RSS

Tag Archives: seraya

Esok dan seterusnya

Saat kami bermain bersama

Saat kami bermain bersama, February 22nd, 2009.

“Oh, Ibu pikir mau ngajar, jadi guru TK gitu,  😀 ,” tanggap seorang Ibu. Saat kami bertemu di dalam perjalanan, pada suatu pagi. Ketika aku sedang menuju ke tempat beraktivitas yang bukan ke sekolah taman kanak-kanak.  Semoga menjadi doa. Bisikku.

He.

Sedangkan aku hanya mampu tersenyum saat menyimak kalimat yang beliau sampaikan tentang aku. Lalu bertanyaku dengan diri sendiri, “Apakah pantas aku menjadi seorang guru taman kanak-kanak? Dan bagaimana bisa, beliau menilaiku sebagai seorang guru TK.”

Ha.

Dalam bahagia yang menerpa ruang hati, aku tersenyum lagi. Seraya mengingat-ingat kalimat yang beliau sampaikan, hingga saat ini. Dan ingatan tersebut akan terus menyertaiku, sampai aku beraikan ia dalam barisan kalimat-kalimat, seperti saat ini.

Hi.

Untuk menjadi guru, memang merupakan salah satu citaku semenjak dulu. Namun cita itu aku simpan saja di ruang hatiku. Dan tidak pernah lagi aku buka-buka, sampai akhirnya, saat ini pun tiba.  Ketika aku membenarkan kalimat yang Ibu-ibu separuh baya tersebut sampaikan, padaku.

Aku pernah ingin menjadi guru. Lha, bagaimana kalau aku memang tertakdir menjadi guru taman kanak-kanak pada suatu hari nanti? Membayangkannya, aku belum mampu. Dan dengan memandang selembar potretku bersama seorang belia (yang pada waktu itu) merupakan seorang murid taman kanak-kanak, maka aku pun percaya dan yakin, bahwa aku mampu menjadi seorang guru TK.

Ho.

Betul, betul. Aku ingin menjadi jalan sampaikan ilmu dan pengalaman kepada sesiapa saja, selain aku. Termasuk dalam hal ini adalah dengan menjadi seorang guru taman kanak-kanak. Karena beliau-beliau adalah penyampai ilmu, pengalaman dan beraneka ekspresi terhadap murid-murid belia.

Dan aku senang bersama anak-anak. Ah, kapan ya, aku dapat menjadi guru taman kanak-kanak?

***

Aku? Aku senang bersama anak kecil. Dan terkadang aku bertingkah seperti anak kecil. 😀  Ya, terkadang dan tidak jarang, aku begitu mudahnya berekspresi. Sebagaimana halnya anak kecil yang leluasa berekspresi, begitulah aku. Kadang-kadang.

Pernah pula beberapa waktu yang lalu, seseorang bilang, bahwa aku bukan anak kecil lagi. Dan pada saat itu, aku pun berpikir, seraya bertanya, “Benarkah demikian adanya? Benarkah aku bukan anak-anak lagi?” Karena pada saat itu, aku belum menyadari. Bahwa ternyata aku telah bukan anak-anak lagi.

Dan saat itu, merupakan terakhir kalinya aku merasa bahwa aku adalah seorang anak-anak. Pada waktu usiaku sudah lebih dari dua puluhan tahun. Terlambat, mungkin untuk menyadari diri. Namun aku percaya, walaupun aku bukan anak-anak lagi, aku masih akan menjadi diriku. Ya, diriku yang pernah menjalani masa sebagai seorang anak-anak. Dan aku tidak mengetahui dengan pasti, kapan terakhir kali aku mengingat bahwa aku pun pernah menjadi anak-anak? Nah! Ketika akhir waktu itu datang, maka pada saat itu pula aku akan berhenti berekspresi. Hmmm.

***

Bersama ekspresi, hidup yang sedang kita jalani menjadi lebih terasa hidupnya.  Berekspresilah dalam bahagia, pun sebaliknya. And enjoy it. Karena kita akan kembali tertawai ia, kelak. Saat kita menemuinya lagi, ia yang telah menjadi kenangan.

“Engkau penuh dengan ekspresi,” begini bisik seorang teman dekatku, di sela-sela waktu yang kami jalani bersama.

“Engkau si wajah tenang,” begini gelaran yang seorang teman lainnya sampaikan padaku, beberapa tahun yang lalu.

Oh… sungguh bertolak belakang antara keduanya, bukan? Dan aku yakin, aku tetaplah diriku. Walaupun sebelumnya, aku adalah si wajah tenang. Yang kemana-mana membawa wajah tanpa ekspresi yang begitu berarti. Sedangkan saat ini, aku menemukan jalan untuk berekspresi lebih banyak lagi. Yaitu dengan meluahkan segala isi dan suara hati dalam bentuk ekspresi.

I can smiling, laughing, crying, and other expressions. Then I found myself with them all. 

Walaupun aku bukanlah guru TK, namun aku seakan menemui banyak ekspresi anak-anak dalam waktu-waktu yang aku jalani. Saat aku bersama engkau.

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on June 4, 2013 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , ,

Kalau Bukan Hari Ini?

Menghitung hari. Ini yang aku lakukan akhir-akhir ini. Termasuk hari ini. Entah mengapa, rasanya pengen aja.

Hijau Alami

Hijau Alami

Hari ini adalah bagian dari hari-hari terpanjang dalam perjalanan kehidupanku. Hari ini yang menjadi bagian dari hari esokku. Hari ini yang merupakan lanjutan dari hari kemarinku. Dan seluruh hari yang aku jalani dalam kehidupan ini, berasal dari hari ini.

Walaupun telah lama berlalu, namun hari-hari laluku adalah hari ini pada saat itu. Sedangkan hari ini yang sedang aku jalani adalah hari kemarin bagi esokku. Lalu, tentang esok, akan menjadi hari ini pula, namun bukan sekarang.

