakukan padanya. Indera pendengarannya seakan tidak berfungsi lagi, Nai tertidur begitu nyenyaknya. Terlelap. Lamaaa banget!
Saya membaringkan tubuhnya pada tempat tidur yang hari ini beralaskan seprei berwarna pingki. Untuk beberapa lama, saya biarkan ia sendiri. Kemudian, saya pun melangkah pergi. Bukan untuk tidak kembali lagi, namun untuk membawakan warna yang penuh kesegaran padanya. Beberapa tetes air wudu mengalir membasahi beberapa bagian anggota wudu-ku. Tangan yang sedari tadi menjalankan fungsinya untuk meraih, memegang, menarik, kemudian menyimpan file pada bantex, kembali segar. Wajah, yang selama seharian berekspresi entah seperti apa, terasa lebih cantiiiik. 😉 Kedua bola mata yang berkedipan, saling menggoda, mulai cemerlang kembali. Sedangkan kaki-kaki ini yang menopang raga dalam melangkah, turut bersenyuman. Ketika beberapa kali aliran air membasahinya. Ini bukan wudu yang pertama, pada hari ini. Ini adalah aktivitas yang terjadi untuk ke sekian kali, semenjak pagi tadi. Bahkan, ini adalah aktivitas termewah yang mampu mendaulatkan keteduhan pada jiwa, saat ia begitu panas membara. Aktivitas yang menjadi jalan terbukanya mata nan meredup karena mengantuk. Dengan berwudu, kita menjadi lebih mudah ingat pada hari yang pasti. Apakah ini adalah hari Selasa terakhir dalam kehidupan kita? Atau masih ada kesempatan yang berikutnya dalam menapak dunia? Wahai, tiada kita pernah mengetahui walau sedikit saja. Saat akhir usia menjelang, tiada dapat kita memundurkannya walau sesaat. Apakah kita yakin, masih akan berjumpa pada hari yang berikutnya? Kalau bukan saat ini, kapan lagi kita akan merangkai bait-bait senyuman yang berasal dari setetes tinta hati. Hayooo, kita teruskan perjuangan ini.
Sekembali dari kamar mandi, saya kembali menemui Nai. Ia masih dalam posisi yang sama. Mata menutup, dengan napas yang mengalir ringan. Ia belum juga siuman. Keadaan yang membuat saya tidak ingin melihatnya dalam waktu lama.
“Aku sediiiih, kalau engkau begini. Bukankah kita adalah para sahabat yang saling menguatkan? Saat engkau berlama-lama dalam lelapmu yang tenang, lalu bagaimana dengan saya yang menjagaimu? Mengapa engkau begitu tegaaaaa… Tanpa kehadiranmu yang menemaniku menjalani waktu, aku bisa berbuat apa, Nai. Hayooo, bangunlah, sayang,” bertemankan tetesan permata kehidupan yang sudah membanjir, aku menangis sesenggukan di sampingnya. Ku pegang kedua tangannya yang dingin, tanpa tenaga. Ku raba pelipisnya, ku simpan punggung tangan ini, di atas keningnya. Suhu tubuhnya normal.
Beberapa saat kemudian, azan Magribpun berkumandang. Alunan merdu yang terdengar dari masjid terdekat, membuyarkanku seketika. Saat Nai belum lagi siuman, azan menyapa. “Ya, Allah… ampuni dirinya. Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, tolong jaga sahabat hamba. Bimbing ia dalam menjalani keadaan ini. Karena tanpa Pertolongan-Mu, kami tidak akan pernah tahu, mau berbuat apa lagi. Sadarkan ia Ya Rabb, Aamiin…,” diantara isak tangis yang masih tersisa, terselip sebaris doa untuk beliau. Nai. Engkau mampu, sayang. Engkau pasti bisa melalui semua ini dengan baik.
“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran? وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ
Lantunan ayat Al Quran dengan bunyi yang sama, mengalir beberapa kali dari bibir ini. Ya, ayat ini terdapat di Q.S Al Qamar. Ayat yang sama, diulangi lebih dari satu kali. Peringatan yang tertulis, untuk kita hayati. Lalu, maukah kita memahaminya? Bukankah tidak ada yang sia-sia dari apapun yang sedang kita jalani? Termasuk beraneka kejadian yang sedang kita alami sekalipun. Kembalilah pada-Nya, kembalikan semua kepada sumbernya. Niscaya, ketenangan, keteduhan dan ketenteraman kembali kita rasakan. Dengan kembali pada Al Quran, maka kegundahan berganti dengan kesejukan. Kelimbungan akibat lelah dalam perjalanan, tersegarkan oleh bacaan Al Quran. Maka berbahagialah siapapun yang menjalani harinya dengan mengambil pelajaran dari Al Quran, petunjuk hidup sampai akhir zaman.