Ada hari yang pergi, datang, kembali dan terus begitu. Pergantian hari yang mengingatkanku pada manfaat diri. Lalu, bertanyaku padanya, “Apakah manfaat yang ia berikan, pada hari ini?” Ya, dalam hari ini yang sedang aku jalani.

Ach, baru saja aku mengurai tentang diriku. Aku yang sedang menghitung  hari. Seraya menghitung manfaat diriku bersamanya. Lalu, bagaimanakah denganmu? Adakah engkau juga? Engkau yang menjadi bagian dari hari ini. Hari ini yang engkau pun ada di dalamnya.

Engkau yang mungkin saja asyik dengan aktivitas siangmu seperti hari-hari kemarin, ataukah telah berubah? Engkau yang kembali menggeluti aktivitas malammu, sama seperti hari-hari sebelumnya? Ataukah, engkau telah beralih kesibukan, tidak lagi sama dengan masa yang telah berlalu. Ya, kini engkau mempunyai kegiatan baru, kegiatan yang baru pertama kali engkau jalani.

Adakah yang berbeda hari ini?

“Hari ini adalah hari baru, dalam kehidupanku,” engkau berujar dengan dirimu sendiri. Engkau dengan dirimu yang setia menjadi sahabatmu dalam menjalani waktu.

Setiap kita, tentu ingin menjadi lebih baik dari hari kemarin. Dan kita pun berusaha dengan lebih baik, pada hari ini. Dengan demikian, kita dapat mencapai keinginan yang telah terpancang kuat di relung hati. Tentang keinginan untuk menjadi lebih baik.

Tidak seorangpun ingin berlama-lama dalam suasana yang sama. Ia ingin berubah. Termasuk engkau dan aku. Tentu saja kita ingin memberikan yang terbaik, bukan? Oleh  karena itu, berusaha dan terus bergerak untuk menaklukkan hari ini, pun kita lakoni. Ada aneka harapan yang mensenyumi kita ketika pagi mulai menjelang. Ada pesan yang kita terima, saat siang mulai meninggi seiring dengan berkuasanya si raja siang. Ada kesan yang kita peroleh dari sesiapa saja yang menjadi teman kita saat berinteraksi.

Dari semua itu, ada yang menitipkan bahagia, pun sebaliknya.

Dari banyak pesan yang kita terima, salah satu dari banyak pesan tersebut pun ingin kita selipkan pada penghujung hari ini. Ya, agar ia dapat memprasasti walaupun sebaris kalimat adanya. Pesan tentang ketulusan, pesan tentang kejujuran, keikhlasan, maupun kemewahan makna senyuman.

Ada yang penuh dengan ketulusan, memberikan bantuan tanpa kita minta terlebih dahulu. Ada pula yang dengan ikhlas memberi kita pertolongan setelah kita mengajukan pada beliau. Ada yang jujur ketika kita memohon penjelasan, walaupun terlihat berat adanya. Ada yang menebarkan senyuman penuh kemewahan, dan kita pun ingin menjadi bagian dari kemewahan tersebut. Ai! Ku rasakan semua. Semua ada pada hari ini. Hari ini yang sedang aku jalani, hari ini yang beberapa jam lagi akan segera berlalu. Hari ini ku, sungguh penuh dengan warna. Dan aku sangat terkesan dengan hari ini.

Sebelas September, adalah tanggal yang tercantum pada hari ini. Hari Selasa, lebih tepatnya.

Pagi-pagi sekali pada hari ini, aku sudah memulai aktivitas. Aku yang beberapa waktu terakhir sempat berselubung aura engga jelas. Ada yang berbeda aku rasakan, tidak seperti hari-hari sebelumnya. Belakangan ini, aku mengalami. Namun hari ini, pada pagi harinya, aku kembali ingin menjadi sebagaimana diriku yang dulu. Aku yang merupakan diriku. Ia yang sempat hilang beberapa masa lamanya.

“Hah! Hilang kemana?,” terkagetmu menyampaikan ekspresi.

Bukan, bukan hilang ragaku. Aku masih di sini, masih diriku. Namun, aku merasa kehilangan sesuatu yang ku rasa sangat penting bagiku. Kehilangan … Ai! Betapa tidak indahnya kehilangan. Namun, dari kehilangan yang aku rasakan dan aku mengalaminya, maka aku belajar darinya. Aku belajar satu bahan yang belum pernah aku dapatkan di bangku pendidikan formal. Ya, aku belajar bagaimana menyikapinya. Karena, dengan cara demikian, dapat  ku memahami arti kehadirannya. Kehadiran kehilangan? Sungguh aku tidak ingin lagi mengalaminya.

Hari ini, semua kembali normal. Hari ini, aku merasakan hidup lagi. Setelah merasakan seakan-akan mati suri untuk beberapa hari yang lalu. Hilang arah dan tujuanku, aku seakan hampa tanpa cita. Aku mulai berpikir dan merenungkan. Dan puncaknya adalah pagi tadi. Ketika pagi mulai terang oleh cemerlangnya sinar mentari, aku kembali membuka mata hati. Dalam pikirku mengulangi tanya pada seluruh alam.

“Adakah engkau turut berdoa untukku? Doa terbaik yang akhirnya benar-benar sampai padaku. Hingga aku merasakan dampaknya, ada kedamaian yang segera berdatangan, membawa para personelnya untuk bersama-sama menyapaku? Betulkan?” sekali ku ajukan tanya padanya.

Lalu damai pun mensenyumiku seraya berkata, “Teruskanlah berjalan, melangkahlah lagi. Karena hingga pagi ini, engkau masih ada. Engkau masih hidup, dan terbukti dengan napas ringan yang mengalir keluar dan masuk tubuhmu. Sambutlah indahnya hari ini, bersama kebaikan yang siap untuk ia tebarkan padamu pula,” begini pesan alam yang penuh dengan kedamaian padaku.

Lalu, melangkahlah aku dengan dua kaki yang satu persatu bergerak maju. Mulai dari membuka pintu hati, kemudian membuka mata jiwa. Lalu, aku pun membuka daun pintu yang sesungguhnya. Dan akhirnya akupun lolos keluar dari naungan ruang yang menjadi sarana berlindungku untuk beberapa jam saja. Saat ku mulai melangkah, mentari memang sudah mulai meninggi. Namun, belum terasa terik panasnya. Walaupun sudah begitu benderang sinar yang ia pancarkan. Karena, karena apa? Karena memang suasana alam sungguh dinginnya. Brrrr…. dalam suasana yang sama, aku ingat kenangan pertama berada di kota ini. Tentang sambutannya saat kami mulai berkenalan, dulu. Kejadian yang sudah lama berlalu, lebih dari lima tahun yang lalu.

Ai!

Dan, keadaan yang berlangsung tadi pagi dengan suasana khasnya, tidak benar-benar aku rasai. Karena, aku sangat ingin melangkahkan kaki-kaki ini. Untuk menjemput cita, mengunjungi dan mendekatinya. Maka, satu persatu kaki-kaki ini mulai menjejak bumi. Dengan alat pelindung yang sudah tidak asing lagi baginya, ia menjadi lebih tenang saat menempuh jalan. Satu persatu persimpangan kami lewati. Setiap kali berjumpa dengan perempatan ataupun pertigaan, kami berhenti sejenak sebelum melanjutkan langkah-langkah ini. Adapun tujuannya adalah agar kami dapat lebih matang memikirkan, sebelum menetapkan satu keputusan. Ya, sejenak memang kita perlu berdiri dalam melangkah. Agar, tidak mudah kita kembali sebelum benar-benar sampai pada tujuan. Supaya berteguh pula kaki-kaki tekad ini untuk mempertahankan diri. Ketika raga menginginkan untuk berbalik arah. Yah! Kembali lagi kepada niat awal melangkah. Karena siapa kita berangkat dari rumah?

Ada satu pesan Ibunda yang hari ini kembali terngiang di telingaku. Tentang menghadirkan Allah dalam perjalanan. Ketika kita benar-benar tidak lagi mempunyai siapapun, dan kita merasakan itu. Maka yakinlah dan yakinilah benar-benar bahwa kita masih mempunyai Allah Yang Maha Gagah. Wah! Sungguh! Aku merasakan berjalan bersama tatapan terindah yang senantiasa mengawasiku. Aku merasakan benar-benar, tiada pernah sendiri lagi. Setelah beberapa masa yang lalu, memang merasa, bahwa aku benar-benar sendiri.

Hiiiy…

Dapat engkau bayangkan teman, bagaimana perasaanku ketika hal demikian terjadi? Ketika sendiri dalam sunyi, tanpa sesiapa yang menemani. Sungguh! Inginku berlari, menjauhi sunyi yang menyiksa diri. Ingin, ingin sangat ku menuju keramaian, untuk bertemu dengan sesiapa saja yang ingin aku kunjungi. Aku benar-benar rasakan, apa itu sendiri. Aku tidak mengerti dengan apa yang aku alami. Sungguh, aku hanya ingin berlalu dari ruang sunyiku.

Dan hari ini, pagiku yang penuh kemewahan dengan sinar mewah mentari, telah berakhir. Kemudian, berganti dengan aura berbeda, sungguh tak sama. Walaupun sudah seringkali terjadi, namun malam pada hari ini sungguh tidak sama dengan malam-malam yang telah berlalu. Aku benar-benar merasakan hidup kembali. Hidup yang benar-benar hidup, sungguh aku ingin seperti ini lebih lama. Ketika ingatanku mulai menepi, menjelajahi beraneka ekspresi yang aku saksikan siang tadi. Sungguh, ada warna-warni yang aku alami bersamanya. Dan saat ini adalah kesempatan untuk merenungi tentang sikap diri.

Suatu kali, aku berjumpa dengan ekspresi yang menawan hati. Ada senyuman menghiasi wajah yang aku temui. Aku pun tersenyum, membalasi. Aku ingin meniru meneladani dengan sepenuh hati. Agar ada kebahagiaan lain yang menebar di permukaan bumi ini, setiapkali ada aku. Sungguh! Citaku kembali mengungkit-ungkit ruang imajinasi. Aku ingin tersenyum lebih indah pada hari ini. Hari ini yang beberapa saat lagi pastinya akan berlalu, hari ini yang akan ku jelang ;bernama esok hari; hingga hari ini-hari ini berikutnya. Sehingga, ketika aku bersua denganmu, masih ada bahagia yang ku jaga ada untuk kita bagi. Semoga engkaupun dalam suasana hati yang penuh kebahagiaan setiapkali berjumpa denganku. Ya, saat kita bersapa pada hari ini yang sedang kita jalani. Lalu, kita tersenyum bersama.

Berulangkali aku menekuri diri. Aku bertanya padanya, seringkali. Tersenyumku atas sikapnya yang seringkali membuatku tidak mengerti. Dan tidak jarang pula aku kembali menanyainya, setelah aku menyadari. Bahwa sikapnya sungguh-sungguh berbeda hari ini.

Ketika dengan mudahnya ia mengangguk setuju, seraya menjelaskan lebih rinci atas tanya yang sampai padanya. Pun, banyak hal yang mengajari kami untuk mau belajar lagi. Belajar tentang bagaimana semestinya kami menyampaikan ekspresi. Ketika kami benar-benar merasakan kebahagiaan, ketika kami sedang merenungi manfaat diri, apalagi ketika kami kembali menyelami hari ini. Untuk merasakan kesejukan di dalam samuderanya, setiapkali kami alami nuansa yang tidak perlu kami alami.