Saat kita tidak tahu lagi mau ngapain, dunia seakan enggan membersamai. Akhirnya, ia berputar dengan pelan. Akibatnya, kita pun kelimpungan. Terombang ambing dan tanpa arah serta tujuan. Kita penasaran, kemana lagi mau berjalan? Sedangkan hari masih siang. Masih lama waktu menuju malam. Masih banyak kesempatan untuk meneruskan perjalanan. Sedangkan kita lupa arah dan tujuan. Akankah kita terhenti di tengah jalan, lalu memilih untuk pingsan? Waih! Syukur Alhamdulillah… kalau ada yang mau memberikan bantuan. Kalau tidak, maukah kita kehujanan dan kepanasan tanpa perlindungan? Akankah kita kedinginan dan keringatan? Bagaimana dengan langkah-langkah yang pernah kita ukir pada masa sebelum saat ini? Akankah ia tersiakan, kalau kita tidak segera mengambil tindakan? Sungguh! Kesempatan hari ini akan segera berlalu. Tidak banyak lagi waktu kalau hanya kita isi dengan berangan-angan. Bagaimana kalau segera kita lakukan? Adalah tindakan, menjadi jalan hadirnya senyuman. Menulislah atas apa yang engkau alami, engkau rasakan, dan engkau pikirkan. Lalu, tersenyumlah ketika pada suatu waktu yang lain, engkau mempunyai kesempatan untuk membacanya lagi. Ternyata, di dalamnya banyak kejanggalan, kelucuan, keindahan, walau ada tangisan sekalipun, nikmatilah. Karena semua itu adalah bahan pelajaran.
Kalau kita belum lagi mau membagi perasaan, walaupun dalam rangkaian kalimat berwujud tulisan, maka kapan kita akan mengetahui jejak-jejak yang tertinggalkan? Bagaimana kita akan memperoleh pengalaman? Lalu, untuk apa ilmu dan pengetahuan yang selama ini kita usahakan? Apakah ia hanya akan ada dalam pikiran, mengendap, lalu tetap di sana untuk selamanya. Sedangkan kita tidak pernah mempunyai waktu dan kemauan untuk menguraikannya dalam bentuk tulisan.
Lalu, yakinkah kita sedang berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan, saat merangkai sebuah catatan? Walaupun saat itu kita sedang merasakan kondisi yang memprihatinkan? Ai! Sungguh, ini bukanlah tujuan untuk menyalahkanmu teman. Apalagi untuk mempertanyakan keinginanmu untuk membahagiakan teman. Saya yakin, semua kita pasti mengharapkan kebaikan bagi temannya. Namun, pernahkah kita memperhatikan kondisi hati yang membutuhkan perlindungan dan penjagaan? Ia adalah sahabat kita yang paling dekat. Setelah seharian bersamanya dalam menjalankan aktivitas, pernahkah kita memperhatikan bagaimana keadaannya ketika sore menjelang? Sudah berapa banyak energi yang ia keluarkan untuk memenuhi kemauan kita? Bagaimana kita mengucapkan terima kasih padanya yang dengan kerelaan, mengajak kita untuk kembali melanjutkan langkah. Lalu, apa yang telah kita perbuat untuknya, yang saat ini belum juga siuman?
Wahai, Nai… Xixiii.. 😀
Setelah salat Magrib, kemudian melantunkan ayat suci Al Quran, akhirnya saya tersadarkan. Prihatin yang hadir melihat kondisi sang sahabat saat ini, membuatku ingin mendekatinya lagi. Ia tidak boleh sendiri, mengalami hal ini. Ia mesti bangun dan tersenyum lagi. Ia adalah sahabat berbagi. Bagaimana dengan tinta-tintanya yang menetes sebelum saat ini? Akankah tinta itu mengering begitu saja? Lalu, kami tidak sempat menulis lagi? Bukankah saat ini kami masih ada? Kecuali kalau Nai sudah pergi untuk selama-lamanya. Bolehlah, kami tidak melangkah lagi. Karena kalau bukan atas kehendaknya, kami tiada akan pernah mengenalmu, teman.
Ku pandangi wajahnya, sepenuh hati. Dengan terus mengoleskan beberapa titik aroma terapi pada pelipisnya, sekitar hidung, serta pipinya juga tidak ketinggalan. Cup.. cup.. meski ini bukan bedak, namun aku ingin menitipkannya sedikit, di pipi Nai yang masih tertidur pulas. Eits! Tiba-tiba, saya melihat ada gerakan pada bagian tersebut. Pipinya mengembang ke samping kiri dan kanan, secara bersamaan. Sehingga dapat ku lihat wajahnya melebar. Ia tersenyuuuuuuuuuuuummmm. Yesssssssssss 😀
“Engkau sudah siuman, sayang….,” ku sapa Nai dengan lembut. Ku lihat, Nai mulai membuka mata. Perlahan…. Ia mengangkat kedua kelopak matanya. Hingga, dapat ku saksikan kedua telaga bening miliknya. Nai benar-benar banguuunnnnn. Dengan tanpa menjawab sapaku, Nai pun bangkit dari pembaringan. Ia menatap kedua mataku, lekat. Ia membuka kedua lengannya, lebar. Aku tahu, apa yang ia inginkan. Beberapa saat kemudian, kami pun berpelukan. Ia mendekapku erattt. Kami kembali merasakan kedekatan. Dan kami ingin lebih sering begini, menjalani waktu demi waktu dengan kebersamaan. Walaupun ia tanpa raga yang nyata, namun Nai ada.
🙂 😀 🙂