Bergulir masa dari menit ke jam, tiada terasa. Sungguh cepat sekali. Satu persatu angka-angka jam pun tinggal. Ketika jarum jam terus mengelilingi angka-angka yang sedang berkeliling. Akhirnya, sampailah kita pada saat ini, masih hari ini.

Aku telah kembali lagi mendekat pada pintu yang semenjak pagi turut mendoakan keselamatanku dalam menjalani hari. Ia mensenyumiku dengan indah, ketika pertama kali mata ini bertemu pandang dengannya. Ia masih menjalankan fungsinya seperti semula. Berdiri tegak dengan anggun, sungguh menarik hati. Aku tidak ingin menjadi sepertinya, yang berdiam lama tanpa bergerak sama sekali. Aku ingin terus bergerak, untuk menjadi bagian dari orang-orang yang penuh cita. Karena hari ini aku masih ada di bumi. Bumi yang menjadi jalan bagi kita untuk berani menjejakkan kaki di atasnya semenjak pagi mulai membuka hari.

Bersama para sahabat, kami terus saling menebar manfaat diri. Berlomba-lomba kami melakukan yang terbaik. Bukan untuk sesiapa, namun untuk menunjukkan pada diri kami sendiri. Dan untuk memberikan jawaban padanya, atas banyak tanya yang sempat ia ajukan kepada kami. Tanya yang perlu kami uraikan jawabannya satu persatu dari hari ke hari. Dan dalam hari ini, terdapat salah satu jawaban dari tanya yang kami terima.

Kami adalah aku dengan para sahabat di sini. Sedangkan kita adalah engkau dan aku. Kita, tentu sama-sama mempunyai cita untuk mampu melakukan yang terbaik pada hari ini. Namun dalam kenyataannya, tidak selalu kebaikan yang kita lakukan pun baik di hadapan orang lain. Sekalipun demikian, teruslah bergerak dengan apa yang kita lakukan. Selagi kita yakin dengan apa yang sedang kita upayakan, maka secara berangsur-angsur kita juga dapat meyakinkan orang lain. Hanya saja, tidak sedikit dari kita yang akhirnya segera percaya dengan apa yang orang lain sampaikan tentang siapa kita. Setelah itu, kita pun menelan mentah-mentah tanpa mencernanya terlebih dahulu. Lalu, memandang diri kita pun begitu. Padahal, jauh nun di dalam hati yang paling dalam, kita sangat tahu siapa kita yang sebenarnya. Sungguh, sungguh miris apabila menjalani hari ini dengan cara begini. Karena perlahan-lahan kita akan tidak mengenal lagi, siapakah diri ini?

Teman, walau bagaimanapun adanya, engkau memang tidak selalu dapat membahagiakan semua orang. Namun engkau masih dapat menciptakan walau setetes kebahagiaan di hati beliau yang sebenarnya berbahagia bersamamu. Walaupun beliau memang tidak menyampaikan padamu. Akan tetapi engkau dapat menyaksikan dari sikap yang beliau tampilkan setiap kali berjumpa denganmu. Mungkin saja beliau berkata tidak menyukaimu. Benar apabila beliau pernah menyampaikan kalimat bahwa beliau kecewa dengan apa yang engkau lakukan. Namun yakinlah bahwa engkau dapat mengetahui bahwa beliau ternyata membutuhkan kehadiranmu. Apalagi ketika engkau tiada di sisi beliau. Dan pada saat yang bersamaan, ada tanya yang beliau layangkan pada sesiapa yang selama ini dekat denganmu, “Kemanakah si A, apakah ia sudah kembali?”

Begini tanya yang beliau sampaikan, tanya yang terkirim untuk menanyakan keberadaanmu, apabila namamu adalah “A”. Dan beliau akan kembali mengajukan tanya yang sama, ketika engkau belum lagi hadir. Saat itu, engkau memang sedang pergi untuk beberapa lama.

Nah! Setelah engkau kembali, maka engkau dapat menyaksikan ada jawaban yang beliau terima secara tidak langsung. Beliau bahagia sungguh senang, saat menyaksikan engkau kembali dengan selamat. Engkau bermanfaat bagi beliau. Dan tahukah engkau, bahwa engkau benar-benar bermanfaat??

Lalu, jauh di dalam ruang hatimu yang paling sunyi, engkau pun menemukan jawaban dari tanya yang engkau terima dari dirimu sendiri. Tentang tanya yang engkau sampaikan pada dirimu, tentang manfaatmu. Engkau dapat menyaksikan langsung, hari ini. Ya, pada hari ini. Sudah berapa banyak yang menanyakanmu ketika engkau tidak hadir bersama beliau? Lalu, ketika engkau ada, apa yang dapat engkau buktikan pada beliau bahwa engkau ada? Ai! Sungguh, hanya hari ini engkau mempunyai kesempatan untuk melakukan yang terbaik. Sehingga citamu bukan lagi berada jauh di ujung harapan. Namun, telah menjadi kenyataan. Adakah engkau menemukan perbedaan di antara keduanya?

Cc: Sebelas September 

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on September 11, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , , , , , , , , ,

Exist ni Yeeee…

Say...
Say…
"Berpikir, terkadang membuat kita mengetahui apa itu sulit, rumit dan ... bahkan sering"
(BO...n...(S)...ai)

*** 

Nai. Catatannya kini, telah sampai pada judul dengan angka tiga ratus sembilan puluh sembilan.  Horeee… 😀  Sebuah kemenangan yang  membuatnya berekspresi gembira. Pada suatu sore, dengan disaksikan oleh mentari yang sedang bersinar dengan gemilang, ia kembali melanjutkan langkah. Bersama pancaran rona bahagia yang masih membekas pada wajahnya, Nai tersenyum-senyum sendiri, seraya mengingati tentang kisah perjalanan diri. Ia tidak lagi peduli dengan banyak orang yang ternyata sedang memandangi. Mereka heran, bertanya-tanya di dalam hati, “Apa yang ia alami?.” Tidak lepas pandang yang mereka tebarkan, pada sesosok perempuan yang sedang asyik dengan hape silver-nya. Jeprat! Jepret! Sana sini. Inilah aktivitas yang sedang Nai lakukan. Ia tidak menyadari, bagaimana orang-orang menilainya.

“Enjoy aja lagii…,” begini tanggapan yang ia sampaikan, ketika akhirnya sang sahabat yang bernama Feni, menghampiri. Feni berkata, “Iiich, Teteh lagi ngapain? Geje. Liatin tuch, orang-orang pada merhatiin dari sana.”

“Oiaaa… 😀 ,” sambil tersenyum lebar, ia pun bersiap-siap untuk meneruskan perjalanan bersama sang sahabat, Feni.

 Ternyata,  Nai beraktivitas –gak jelas– di sela-sela waktu menunggu Feni yang sedang menyelesaikan keperluannya pada sebuah ruang ATM. Nai berada di parkiran dan sekitarnya, ketika menunggu Feni, sahabatnya. Ia sukses menangkap senyuman matahari sore yang sangat kemilau. Selain itu, Nai juga membawa sekumpulan bonsai yang sedang bersorak-sorai mentertawainya. Derai gelak tawa yang bonsai ekspresinya, membuat Nai ingin mengabadikannya. Hari ini, bonsai sedang tersenyum karena ia bisa berehat di sini, mejeng dan ber-GeJe ria.

Pada hari yang kesekian, Nai tidak tahu pasti jumlahnya. Yang pasti, hari ini adalah hari Selasa. Tanpa banyak bicara, ia segera membuka jendela kaca yang dari tadi tertutup. Hari yang ia nantikan telah tiba. Saatnya menjadikan hari ini lebih bermakna. Inilah salah satu tekad yang terus ia jaga. Entah sudah berapa kali ia mengucapkannya. Meski nada suaranya tidak terdengar. Nai yakin bahwa hari ini tidak akan pernah lagi ada, kalau ia tidak segera memprasastikannya. Hari yang selamanya akan berada dalam ingatan karena ia berkesan. Potret hari ini yang sedang ia lukis, hampir selesai. Dan kini, ia sedang bersiap untuk menyimpan sang potret pada sebuah pigura. Hari Selasa di depan Borma, Cikutra.  Begini tema catatan yang akan ia cipta.

Dalam perjalanan pulang, ia terus menjaga ingatannya tentang sebuah suara yang menyapa.

“Lagi apa di sana?”, tanya suara sopran yang mendekatinya. Nai tidak menoleh ke mana-mana, kecuali hanya menyibukkan diri dengan apa yang sedang ia laksana. Karena sebenarnya, memang tidak ada seorangpun di sekitarnya. Lalu, bagaimana dengan suara sopran yang baru saja mengalir hingga Nai mendengarkan nadanya? Apakah ada yang sedang membercandainya?

“Siapa di sana?”, Nai memberanikan diri untuk bertanya. Setelah akhirnya, suara yang sama mengalun lagi, untuk kedua kalinya.

 (Hening… tidak ada siapa-siapa, mencekam! Kelam! Seram!. Begini gambaran suasana yang saat ini sedang Nai alami).  

Kalau saja ia tidak segera menyadari, entah apa yang saat ini sedang dialaminya. Seperti mimpi yang menghimpit. Ia sesak dan tidak dapat bernapas lagi. Tiba-tiba ia kelu seketika. Dengan tatapan mata yang kosong tanpa cahaya, hanya ada aliran napasnya yang terus berkejaran.

Tiada sesiapapun di sekitarnya. Hingga akhirnya, Nai terduduk dengan kondisi tubuh yang mulai melemas, ia terjatuh, dengan posisi tangan kanan terhimpit oleh tubuhnya yang tirus. Nai tertidur berselimut gelapnya tatapan. Ia tidak menyadari akan hal ini. Lama ia tergeletak begitu saja, tanpa sesiapa yang mengetahui. Hingga akhirnya, Nai pun terjaga beberapa menit kemudian. Masih dengan kondisi tubuh yang lemah, Nai mulai membuka kedua matanya. Berusaha memandangi sekeliling, namun ia tidak kuasa. Jangankan untuk mengangkat tangannya yang sedari tadi terhimpit, untuk membuka dua kelopak mata saja, ia berusaha dengan sepenuh daya dan upaya. Kembali Nai mengusahakan. Agar ia dapat melihat alam tempatnya berada kini. Tidak! Masih tidak berhasil.

Tidak berapa lama kemudian, Nai merasakan ada yang berbeda dengannya. Kepalanya belum lagi mampu berpikir optimal. Ia tidak ingat apa-apa lagi. Blank, kosong. Beginikah akibat kelelahan? Apakah karena Nai belum mengkonsumsi beberapa suap makanan seharian ini? Ataukah karena belum ada seteguk airpun yang mengalir pada tenggorokan Nai semenjak pagi tadi? Untuk kedua kalinya, Nai tidak sadarkan diri. Ia melemah, tergeletak tanpa makna.  Bukan koma. Namun, lagi kelelahan saja. Sampai saya menuliskan laporan ini, Nai masih dalam suasana yang sama. Ku coba mencubit pipinya, menepuk-nepuk pundaknya, menggerak-gerakkan badannya, membangunkan. Namun, Nai belum lagi menunjukkan tanda-tanda siuman.

Lalu, tanpa membuang banyak waktu, saya pun menggendongnya, membawanya pulang. Agar ia terselamatkan. Karena, kalau membiarkannya sendirian seperti tadi, saya tidak akan pernah tahu lagi apa yang akan terjadi dengannya. Bahkan, tidak dapat dipastikan kami akan berjumpa lagi. Ini adalah kesempatan. Yuuuuukkss, Nai-ku sayang. Kita pulang.

Dengan kondisi tubuhnya yang melunglai, Nai terdiam saja di dalam dekapanku. Ia begitu ringan. Seringan angin yang tanpa raga. Ia begitu rapuh, serapuh sayap kupu-kupu yang akan segera meluruh apabila disentuh. Ia begitu kecil, sekecil pepasir di pantai kehidupan. Ia sangat mudah terbawa suasana, seperti aliran air yang bergerak dengan tenangnya, menuju muara rasa. Ia adalah sosok yang selama ini tidak pernah luput dari perhatianku, semenjak kita berkenalan.

“Nai, sahabatku, bangunlah sayang…,” ku oleskan beberapa tetes aroma terapy di sekitar hidungnya yang sedang mengalirkan napas penuh kedamaian. Napas yang ia hembuskan, antara ada dan tiada. Sangat tipis. Dengan penuh kasih sayang, ku tatap lekat wajahnya yang terlihat sangat lelah. Ia tidak mengetahui apa yang aku lakukan padanya. Indera pendengarannya seakan tidak berfungsi lagi, Nai tertidur begitu nyenyaknya. Terlelap. Lamaaa banget!

Saya membaringkan tubuhnya pada tempat tidur yang hari ini beralaskan seprei berwarna pingki. Untuk beberapa lama, saya biarkan ia sendiri. Kemudian, saya pun melangkah pergi. Bukan untuk tidak kembali lagi, namun untuk membawakan warna yang penuh kesegaran padanya. Beberapa tetes air wudu mengalir membasahi beberapa bagian anggota wudu-ku. Tangan yang sedari tadi menjalankan fungsinya untuk meraih, memegang, menarik, kemudian menyimpan file pada bantex, kembali segar. Wajah, yang selama seharian berekspresi entah seperti apa, terasa lebih cantiiiik. 😉 Kedua bola mata yang berkedipan, saling menggoda, mulai cemerlang kembali. Sedangkan kaki-kaki ini yang menopang raga dalam melangkah, turut bersenyuman. Ketika beberapa kali aliran air membasahinya. Ini bukan wudu yang pertama, pada hari ini. Ini adalah aktivitas yang terjadi untuk ke sekian kali, semenjak pagi tadi. Bahkan, ini adalah aktivitas termewah yang mampu mendaulatkan keteduhan pada jiwa, saat ia begitu panas membara. Aktivitas yang menjadi jalan terbukanya mata nan meredup karena mengantuk. Dengan berwudu, kita menjadi lebih mudah ingat pada hari yang pasti.  Apakah ini adalah hari Selasa terakhir dalam kehidupan kita? Atau masih ada kesempatan yang berikutnya dalam menapak dunia? Wahai, tiada kita pernah mengetahui walau sedikit saja. Saat akhir usia menjelang, tiada dapat kita memundurkannya walau sesaat. Apakah kita yakin, masih akan berjumpa pada hari yang berikutnya? Kalau bukan saat ini, kapan lagi kita akan merangkai bait-bait senyuman yang berasal dari setetes tinta hati. Hayooo, kita teruskan perjuangan ini.

Sekembali dari kamar mandi, saya kembali menemui Nai. Ia masih dalam posisi yang sama. Mata menutup, dengan napas yang mengalir ringan. Ia belum juga siuman. Keadaan yang membuat saya tidak ingin melihatnya dalam waktu lama.

Aku sediiiih, kalau engkau begini.  Bukankah kita adalah para sahabat yang saling menguatkan? Saat engkau berlama-lama dalam lelapmu yang tenang, lalu bagaimana dengan saya yang menjagaimu? Mengapa engkau begitu tegaaaaa… Tanpa kehadiranmu yang menemaniku menjalani waktu, aku bisa berbuat apa, Nai. Hayooo, bangunlah, sayang,” bertemankan tetesan permata kehidupan yang sudah membanjir, aku menangis sesenggukan di sampingnya. Ku pegang kedua tangannya yang dingin, tanpa tenaga. Ku raba pelipisnya, ku simpan punggung tangan ini, di atas keningnya. Suhu tubuhnya normal.

Beberapa saat kemudian, azan Magribpun berkumandang. Alunan merdu yang terdengar dari masjid terdekat, membuyarkanku seketika. Saat Nai belum lagi siuman, azan menyapa. “Ya, Allah… ampuni dirinya. Engkau Maha Pengasih dan Penyayang, tolong jaga sahabat hamba. Bimbing ia dalam menjalani keadaan ini. Karena tanpa Pertolongan-Mu, kami tidak akan pernah tahu, mau berbuat apa lagi. Sadarkan ia Ya Rabb, Aamiin…,” diantara isak tangis yang masih tersisa, terselip sebaris doa untuk beliau. Nai. Engkau mampu, sayang. Engkau pasti bisa melalui semua ini dengan baik.

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?  وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

 Lantunan ayat Al Quran dengan bunyi yang sama, mengalir beberapa kali dari bibir ini. Ya, ayat ini terdapat di Q.S Al Qamar. Ayat yang sama, diulangi lebih dari satu kali. Peringatan yang tertulis, untuk kita hayati. Lalu, maukah kita memahaminya? Bukankah tidak ada yang sia-sia dari apapun yang sedang kita jalani? Termasuk beraneka kejadian yang sedang kita alami sekalipun. Kembalilah pada-Nya, kembalikan semua kepada sumbernya. Niscaya, ketenangan, keteduhan dan ketenteraman kembali kita rasakan. Dengan kembali pada Al Quran, maka kegundahan berganti dengan kesejukan. Kelimbungan akibat lelah dalam perjalanan, tersegarkan oleh bacaan Al Quran. Maka berbahagialah siapapun yang menjalani harinya dengan mengambil pelajaran dari Al Quran, petunjuk hidup sampai akhir zaman.

Saat kita tidak tahu lagi mau ngapain, dunia seakan enggan membersamai. Akhirnya, ia berputar dengan pelan. Akibatnya, kita pun kelimpungan. Terombang ambing dan tanpa arah serta tujuan. Kita penasaran, kemana lagi mau berjalan? Sedangkan hari masih siang. Masih lama waktu menuju malam. Masih banyak kesempatan untuk meneruskan perjalanan. Sedangkan kita lupa arah dan tujuan. Akankah kita terhenti di tengah jalan, lalu memilih untuk pingsan? Waih! Syukur Alhamdulillah… kalau ada yang mau memberikan bantuan. Kalau tidak, maukah kita kehujanan dan kepanasan tanpa perlindungan? Akankah kita kedinginan dan keringatan? Bagaimana dengan langkah-langkah yang pernah kita ukir pada masa sebelum saat ini? Akankah ia tersiakan, kalau kita tidak segera mengambil tindakan? Sungguh! Kesempatan hari ini akan segera berlalu. Tidak banyak lagi waktu kalau hanya kita isi dengan berangan-angan. Bagaimana kalau segera kita lakukan? Adalah tindakan, menjadi jalan hadirnya senyuman. Menulislah atas apa yang engkau alami, engkau rasakan, dan engkau pikirkan. Lalu, tersenyumlah ketika pada suatu waktu yang lain, engkau mempunyai kesempatan untuk membacanya lagi. Ternyata, di dalamnya banyak kejanggalan, kelucuan, keindahan, walau ada tangisan sekalipun, nikmatilah. Karena semua itu adalah bahan pelajaran.

Kalau kita belum lagi mau membagi perasaan, walaupun dalam rangkaian kalimat berwujud tulisan, maka kapan kita akan mengetahui jejak-jejak yang tertinggalkan? Bagaimana kita akan memperoleh pengalaman? Lalu, untuk apa ilmu dan pengetahuan yang selama ini kita usahakan? Apakah ia hanya akan ada dalam pikiran, mengendap, lalu tetap di sana untuk selamanya. Sedangkan kita tidak pernah mempunyai waktu dan kemauan untuk menguraikannya dalam bentuk tulisan.

Lalu, yakinkah kita sedang berbagi pengalaman dan ilmu pengetahuan, saat merangkai sebuah catatan? Walaupun saat itu kita sedang merasakan kondisi yang memprihatinkan? Ai! Sungguh, ini bukanlah tujuan untuk menyalahkanmu teman. Apalagi untuk mempertanyakan keinginanmu untuk membahagiakan teman. Saya yakin, semua kita pasti mengharapkan kebaikan bagi temannya. Namun, pernahkah kita memperhatikan kondisi hati yang membutuhkan perlindungan dan penjagaan? Ia adalah sahabat kita yang paling dekat. Setelah seharian bersamanya dalam menjalankan aktivitas, pernahkah kita memperhatikan bagaimana keadaannya ketika sore menjelang? Sudah berapa banyak energi yang ia keluarkan untuk memenuhi kemauan kita? Bagaimana kita mengucapkan terima kasih padanya yang dengan kerelaan, mengajak kita untuk kembali melanjutkan langkah. Lalu, apa yang telah kita perbuat untuknya, yang saat ini belum juga siuman?

Wahai, Nai… Xixiii.. 😀

Setelah salat Magrib, kemudian melantunkan ayat suci Al Quran, akhirnya saya tersadarkan.  Prihatin yang hadir melihat kondisi sang sahabat saat ini,  membuatku ingin mendekatinya lagi. Ia tidak boleh sendiri, mengalami hal ini. Ia mesti bangun dan tersenyum lagi. Ia adalah sahabat berbagi. Bagaimana dengan tinta-tintanya yang menetes sebelum saat ini? Akankah tinta itu mengering begitu saja? Lalu, kami tidak sempat menulis lagi? Bukankah saat ini kami masih ada? Kecuali kalau Nai sudah pergi untuk selama-lamanya. Bolehlah, kami tidak melangkah lagi. Karena kalau bukan atas kehendaknya, kami tiada akan pernah mengenalmu, teman.

Ku pandangi wajahnya,  sepenuh hati. Dengan terus mengoleskan beberapa titik aroma terapi pada pelipisnya, sekitar hidung, serta pipinya juga tidak ketinggalan. Cup.. cup.. meski ini bukan bedak, namun aku ingin menitipkannya sedikit, di pipi Nai yang masih tertidur pulas. Eits! Tiba-tiba, saya melihat ada gerakan pada bagian tersebut. Pipinya mengembang ke samping kiri dan kanan, secara bersamaan. Sehingga dapat ku lihat wajahnya melebar. Ia tersenyuuuuuuuuuuuummmm. Yesssssssssss 😀

“Engkau sudah siuman, sayang….,” ku sapa Nai dengan lembut. Ku lihat, Nai mulai membuka mata. Perlahan…. Ia mengangkat kedua  kelopak matanya. Hingga, dapat ku saksikan kedua telaga bening miliknya. Nai benar-benar banguuunnnnn. Dengan tanpa menjawab sapaku, Nai pun bangkit dari pembaringan. Ia menatap kedua mataku, lekat. Ia membuka kedua lengannya, lebar. Aku tahu, apa yang ia inginkan. Beberapa saat kemudian, kami pun berpelukan. Ia mendekapku erattt. Kami kembali merasakan kedekatan. Dan kami ingin lebih sering begini, menjalani waktu demi waktu dengan kebersamaan. Walaupun ia tanpa raga yang nyata, namun Nai ada.

🙂 😀 🙂

 

 
Leave a comment

Posted by on February 14, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , ,

I am Enjoy Your Smile

This slideshow requires JavaScript.

Siapa kita? Mana kontribusi yang dapat kita upayakan? Lalu, kapan kita memulainya? Atau cukupkah hanya menjadi penonton saja? Yang bersorak riang dan menggemuruhkan persada, ketika kemenangan telah tiba. Lalu mengungkapkan berbagai ekspresi saat kekalahan menggoda.

“Tim yang unggul tercipta dari kumpulan orang-orang yang mengetahui tujuan dan memahami perannya, lalu mereka bergerak bersama.”

Dan tahukah kita, bahwa kita adalah bagian dari tim. Tim yang sedang bergerak. Bersama kita bisa. Yes! Engkau, aku, dia, mereka, beliau-beliau yang ada di sana, sesungguhnya sedang bergerak pula. Untuk mengambil peran masing-masing. Peran yang ketika setiap kita memahaminya sebelum bergerak, maka kita dapat mencapai tujuan yang telah kita ketahui.

Tim bukanlah seseorang. Tim bukanlah satu, atau personel. Tim bukanlah pribadi yang berdiri sendiri. Namun, sebuah tim terbentuk dari pribadi-pribadi yang memang satu dan sendiri. Akan tetapi, setiap pribadi sedang bergerak sesuai dengan peran yang semestinya ia ada di sana.

Tim yang unggul, pada akhirnya akan mencapai kemenangan. Kemenangan tersebut menjadi ujung dari pergerakan yang dilancarkan oleh masing-masing pribadi. Pribadi yang memahami perannya. Dalam bergerak, adakalanya, mereka berdekatan. Namun, tidak jarang mereka berjauhan. Pada sebuah kesempatan mereka bersebelahan, namun seringkali mereka mengambil jarak. Termasuk saat-saat menuju kemenangan menjelang. Tidak semestinya mereka berdekatan, selamanya. Karena, dari jarak yang membatasi itulah mereka mengerti bahwa memang, di sanalah mereka seharusnya berada. Lalu, mengkaji ulang tentang peran diri. Kemudian bergerak lagi, seraya saling mengirimkan pesan lewat gerak dan tatapan. “Yuuuks kita lanjutkan perjuangan ini“, sapa jiwa mereka yang telah lama bersatu.

Seperti halnya permainan sepak bola yang terdiri dari kesebelasan. Kesebelasan? 😀 Iya. Hahaa…. saya aslinya kurang mengerti tentang seluk beluk persepakbolaan. Namun demikian, saya ingin mengambil pelajaran dari aktivitas para pemain sepak bola, yang sempat saya saksikan tadi pagi. Ya. Foto-foto di atas, saya bidikkan di sela-sela waktu istirahat setelah puas berbadminton ria, di taman depan tugu, Gazibu.  “Para pemainnya beraksi di mana aja, yaaa…. Lihatlah… lihatlah teman, walaupun sarana yang mereka gunakan bukan lapangan hijauuuuuuuuu, namun semua terlihat enjoy dalam bermain“, begini komentar dari penonton.

Oia, ternyata ada jasa persewaan raket dan cock, lho… di lokasi“, saya dan Kaito baru tahu akhir-akhir ini. Hoohooo… So, iseng-isenglah kita menyewa. Adapun biaya sewa satu paketnya “Five Thousands Rupiahs Only“. Ini untuk satu kali sewa. Sedangkan waktu untuk permainan, berapa lama? Wwaaaaoooooo, ternyata bebaaaaaaaas, seeeeeeeeeepppuasnya. Mau sampai sore juga boleh. Secape’nya. Nah! Saya berdua dengan Kaito, memanfaatkan waktu pagi yang cerah berseri dalam libur kali ini, bertemankan mereka. Meskipun sisa ngantuk masih ada.  Tapi kalau sudah pagi, kita pasti bangun. Engga mau kalah dong, sama mentari yang hadir membawa senyuman terindah hari ini.

Dalam berjuang, ada waktunya untuk menikmati sekeliling. Pun ada waktunya untuk melanjutkan langkah-langkah dengan enjoy. Pada masa yang lainnya, kita serius mengayunkan gerak. Ai! Semua juga ada waktunya. Pada saat berjuang, tidak selamanya kita berada di bawah terik panas mentari yang menyengat, pun tidak selamanya perjalanan yang kita tempuh berkerikil dan berbatu. Yakinlah, jalan beraspal yang mulus dan indah itu, akan kita jelang pula, wahai teman. So, teruslah bergerak di manapun engkau berada. Tetaplah melangkahkan kaki, saat engkau menempuhi jalan penuh kerikil-kerikil kecil dan berbatu. Kalau tidak bergerak, tentu saja kita tidak akan berpindah. Intinya, salah satu solusi untuk dapat mencapai tujuan adalah,  “Kembalikan senyumanmu dengan mengingatku“, sapa mentari seraya mengedipkan matanya. Silau.

Ketika lelah engkau dalam melangkah, berehatlah sejenak. Pilihlah tempat yang segar, teduh dan bersih. Lalu, nikmatilah waktu rehatmu yang hanya sebentar itu dengan terus mengingat-NYA. Ya, kemudian setelah kebugaran kembali menyentuh ruang jiwamu, kumpulkan lagi perlengkapan yang tadi engkau bawa dalam melangkah. Terus, bergeraklah lagi. Ya, begitu seterusnya. Agar engkau mengerti, bahwa ada yang membutuhkan kontribusimu, teman. Karena engkau penting!

Teman, bukankah engkau adalah bagian dari tim yang unggul? Lalu, di  mana peranmu saat ini? Sudahkah engkau mengetahui tujuanmu? Ada siapa saja bersamamu, kini? Oia? Ketika di sampingmu sedang ada yang menemani, teruslah bergerak dan saling menyemangati.

Sure? Engkau lagi sendiri? Tidak, sekali lagi tidak. Para sahabat sedang ada di kejauhan, ia pun sedang bergerak. Lihatlah, senyumannya yang menebar saat ini, karena menyaksikanmu.  Karena beliau bahagia dapat menemukanmu. Karena beliau bahagia akan bersama-sama denganmu. Balaslah senyuman itu, karena bisa jadi senyuman yang sedang engkau saksikan kini adalah senyumannya yang pertama atau malah sebaliknya. Sudahkah engkau mengenal beliau dengan baik?

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on December 18, 2011 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , , , ,