RSS

Tag Archives: sapaan

Pesan Ibu

Ibu

Ibu

Hijau adalah warna kesukaanmu, anakku. Dua kali engkau datang menemuiku. Untuk meminta izinkah? Memohon restu?

Sebelum melanjutkan langkah-langkahmu, meneruskan niat hingga berwujud. Tak lupa engkau menghampiriku. Engkau sungguh berbudi. Baik, penuh dengan tatakrama. Bahagianya aku menatap wajahmu yang kini tersenyum lebih cerah. Ya, untukmu anakku,  permata hati belahan jiwa.  Ibu merestuimu, merelakan keputusanmu. Semoga untuk selanjutnya, semakin ringan langkah-langkahmu dalam menjejakkan kaki di bumi ini. Ibu suka gayamu, Nak!

Engkau anakku, meski kita belum pernah jumpa. Engkau buah hatiku walaupun kita belum pernah bersapa. Engkau kini adalah bagian dari kehidupanku. Ini catatan, calon Ibu.

Engkau yang terlahir dari rahim seorang Ibu, adalah seorang perempuan. Perempuan muda, yang kini mulai beranjak dewasa. Meskipun baru seperempat abad lebih usiamu. Ya, dari sorot matamu, gaya bicaramu, dan gerak gerikmu. Aku tahu, akan hal itu. Walaupun dari pandangan mata jiwa di kejauhan, aku dapat memandang maksud dan tujuanmu. Engkau mendatangiku, ketika kelam  malam mulai menepi. Menjelang dini hari. Dalam bait-bait mimpi yang sedang merangkai kata secerah sinar mentari, engkau turut menyusunnya. Satu persatu, kita berai ia. Adakah engkau menyadari akan hal ini? Walau hanya untuk beberapa lama, wahai sang buah hati.

Ibu, bukan panggilan dengan kata seperti ini yang engkau ucapkan padaku. Bukan pula sapaan salam sebagai pembuka pertemuan. Bukan, bukan. Namun, hanya sorot  matamu yang berbicara, untuk ungkapkan maksud kedatanganmu, menemuiku. Saat itu, aku sedang terlelap dalam tidurku. Mimpi berjumpa denganmu, wahai putri jelita. Engkau sungguh ayu.

Dengan kostum kebanggaanmu yang engkau kenakan, tergambar jelas kebahagiaanmu. Engkau tidak tersenyum, hanya memasang wajah penuh kesungguhan. Bahwa engkau betul-betul serius. Keseriusanmu itu, menjelma wujud dirimu.  Ia yang mewakilimu. Walaupun sebenarnya, ragamu pun sedang dalam kondisi lelap yang nyenyak. Ingatkah engkau, Nak… bahwa engkau pernah mendatangiku. Karena di sebalik ingatan, kan tercipta pertemuan. Meskipun di alam hayalan.

Mendatangiku, engkau tanpa suara. Walaupun kita bertatapan, tak bersapa. Ya, seingatku, memang begitu.

Terlelapku lebih lama, dalam rengkuhan selimut waktu. Hingga akhirnya tersadarku, setelahnya. Engkau tiada lagi bersamaku. Hanya beberapa saat saja, kita bersama. Detik yang sangat berkesan. Kok bisa, ya?  Kita bertemu. Padahal, sebelumnya kita belum saling mengenal. Ya, ini cuplikan pertemuan kita. Semoga kita dapat menepikannya hingga ke ujung waktu. Seiring dengan perguliran masa yang terus melaju. Ia ikut menyertai perjalanan kita dalam membersamainya. Termasuk ingatan akan pertemuan yang singkat itu. Di dalam kelam, saat mataku sedang mengatup rapat. Di dalam tidurku.

Nak, aku tahu maksud kedatanganmu. Karena tak mungkin engkau berkunjung tanpa ada keperluan. Aku mengerti, apa maumu. Aku tahu, keinginanmu. Engkau benar-benar ingin meneruskan niatmu yang telah tercipta semenjak dahulu?

Berteguhlah Nak, dalam usaha yang sedang engkau upaya. Iringi ia dengan ikhtiarmu yang semakin menggunung. Tunjukkan bahwa engkau mampu. Engkau dapat merengkuh asamu. Engkau perlu menyatakan pada waktu berikutnya, pada Ibu.  Bahwa engkau benar-benar berhasiiiilll, engkau sukses dan kemudian tersenyum. Senyumanmu, inginku lihat pada waktu yang bersamaan. Senyuman yang mengembang  dengan lepasnya, dari lembar wajahmu yang bersemu kemerahan. Engkau sedang bermandikan sinar mentari. Engkau membersamainya dalam waktumu.

Nak, kelak engkau menyadari. Tentang makna perjuangan. Pun engkau mengakui akan maksud perjalanan. Tak untuk buang-buang usia, tanpa arti. Apalagi bercengkerama tanpa mengerti, untuk apa kita berkomunikasi?

Ketika kesempatanmu bersenyuman dengan mentari, dapat tercipta. Bersamai ia dengan sepenuhnya.  Pagi tidak akan selamanya. Lihatlah, Nak. Perlahan teriknya semakin terasa. Engkau perlu bersiaga, untuk menemukan tempat yang teduh. Tak baik berlama-lama berjemur di bawah teriknya. Wahai anakku, yang sedang tersenyum.

Nak, teguh prinsipmu mencerminkan pribadimu. Engkau yang sedang meneruskan bakti, memberikan bukti, bahwa engkau sedang bergerak. Engkau selipkan rangkaian pesan demi pesan, di sela-sela persinggahanmu. Pesan yang engkau sempatkan untuk menciptanya. Walaupun beberapa diantaranya, engkau yakini akan segera tertinggalkan. Pesan yang engkau rangkai di banyak tempat. Tempat yang memungkinkan banyak pemetik dapat mengulurkan tangan untuk merengkuhnya. Tempat yang memungkinkan sesiapa saja dapat melayangkan pandangan ke arahnya.  Tempat yang engkau bangun sedemikian rupa, di antara banyak lokasi lainnya yang tersedia. Engkau benar-benar penuh dengan strategi. Hari-harimu terencanai. Banyak jadwalpun tersusun. Kini, engkau sedang menjalaninya satu persatu. Semoga kelar seluruhnya yah, dengan mudah dan lancar.

Nak, memang kita tak berasal dari angkasa. Namun kita sama-sama pencinta semesta. Bintang gemintang yang berkelipan, sama-sama kita senangi. Kerlipannya mengajak kita terus-terusan ingin memandangnya. Mata kita sangat akrab dengan pemandangan yang baru saja. Karena, hampir setiap kesempatan kita manfaatkan momen yang paling berkesan ini, untuk menelurkan kata. Ada-ada saja kita, yaa. ::

Bercakap-cakap dengan suasana, itu yang kita suka. Bercengkerama dengan keheningan, itu sudah biasa. Apalagi kalau senja tiba. Mentari yang jingga, adalah pemandangan yang tak akan kita lupa. Tidak jarang kita mencipta bait-bait puisi saat melepasnya.

Ai!  Kita memang sehati, Nak!

Namun, satu yang belum lagi ku mengetahui darimu, hanya satu. Apakah itu?  Tentang pintamu terhadapku, dalam mimpi-mimpi itu. Akankah restuku terwujud ataukah berujung semu? Bagaimana kalau kita “keep” saja dahulu. Ya, karena kita pun tidak tahu menahu akan hal ini. Pintamu itu. Permohonanmu yang telah engkau ajukan. Semoga Allah berkenan, menyatukan pintamu dengan Izin-Nya. Walaupun waktunya kita belum tahu. Baiklah kita berhusnuzan, berprasangka baik setiap waktu. Berulang kali kita berlatih, agar terbiasa. Terbiasa berprasangka baik. Karena, kebaikan tidak akan pernah percuma.

Nak! Oia, bagaimana kabarmu saat ini? Teringatku akan dirimu. Engkau yang saat ini sedang berada jauh di sana. Sedang berada di manakah engkau, kiranya?  Dalam nuansa seperti saat ini, ku tahu engkau sedang asyik dengan kegemaranmu.  Karena engkau memang begitu, selalu begitu. Engkau gemar berguru, belajar dan kembali menebarkannya. Walaupun engkau adalah seorang guru. Namun, engkau masih saja belajar. Sungguh terkagumku padamu. Guru yang belajar.

Nak, telah sekian tahun usiamu. Engkau bertumbuh terus berkembang. Banyak negeri yang engkau kunjungi. Berbagai kota pun engkau tempuhi. Jalan-jalan ilmu, sangat mudah engkau hapalkan. Karena begitu rajinnya engkau bersamai. Sungguh, bahagianya aku mendengarkan berita ini, tentang perubahanmu yang drastis. Engkau yang berpeluang, dan memanfaatkannya optimal.  Terima kasih anakku, atas dedikasimu. Menjadilah guru yang sebaik-baiknya.  Karena, banyak penerus bangsa yang mengambil teladan darimu.

Guru, adalah gelarmu kini, wahai anakku. Engkau yang dulu, pada masa kecil pun berguru. Kenanglah bagaimana yang guru-gurumu lakukan dalam mendidikmu.  Sehingga engkau menjadi seperti ini. Menjadilah sebagaimana guru yang semestinya. Guru yang ditiru.

Nak. Pintamu memang tak biasa. Karena, ini sangat menentukan bagaimana kelanjutan kehidupanmu yang berikutnya. Segeralah memutuskan pilihan. Ibu yakin engkau mampu, kalau engkau mau. Sebagaimana yang engkau pernah sampaikan pada murid-muridmu, aplikasikan pula dengan dirimu.

Engkau anakku, permata jiwa. Terulur selendang doa selepas sujudku, untukmu. Agar lancar dan mudah setiap urusanmu, Nak. Terutama atas niatmu yang pernah engkau terbitkan. Berkenan Ibu menyeruakkan lembaran jendela hati ini, agar gemilang sinarnya dapat memasuki ruangnya pula. Sehingga cemerlang sinar ketulusanmu, sampai pula kepada Ibu. Kita sama-sama menemukan pencerahan saat menatapnya. Karena ada makna yang ia bawa, untuk kita.

Nak! Setelah sekian lama engkau bersama alam-Nya, adakah hal yang sama engkau alami? Ketika keteduhan kembali menaungi ruang hati. Saat gemerlap sinarnya perlahan meredup. Sedikit demi sedikit, sinar itu keluar kemudian menjauh pergi. Untuk menelusuri arah perjalanan yang akan kita susuri. Ya, sinar tersebut telah terlebih dahulu meneruskan bakti. Untuk memandu kita yang akan melanjutkan perjalanan lagi.

Yakinlah, Nak, ada makna dari berbagai situasi. Begitu pula dengan yang engkau alami kini. Saat redup sedang berlangsung. Segeralah menatap ke hadapan. Lalu, temukanlah ada harapan baru di ujung sana. Sehingga, engkau kembali siap untuk meneruskan langkah-langkah lagi. Engkau tidak sendiri.

Nak! Teramat lama Ibu merangkai huruf satu persatu. Sampai saat ini, sudah sekian jumlahnya. Rangkaian huruf yang memesankanmu bait-bait kata untuk meneruskan perjuangan. Walaupun untuk beberapa masa, engkau terdiam dan belum mampu bergerak lagi. Kembalilah, Nak! Kembalikan lagi semangatmu yang dulu berkobar, membakar. Lalu rasakan bagaimana dahsyatnya doa Ibu. Engkau dapat menemukan tetesan kesejukan diantara kobaran yang sedang engkau nyalakan. Semakin ringan langkah-langkahmu, semakin bersahaja penampilanmu. Tetaplah dengan gayamu. Gayamu yang dulu. Engkau nan ayu, putri Ibu.

Ketika ada yang menanyaimu, tentang Ibu, tolong sampaikan pada mereka bahwa Ibu hanya ingin menjagamu. Walaupun engkau merindukan Ibu, karena engkau ingin tahu, “Siapakah Ibuku?”

“Tenang, tenang, tenanglah Nak. Tenangkan hatimu, teduhkan pikirmu. Baiklah engkau mengingat detik-detik pertemuan kita dulu, beberapa detik di dalam mimpiku. Engkau memanggilku dengan sapaan, Ibu, melalui tatapanmu. Terima kasih ya, atas kehadiranmu,” kesan Ibu dari kebersamaan denganmu.

Seorang anak, tidak akan pernah melupakan seorang Ibu. Karena walau bagaimanapun juga, ia terlahir dengan perantara seorang Ibu. Ibu yang menjadi jalan hadirnya ia ke dunia ini. Ibu yang sungguh, sungguh membuatku segera menderukan rindu. Aku rindu Ibu, Ibu yang ku rindukan.

“Adakah engkaupun merindukanku, wahai anakku?,” tolong jawab dengan jiwamu. Tak perlu mengucap jawaban hingga engkau bersuara. Cukup dengan anggukan kepala, lalu engkau merenungkan peran Ibu terhadapmu. Cukup dengan mengingat beliau, ketika saat ini Ibu tak di sisimu. Cukup dengan segera menemui beliau, Ibumu.  Lalu, ucapkanlah sebaris kalimat teruntuk beliau, kalimat terbaikmu. Maka, sudah cukup bagiku. Aku bahagia.

Walaupun ternyata, untuk saat ini engkau tiada di hadapanku. Karena aku adalah Ibumu yang semu. Semoga kelak kita bertatapan dalam nyata, ku sampaikan padamu sebaris kalimat, “Terima kasih, yaa. Untuk kehadiranmu di dalam mimpiku. Wahai putri nan jelita. Kelak engkau pun akan menjadi Ibu. Yakinku. Menjadilah Ibu yang baik, Ibu yang dibanggakan oleh putra-putrinya. Ibu yang sebenarnya, Ibu yang selamanya ada untuk mendidik buah hati tercinta, dengan sepenuhnya. Walau sebagaimana sibukpun engkau. Namun peranmu sebagai Ibu, tidak akan pernah ada yang dapat menggantikan. Sure.”

Nak, jangan hanya menjadi Ibu yang semu. Ibu yang ada di alam mimpi. Ibu yang dielu-elukan. Namun nyatanya, tidaklah begitu. Karena Ibu yang sesungguhnya, benar-benar menjalankan peran sebagaimana ia berperan. Ingatlah…

Ketika engkau kecil dulu, aku belum mengenal siapa engkau. Saat engkau telah balita, belia dan remaja, pun kita belum berkenalan. Lalu, saat ini, engkau telah mulai beranjak dewasa. Tiba-tiba engkau datang dalam kehidupanku, untuk memohon restu. Wahai, siapakah engkau gadis yang lugu? Engkau yang seringkali mudah bersemu karena malu, saat ada yang menggodamu. Engkau yang segera menggebu-gebu semangat di dadamu, saat melakukan aktivitas dalam hari-harimu, dan ada yang tahu. Lalu, engkau tempatkan di mana peran-Nya Yang Selalu Memantaumu? Bagaimana pula engkau dapat terlewatkan akan hal ini? Padahal engkau adalah seorang calon Ibu. Ibu yang akan menjadi teladan, bagi putra-putri, buah hatimu kelak. Tidakkah engkau malu, apabila mereka menyadari bagaimana Ibu mereka yang sesungguhnya?  Tanyalah hatimu, coba tanyakan padanya, tentang hal ini. Ia yang akan memberitahumu, kalau engkau belum tahu.

Lalu, menanyalah lagi, pada dirimu, “Apakah benar aku begitu?”

Padahal aku adalah madrasah dalam keluargaku. Pengajar pertama permata hatiku. Pendidik utama dalam keluargaku. Bagaimana aku belum lagi menyadari akan hal ini? Kalau dalam sikapku terselip niat, padahal Allah Maha Tahu.

Aku, itukah aku yang sebenarnya? Aku yang pada waktu-waktu tertentu seringkali terbujuk rayu. Sungguh, betapa aku ingin menjadi diriku yang dulu. Aku yang masih balita, bersih dan tanpa bercak noda. Aku sungguh malu dengan diriku. Betapa kejamnya aku pada diriku. Aku yang pada suatu waktu, akan kembali kepada Rabb-ku. Lalu, mempertanggungjawabkan atas setiap perbuatanku. Terlebih lagi, niat yang terselip di dalam ruang hatiku.

“Apakah ia terjaga selalu?” bertanyaku pada langit biru, namun ia seakan kelu. Ia malu. Lalu sembunyi di kelam malam. Esok, aku akan bertanya lagi padanya. Semoga dapat ku rengkuh kesempatan itu lagi. Kesempatan untuk menempuh hidupku yang baru, dengan hari yang baru. Bersama niatku yang satu. Karena Allah, aku melangkah. Bersama Allah, aku berjuang. Dalam harapan tertinggi pada-Nya, aku kembali melanjutkan perjalanan. Untuk dapat menjumpa-Nya, dalam sebaik-baik akhir. Aamiin ya Rabbal’alamiin.

“Nak! Ketika engkau telah menyadari tentang siapa engkau yang sesungguhnya, kemudian berjalanlah lagi. Teruskan gerakmu, ayunkan tanganmu. Menataplah ke hadapan, kemudian yakinkan hatimu. Bahwa engkau dan dirimu adalah sahabat yang terbaik. Bersahabatlah dengan dirimu, maka engkau dapat mempersahabati sesiapa saja yang ada di sekitarmu,” tolong ingatlah pesan Ibu.

Jujurlah dengan diri sendiri, lebih sering. Sapalah ia dalam keheningan, bersamainya lebih sering. Berikan ia kesempatan untuk melakukan yang terbaik. Dengan demikian, akan lebih mudah bagimu untuk mengetahui, apa maunya. Karena maunya adalah maumu. Kalau memang engkau mau, maka engkau mampu.

Iringi ikhtiarmu dengan kesungguhan dalam berdoa. Doa Ibu senantiasa untukmu, Nak. Carilah teman dalam perjalanan, teman terbaik. Semoga doa kita bersatu. Dan kita saling berpandangan untuk ke sekian kalinya di alam yang semu. Engkau kembali hadir dalam mimpiku untuk masa-masa yang berikutnya. Temani aku, lebih sering. Dengan bahagia, aku  menyambutmu.

Wahai anakku, aku memang bukan Ibumu. Namun, mengapa engkau memohon restuku terlebih dahulu?

Semoga kita dapat memaknai berbagai keadaan. Agar, tergerak kita untuk segera beringatan satu sama lainnya.

“Karena di balik yang terjadi pasti ada hikmahnya untuk kitaaaaaaa….. ,” senandung D’Masiv “Jangan Menyerah.”

🙂 😀 🙂

 
Leave a comment

Posted by on May 25, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , ,

Kembang dari Kota Kembang

This slideshow requires JavaScript.

Teman, lihatlah sekuntum dua kuntum bunga yang sedang mekar. Di sisinya ada dedaunan yang mempercantik tampilannya. Di sekitarnya ada duri-duri yang sedang memberikan perlindungan pada batangnya. Bahkan sangat dekat dengannya, ada helai-helai dedaunan lainnya yang menyelingi. Terkadang, kita melihat pula ada jemari yang mendekat padanya. Jemari yang terpesona dengan keelokan kembang. Lalu ia mendekatinya.

Teman, begitu pula dengan kehidupan yang sedang kita jalani. Hingga saat ini, ada senyuman yang sedang kita ukir, muncul pula di wajah yang kita bawa. Ada kesejukan yang menaungi relung jiwa. Ada pula perlindungan yang kita berikan kepadanya. Dan sangat dekat dengan kita, ada sapaan yang memberikan pewarnaan terhadap diri. Terkadang, kita menyadari, bahwa ada jemari yang sedang memberikan gemulainya mendekati kita. Kita sedang berada dalam tatapan-Nya. Kita berada dalam genggaman-Nya.

Teman, seiring dengan perjalanan waktu, kita akan menyadari, tentang makna kehadiran diri. Tentang kehadiran kita saat ini. Tentang berbagai warna hidup yang kita alami. Baik untuk keadaan yang kita senangi, maupun keadaan yang membuat kita kembali mengalirkan pikir lebih jauh.

Pada suatu waktu, kita berjumpa dengan apa yang selama ini hanya ada dalam harapan saja. Nyata-nyata, dan terlihat dengan tatapan mata yang sedang memandang. Ya, adakah kita mensyukuri atas segala yang sebelumnya kita harapkan terjadi dan kita mengalami saat ini? Begitu pula dengan kesabaran yang perlu kita pupuk pada saat yang tepat. Karena kita tidak pernah tahu, melalui kehadiran siapa, kita belajar untuk bersabar. Kita tidak dapat menerka-nerka, saat berinteraksi dengan siapa, kita mengalami pendewasaan diri. Iya, kita jalani apa yang terjadi, tanpa henti memetik kembang hikmah darinya. Kita hidupkan hari, dengan terus menata niat, untuk keperluan apa kita berbuat? Untuk kepentingan siapa kita bersikap? Sehingga kita kembali mau menyadari, sadar dan tersadari setiap saat. Semoga hanya yang terbaik yang kita perbuat, terhadap siapapun yang kita bersamai. Karena, tidak selamanya kita bersama, dalam kondisi dan suasana yang sama. Akan ada kabar yang lebih membahagiakan jiwa, di hadapan. Saat kita mau berjuang untuk menjemputnya.

Kabar tentang apakah teman?

Teman, hari demi hari datang dan pergi silih berganti. Banyak jenis warna hidup yang kita temui. Beraneka karakter insan yang kita bersamai. Begitu pula dengan cuaca serta iklim yang menyelingi. Kita tidak dapat memastikan panas berkepanjangan sepanjang siang. Tidak pula kita yang menentukan kapan hadirnya hujan yang membasahi bumi. Malam pun begitu. Tidak selamanya bebintang terlihat berkelipan. Pada masanya, purnama menunjukkan pribadinya yang mempesona. Hingga tahulah kita bahwa ternyata, silih bergantinya tampilan alam, memberikan kita bahan pelajaran. Untuk kita pahami dengan sebaik-baiknya. Agar, kita dapat memetik kembang-kembang hikmah yang bermekaran,  dari alam-Nya.

Teman, saat cuaca begitu terik pada siang hari, tersenyumlah bunga dengan meriahnya. Karena terpaan sinar mentari yang menembus kelopaknya, membuat para kelopak menjadi lebih berseri. Pada waktu yang lain hujan kan turun menetes padanya. Maka, kesegaran dapat segera ia rasakan, ketika hujan datang untuk memberikan kedamaian. Sedangkan tiupan bayu yang bersemilir mendayu, memberinya kesempatan padanya untuk melambaikan tangkai dengan lembut.

Teman, terik mentari yang bersinar cemerlang, hujan yang menyejukkan, begitu pula dengan semilir angin yang sepoi, memberikan bahan pelajaran pula. Pada kembang yang sedang mekar, ia menitipkan pesan. Melalui keadaan dan nuansa berbeda yang mereka bawa, benih-benih pelajaran sedang menebar.

Teman, saat kita memberikan beberapa menit waktu untuk memperhatikan kehidupan kembang yang sedang mekar. Dapatlah kita dapat memaknainya bersamaan dengan pemaknaan yang kita berikan pada kehidupan yang sedang kita jalani. Kita yang sama-sama berada di alam bersama kembang-kembang tersebut.

Teman, kita dapat bergerak dan melangkah. Untuk berpindah ke lain arah.  Dengan demikian, kita dapat menemukan nuansa yang berbeda, segera. Sedangkan kembang tersebut tidak dapat berpindah untuk menunjukkan bahwa ia juga sedang bertumbuh. Namun, pergerakannya dapat kita saksikan, dari perubahan yang ia alami. Berubah fisiknya yang bertumbuh ke bagian atas dan  berkembang daunnya lebih lebar. Pun bermekaran pula kelopaknya yang cantik. Sebelumnya mereka tiada, bukan?

Teman, engkau yang saat ini sedang berada sangat dekat dengan kuntum-kuntum kembang yang sedang mekar, dapat memperhatikannya lebih teliti. Kalau di samping ruang tempat tinggalmu ada taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Akan tetapi, kalau engkau tidak mempunyai kembang di taman dekat rumah, maka engkau dapat membayangkan saja. Bahwa sangat dekat denganmu, ada taman yang penuh dengan bunga-bunga yang indah. Ya, di dalam hatimu. Di sana terdapat sebuah taman yang sedang bermekaran bunga-bunga senyuman.

Bayangkan… bayangkanlah bahwa taman tersebut sedang berhiaskan warna-warni sungguh indah.

Rasakan… rasakanlah aroma semerbak yang menerpa indera penciumanmu. Sungguh! Kesegaran alami yang hadir menerpa, dapat engkau rasakan? Bukalah matamu lebih lebar, mata hatimu. Karena, kalau tamanmu berada di dalam hati, maka engkau hanya dapat membuka mata hatimu untuk dapat melihatnya.

Sedangkan dua bola matamu yang berkedipan, dapat engkau buka dengan baik. Lalu, menghadaplah ke arah taman di samping tempat tinggalmu. Hai! Memandang ke taman tetangga juga boleh.  Hanya untuk melihat saja, sejenak. Agar kita dapat sama-sama menyaksikan sebuah taman yang sedang berbunga-bunga,  saat ini.

Setelah itu, yuuks kita belajar memaknai sebuah taman yang sedang kita pandangi saat ini, bersama-sama. Ada bunga apa saja, yang berada dalam pandangmu saat ini, teman? Bunga mawar berwarna orange-kah? Bunga mawar berwarna putih, merah, atau pingky? Ataukah ada melati di sekitarnya? Bagaimana dengan bunga yang kelopaknya sungguh lebar? Dapatkah engkau menemukan salah satunya? Seperti bunga Rafflesia, mungkin? Ai! Ini bunga yang langka.

Nah! Bagaimana dengan kuntum-kuntum yang kelopaknya sangat kerdil dan keciiil? Edelweis, namanya. Adakah bunga tersebut engkau saksikan pula saat ini, teman? Edelweis yang tumbuhnya tidak pada sembarang tempat, ia terlindung sungguh terjaga. Ia tiada di mana saja. Kecuali kalau engkau membawanya sehabis perjalanan menembus alam yang penuh dengan tantangan. Di puncak-puncak gunung tertinggi, Edelweis berasal.

Ai! Sudah jauh ke puncak gunung, pikirku berkelana. Padahal, semulanya kita berada di taman yang penuh dengan bunga-bunga beraneka warna. Mari, kita kembali ke rumah. Ya, kembali kita untuk memperhatikan kuntum-kuntum bunga di taman samping rumah. Kembali kita memperhatikan kembang yang sedang bermekaran, di taman tetangga. Kembali kita memupuk kembang senyuman yang berasal dari taman hati.

Kita perhatikan dengan seksama, kuntum-kuntumnya yang indah. Ia hidup bersama segar aroma wanginya yang mendamaikan. Kita mendekatinya lebih dekat. Dan salah satu dari kembang tersebut, kita sentuh dengan penuh kehati-hatian.

“Lihatlah teman, Teh Feni sedang mempraktikkan hal yang serupa. Beliau sempat mengabadikan lembaran jemari yang sedang mendekat dengan kuntum kembang yang sedang mekar. Dua lembar potret sebagai kenangan berasal dari beliau. Saya yang minta. Hahaaa… 😀  Dengan kebaikan, beliau memblutut ke hapeku, beberapa waktu yang lalu. Xixixiii. Terima kasih ya, Teh Feni.”

Kuntum kembang berwarna orange tersebut, pernah pula saya saksikan beberapa waktu yang lalu. Entah di mana, dan kapan tepatnya, saya tidak dapat mengingat lagi. Namun, pada waktu yang sama, terbersit pinta pada relung jiwa. Ia ingin mengabadikan kuntum tersebut. Ia ingin memperhatikan kembali kelopaknya yang sedang bermekaran. Ia ingin membawanya pulang. Namun, semua baru harapan, ketika itu.

Waktu terus berlalu. Hingga akhirnya, kembang yang pernah ia perhatikan dengan tatapan mata dalam nyata, kini tiada.

Beberapa hari kemudian, berkesempatan pada suatu siang, Teh Feni memperlihatkan kuntum-kuntum kembang yang sedang bermekaran di sebuah pot. Pot tersebut berada di lantai dua teras rumah beliau.

“Yani sukaaaaaaaa…….. Teh Feni cantik, dech,” senyumanpun mengembang dari wajahku.

Wajah yang segera berbunga-bunga. Ia teringat kuntum kembang senada, yang pernah ia perhatikan pula. Namun, ia tak berkesempatan mengabadikannya. Padahal, sangat ingin ia membersamainya lebih lama. Apa daya, belum berjodoh kiranya dengan sang bunga.

Untuk selanjutnya, kembang-kembang berwarna orange, telah menempuh masa pengeditan. Ada lembaran lain yang ia singgahi. Ada halaman berikutnya yang ia hampiri. Ada taman berikutnya yang ia tumbuhi. Di sini, di taman hati seorang sahabat. Lembaran maya, tempatnya berada kini. Untuk bertumbuh pula, menampakkan kelopaknya yang mempesona. Kelopak berwarna orange yang  cantiiikkk dan aku sangat suka.

Teman, dalam kehidupan ini, terkadang kita tidak dapat memperoleh apa yang kita inginkan, secara langsung. Ya, pada saat kita menginginkannya, kita belum tentu membersamainya. Seperti halnya kisah yang saya alami pada waktu yang sebelum ini. Ketika saya pernah menyaksikan sekuntum kembang mawar berwarna orange, entah di mana. Namun pada saat yang sama, ada keinginan untuk memperhatikannya lebih lama. Dan beberapa lama kemudian, ia telah membersamai. Maka, mengabadikannya dengan bersyukur adalah pilihan. Saya bersyukur atas kembang berwarna orange yang Teh Feni perlihatkan, lalu beliau rela mentransfernya.

Teman, saat kita berjumpa dengan apa yang selama ini kita inginkan. Lalu, dapatkah dan maukah kita memanfaatkan kesempatan? Ketika banyak orang bilang, bahwa kesempatan tersebut tidak datang untuk kedua kalinya, benarkah? Saya masih belajar untuk memaknai kalimat yang serupa. Serupa namun tak sama. Ya, tergantung pada bagaimana cara kita dalam memaknai kesempatan, kali yaa. Apakah kita beranggapan bahwa kesempatan yang datang saat ini, merupakan kesempatan satu-satunya?

Teman, saya sangat yakin, bahwa peran Allah sangat besar terhadap kehidupan kita. Termasuk apa yang sedang kita jalani hingga saat ini. Semuanya telah Allah atur dengan sangat rinci. Tentang beraneka keadaan yang kita jalani, mungkin saja kita belum menyadari. Ataukah kita terlampau memahami. Sehingga kita terkadang belum mampu mengendalikan hari. Kita seakan terbuai oleh apa yang berada pada genggaman orang lain. Namun, bagaimana kepedulian kita pada apa yang sedang berada dalam genggaman Allah?

Semenjak dahulu, kita belajar. Semula hadir di dunia, kita belajar hal-hal yang baru. Hingga saat ini pun begitu. Banyak pengalaman yang kita alami. Banyak jenis karakter insan yang kita temui. Kita tidak hanya bersama dengan Ayah dan Bunda yang memberikan kita pelajaran lebih awal. Hingga detik ini, entah sudah berapa orang yang kita temui. Semua menitipkan kita bahan pelajaran, tentang kehidupan. Karena banyaknya, terkadang kita jarang mengingat. Kita yang tersibukkan dengan harapan dan keinginan yang terus kita bangun. Kita mungkin saja tidak menyadari, sudah sejauh apa kita melangkah hingga detik ini.  Untuk keperluan apakah?

Padahal, semua kita sama-sama membawa sebuah taman yang sedang berada dalam genggaman-Nya. Taman yang perlu terus kita jaga, karena ia adalah titipan dari pemiliknya. Taman yang penuh dengan bunga-bunga beraneka warna. Salah satunya adalah bunga senyuman.

Boleh kita memberikan sekuntum bunga pada teman, bunga senyuman yang kita petik dari taman hati. Lalu, kelopaknya pun menebar meluruh dengan taburan semerbak yang menyegarkan. Percayalah, senyuman itu  mampu menyegarkan keadaan. Dalam terik panas sekalipun, ia menitipkan kesejukan. Ketika hujan membasahi alam, ia selipkan kehangatan.

Teman, terkadang, sangat banyak aktivitas yang kita jalankan. Sehingga membuat kita sangat tidak mudah untuk mengukir senyuman. Beratnya beban pikiran yang bernaung dalam ingatan, dapat pula membuat senyuman terlihat mahal.  Padahal, sekuntum senyuman yang kita petik dari taman hati, sungguh sangat berharga. Ia berharga, kalau kita memetiknya dengan sungguh-sungguh. Nilainya berharga, saat kita memberikan senyuman pada siapa saja yang membutuhkan. Termasuk beliau yang inginkan senyuman menghiasi hari-harinya. Niscaya ia akan memberikan penghargaan atas senyuman yang kita  berikan.

Teman, boleh saja, kita belum lagi mau tersenyum.  Namun, untuk keperluan apakah kita dititipi taman hati yang perlu kita jaga? Boleh saja kita menerima senyuman dari beliau-beliau yang kita temui. Karena beliau  memberikan senyuman kepada kita. Lalu, kita tempatkan pada bagian manakah senyuman tersebut?

Teman, saat pemberi senyuman memetik kuntum senyuman dari taman hatinya, pasti ada tempat terbaik yang senyuman cari. Senyuman yang muncul ke hadapan kita, tidak serta merta kita lihat sekilas saja, lalu kita tidak tahu lagi ia berada di mana? Hai, bagaimana kondisi taman hati kita pada waktu yang sama? Ketika kuntum senyuman dari orang lain menyapanya, namun kita belum memberikan perhatian padanya.

Teman, ketika kita perlu berusaha keras untuk mendaki puncak tertinggi hanya untuk merasakan kelegaan. Lega karena kita dapat bertemu dengan Edelweis. Namun tidak begitu dengan kuntum senyuman. Ia dapat kita peroleh kapan saja. Kita pun dapat memberikannya kapan saja. Tidak memerlukan usaha yang optimal, hingga menetes keringat membasahi raga. Tidak! Tidak sesulit dan serumit itu, kiranya. Hanya membutuhkan taman hati yang terjaga, maka kita dapat memberikan kuntum senyuman pada sesiapa saja yang kita jumpa. Yah.

Semoga, banyak hikmah yang dapat kita peroleh dari waktu ke waktu. Atas berbagai suasana dan keadaan yang bahkan tidak kita pinta. Semoga kita lebih mudah untuk memaknainya. Karena, kehidupan yang sedang kita jalani adalah kumpulan bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang dapat kita pahami, kalau kita mau memahaminya. Bahan pelajaran yang dapat menyampaikan kita pada harapan. Untuk menjadi seorang yang bermanfaat, lebih baik dari waktu ke waktu. Karena kita meyakini, ada sebuah taman yang perlu terus kita jaga. Taman yang berada dalam genggaman-Nya. Hati, taman Ilahi.

“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (Q.S Al Israa’: [17]: 25

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on May 4, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , ,

Are You Sure?

Ayah yang baik

Menjadilah Ayah yang baik

Teman… mungkin saja saat ini engkau adalah calon Ayah, ya, panggilan Ayah akan segera melekat padamu. Ayah? Yakin? Ai! Ada banyak panggilan buat laki-laki yang istimewa ini. Ada yang memanggil papi, abi, abah, babe, bapak, papa, atau apa lagi yaa..? 😀 Kalau saya memanggil laki-laki hebat dalam keluarga kami, dengan sapaan Ayah. Begini yang saya tahu, semenjak awal. Lalu, bagaimana denganmu, teman? Bagaimana engkau  memberikan panggilan buat beliau yang menjadi jalan hadirnya engkau ke dunia? Ai! Kalau engkau laki-laki, maka engkau pun akan mendapatkan sapaan yang senada. Tentu saja dari anak-anak yang saat ini sedang menatapmu dengan mata belia mereka. Ia ada ke dunia ini, dengan perantara engkau dan ibunya. Buah hati sebagai titipan dari Allah Yang Maha Pencipta.  Dalam nuansa begini, saya sangat merindukan Ayah… Ketika merangkai kalimat-kalimat dalam paragraf ini, saya sedang membayangkan masa kecilku. Ya, saya sedang menatap kedua bola mata Ayah, yang sedang menempelkan satu telapak tangan beliau yang kekar, di keningku. Beliau sedang menepikan poniku. Hehee.. Kini hanya sanggup ku bayangkan saja. Dan Ayahku adalah Ayah sejati. Bukan calon Ayah lagi. Paragraf ini hanya buatmu teman, bagi calon  Ayah…

Teman… mungkin saja saat ini engkau sudah menjadi pemimpin dalam keluargamu. Engkau yang telah mempunyai anak-anak yang lucu. Engkau yang saat ini sedang tersenyum bersama penerusmu. Engkau yang seringkali menghadapi tingkah mereka dengan aneka ekspresi. Engkau yang membujuk ketika anak-anak itu menangis. Engkau yang sangat lembut, ketika berhadapan dengan gadis cilikmu. Engkau yang mengucapkan kalimat, “Nah… Adek kenapa nangis? Bilang dulu, dong sama Ayah, masalahnya apa? Jangan langsung nangis aja…” Kemudian, gadis kecil yang engkau panggil Adek pun mulai meredakan tangisnya. Meskipun buliran permata kehidupan itu masih mengalir di pipinya. Masih sesenggukan. Namun, dengan kelembutan suara yang engkau hadirkan, akhirnya Adek memulai menuangkan apa yang ia sedang rasakan.

“Adek…. Adek… , hikksssss…. huhuhuuuu…,” baru saja Adek selesai mengucapkan sebuah kata dari bibir mungilnya, tiba-tiba tangisnya kembali pecah. Saya yang sedang menyimak kejadian ini, ikut terbawa suasana. Saya ingin juga menanyakan hal yang sama, seperti yang Ayah-nya Adek tanyakan.

“Mengapa Adek menangiiiiisss…… (teteh peluk ya, sayang….),” begini pikirku yang hadir. Namun, saat itu Adek lagi sama Ayah. Sedangkan Ayah masih terus membujuk Adek.

“Adek cerita dong sama Ayah. Masalahnya apa. Udah gitu, baru nangis…,” ungkap Ayah, yang terdengar olehku. Ayah, senantiasa begitu. Penuh keakraban dan peduli akan perasaan si kecil.

“Iya, Dek. Adek kan pinter… Bilang Ayah… Kenapa Adek tiba-tiba nangis,” gumamku, pelan di dalam hati. Ini suara jiwa.  Sedangkan wajahku tersenyum, ketika mengenangkan kejadian ini. Lalu, dengan segera jemari ini mengalirkan apa-apa yang pernah saya saksikan sebelum ini, sekarang.

Percakapan di atas adalah hasil penyimakanku atas salah satu kejadian yang sedang berlangsung di sekitarku. Tepat pada waktu itu, saya sedang berada tidak jauh dari seorang Ayah dan putri beliau. Ketika tiba-tiba, sang putri berlari ke arah Ayahandanya, bersama tangisan. Ai! Wajah itu penuh dengan airmata. Lembaran pipi Adek sudah basah semua. Sedangkan suara tangisannya, sungguh menyentuh hati, pilu, sendu, haru, syahdu.

“Huhuuuuuu…….  Aaaaaaaaaaaayyyyaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhh……..,” sebuah kata yang Adek perdengarkan, dengan nada yang berasal dari tangisan, mengalihkan perhatianku. Saat itu saya lagi serius, belajar.

Kemudian, tidak berapa lama kemudian, Adekpun terdiam. Setelah ia menyampaikan rasanya lewat tangisan. Setelah, … entah apa yang Ayah lakukan untuk memberikan ketenangan pada Adek. Saya tidak menyaksikan dengan jelas. Karena kami berbatasan oleh selembar kaca yang menjadi perantara. Kami tidak bertatapan. Kami berjarak. Hehee, dimanakah saya waktu itu? 😀

 Buat Ayah yang penyayang, penuh perhatian dan kelembutan, terima kasih yaa. Meski hanya untuk beberapa waktu kejadian tersebut berlangsung, namun ia sangat bermakna. Karena saat ini, tepatnya pagi ini, saya sedang berusaha untuk mengabadikannya. Ya, karena episode tersebut adalah bagian dari bahan pelajaran dalam perjalanan kehidupanku. Bahan pelajaran yang tidak selamanya kita peroleh dari tatap muka di depan kelas. Bahan pelajaran yang hadir dengan ketulusannya. Bahan pelajaran itu ada di mana saja. Lalu, maukah kita belajar dari beraneka keadaan, teman?

Buat Ayah yang penuh dengan persahabatan. Segala nasihat, petuah, petunjuk, saran, masukan, kritik dan saran yang seringkali Ayah uraikan baik secara langsung maupun tidak langsung, saya berupaya untuk menyajikannya ada. Sekali lagi, dan akan terus terangkai berulangkali satu kata ini, “Terima kasih , Ayah…”.

Buat Ayah, yang seringkali mengingatkan saya untuk berpikir. Baik secara langsung maupun tidak langsung, baik dalam rangkaian kata yang terucap lisan, maupun melalui tatapan sekilas. Saya inginkan hasil pikir ini ada. Saya ingin mengingat pesan-pesan Ayah, selamanya. Saya akan terus berusaha untuk berubah. Ya, berubah dari kebiasaan-kebiasaan yang menurut Ayah, bukan semestinya saya begitu. Insya Allah. Saya ingin sangat melihat senyuman dari wajah Ayah. Oleh karena itu, rangkaian catatan saat ini tercipta. Rangkaian catatan yang sedang saya jejakkan, merupakan salah satu langkah untuk berubah. Mohon doanya, Ayah.

Buat Ayah yang baik… Semoga Ayah senantiasa memperoleh kemudahan, kebaikan, kekuatan, kelonggaran, dan kelancaran dalam berbagai aktivitas yang sedang Ayah jalani. Semoga Ayah benar-benar mampu menjadi Ayah yang patut dibanggakan. Karena Ayah juga mempunyai putri -.- Beliau sangat senang mempunyai karakter yang Ayah punya. Putra dan putri Ayah, benar-benar bahagia dapat bersama Ayah. Dan salah satu buktinya, ia kembali meredakan tangisan yang semula sangat meriuh. Buktinya, Ayah mampu menjadi jalan untuk tersenyumnya Adek kembali. Ayah benar-benar baik.

Buat Ayah yang penuh dengan kepedulian, beruntung kiranya saya dapat menjadi bagian dari beberapa waktu dalam kehidupan Ayah. Saya sangat bersyukur menjadi bagian dari hari-hari Ayah. Saya bahagia dapat mengenali Ayah. Walaupun hanya beberapa masa dari kehidupan ini. Walaupun kebersamaan kita tidak untuk selamanya. Meskipun kita akhirnya tidak dapat lagi bertatap mata, kemudian hari. Meskipun kita hanya akan bertemu dalam ingatan, setelah jarak memisahkan kita. Walaupun kelak, ingatan bahwa kita pernah berdekatan menjadi jalan untuk kita saling bersapaan. Ya, meskipun jemari ini tidak dapat lagi mengoptimalkan fungsinya untuk meneruskan pengabdian. Semoga, kita masih selalu saling mengingatkan.

Buat Ayah, yang membuat saya sangat salut. Ayah yang sangat perhatian. Ayah yang selamanya akan demikian. Teruskan perjuangan, Ayah… Adek sangat membutuhkan perhatian. Tidak hanya saat ia menangis ketika kecil dulu. Namun, ketika ia sedang tersenyumpun, ia inginkan Ayah sedang memperhatikannya.

Iya, Ayah… ini adalah pengalaman. Saya sedang mencurahkan perasaan. Saya sedang mengalirkan pikiran. Saya sedang mengajak jemari untuk ikut berpartisipasi. Agar apa yang saya rasakan, saya pikirkan, dan pernah saya alami, dapat tersalurkan ke lembaran ini. Catatan ini, buat Ayah.  Ayah yang mempunyai Adek, buah hati tersayang. Adek adalah seorang perempuan. Saya sebagai perempuan, mengalami hal yang seperti ini.

Saya sangat senang ketika Ayah membujukku ketika menangis, saat kecil dulu. Saya senang, ketika Ayah menepikan poniku yang menjuntai di kening, hingga menyentuh ujung mata ini. Saya sangat senang, ketika Ayahku  yang saat ini nun jauh di mata, mengelap keringat yang muncul dari puncak hidungku. Ai! Bagian atas hidungku, seringkali berair, pada waktu itu. Apalagi kalau terik panas begitu menyengat. Maka, keringetan dech, ini hidung. Namun kini, semua tinggal kenangan.

Buat Ayah yang penyayang. Selamat meneruskan perjuangan, ya Yah… Sempurnanya peran Ayah, menjadikan Adek tersenyum lebih indah. Ya, ketika ia merasakan bahagia tiada tara, atas kesenangan yang ia alami begitu meruah, Ayah perlu ada di sisinya. Tidak hanya ketika Adek menangis saja. Walaupun ternyata raga Ayah sudah tidak dapat membersamainya dalam kondisi yang serupa, semoga Ayah belum terlambat untuk mengingatkan Adek, bahwa “Ayah ada bersamamu, Nak…” Agar, Adek masih dapat tersenyum dalam kebahagiaannya. Meskipun pada saat ia sangat membutuhkan kehadiran Ayah, Ayahnya tiada. Semoga Ayah dapat membaktikan bukti kepenyayangan Ayah yang terus mengalir, ya Yah…

Buat Ayah yang sangat saya hargai.  Ketika pada suatu hari Ayah menemukan Adek menangis lagi di hadapan Ayah, bilang saja, “Adek cantiiik, tersenyumlah sayang…” Maka Adek akan memikirkan bahwa ia memang cantik. Dan aura penuh senyuman akan segera mengalir dari lembaran wajahnya. Adek telah remaja.

Buat Ayah yang kini sedang bersama dengan Adek yang telah beranjak remaja, teruslah memberikan perhatian padanya. Teruslah menekankan disiplin atasnya. Selamat menyaksikan perkembangan yang ia alami. Adek adalah permata jiwa Ayah. Adek adalah jalan tersenyumnya Ayah atas prestasi yang ia peroleh. Adek itu anak pinter, lho Yah..

Buat Ayah, bolehkah, saya mengisahkan tentang kebersamaan saya dengan Adek? Ayah, apakah mengizinkan saya untuk mengurai kembali kisah antara kami yang terjadi sebelum ini? Ayah… please…

“ …. Bagaimana, Ayah,” saya meminta persetujuan Ayah.

***

Buat Ayah yang sangat gemar mengingatkan kami agar berhati-hati. Ya, Ayah yang sangat ingin kami berubah. Ayah ingatkan kami untuk rajin membaca.

“Nah… kamu tidak baca, kan?” begini Ayah menyampaikan persepsi pada suatu hari. Semoga Ayah benar.  Untuk itulah, anggukan beriring ucapan maaf, mengalir dari bibir ini.

Buat Ayah. Tolong maafkan yaa, untuk beraneka rasa yang Ayah alami atas sikap diri ini. Ia yang seringkali membuat Ayah bersuara tinggi. Terima kasih Ayah. Saya akan seringkali mengingat bait-bait kalimat yang Ayah sampaikan. Karena semua adalah demi kebaikan diri ini. Ia yang sangat ingin menjadi lebih baik lagi. Ia yang terus saja berupaya menemukan solusi atas apa yang terjadi, namun tidak begitu yang ia ingin. Ia yang sangat senang ketika ada yang mau mengingatkannya. Ia yang bersyukur, dapat mengenal Ayah. Ia yang seringkali membuat Ayah berubah ekspresi saat ia menjumpai Ayah. Ia adalah pribadi yang terus bergerak. Ia sedang melanjutkan langkah. Ia sedang menempuh jarak yang tidak sedepa, Ayah… Ia yang terus berubah, ia inginkan larut dalam perubahan. Ia berupaya untuk memberikan yang terbaik. Semoga ini adalah salah satu jalan, agar ia kembali mengingat Ayah, ketika nanti raganya sudah berjauhan dengan Ayah. Ayah yang menjadi salah satu sisi jalan untuk ia lalui. Ayah, engkau berarti.

Buat Ayah yang saat ini sedang beraktivitas. Buat Ayah yang sedang melanjutkan perjalanan pula. Buat Ayah yang terus berupaya untuk memberikan yang terbaik. Semoga kebaikan demi kebaikan yang Ayah alirkan, berganti dengan pahala yang berlipat, meningkat, meninggi, hingga akhirnya memenuhi ruang keberadaan Ayah sampai ke akhirat nanti. Aamin. Ayah, titip salam buat Adek…

Teman… mungkin saja engkau sudah mempunyai keluarga atau masih remaja?  Ini catatan buat kaum Adam.  Ai! Kalau engkau sedang mampir ke sini, saat ini, saya memanggilmu dengan sapaan apa yaa? Apakah Om atau Bapak atau Adek? Lha, bagaimana kalau saya sapa Bapak, saja? Oke, yaa.. 😀

“Mengapa mesti Bapaaaakkkk,” engkau mengomentari. Buat saya, memang ini panggilanmu kini. Saya yang sejak beberapa tahun terakhir berada jauh dari keluarga, hanya mengenal satu kata ‘Bapak’ untuk memanggil laki-laki yang saya hargai dan panuti. Entah mengapa… saya juga seringkali bertanya, “Mengapa saya memanggil hampir semua laki-laki dewasa yang saya temui, dengan Bapak, yaa..?”

Tolong maafkan, apabila Anda kurang berkenan. Atau silakan bilang saja, saya semestinya menyapa bagaimana yang seharusnya? Peace man… 😉 Mari kita bersalaman di ruang jiwa.  Semoga kita selalu mau untuk saling mengingatkan demi kebaikan.

Teman… mungkin saja saat ini engkau sedang beranjak remaja. Engkau adalah seorang laki-laki. Dan tidak dapat kita mengalahi akan apa yang sedang berlangsung. Paragraf ini buatmu, specially. Terkhusus Adikku, Oddy. Yes!

Oddy, mungkin saat ini engkau belum mampir ke sini. Mungkin saat tulisan ini baru jadi, engkau belum mengetahui. Bahwa saat ini saya sedang mengirimkanmu bait-bait kalimat.  Catatan yang menjadi salah satu bukti, bahwa engkau ada dalam pikiran ini.

Oddy, remaja yang lagi bertumbuh. Sudah berapa tahun usiamu, saat membaca catatan ini, adik Uni, sayang… Bagaimana engkau menjalani hari yang penuh dengan uji dan coba? Bagaimana engkau mempersiapkan diri untuk menjadi seorang Ayah? Berapa jenis teman dan sahabat yang sedang  bersamamu dalam melanjutkan perjuangan untuk menemukan dirimu? Berapa banyak pesan, nasihat, petuah dan saran yang engkau terima untuk menjadi seperti saat ini?

Oddy, mungkin saja saat membaca rangkaian ini, engkau telah berkeluarga? Ohiyaaaa… 😀 Hhaahaa, selamat yaa. Semoga engkau menemukan tambatan hati yang paling baik ya, Dik. Semoga engkau menjadi lebih baik bersamanya. Semoga ia menjadi jalan bagimu untuk mengingati akan tujuan kehidupan kita di dunia ini. Semoga ia dapat memerankan diri sebagai Ibunda bagimu, setelah engkau tidak lagi bersama dengan Ibunda. Semoga hangatnya kasih sayang yang Ibunda alirkan ke relung hatimu dan mendinginkan ruang pikirmu, dapat pula engkau temui pada pribadi, yang terpilih. Oia, siapakah ia?

Oddy, mungkin saja saat membaca rangkaian ini, engkau masih belum menjadi Ayah. Namun, ingatan pada Ayah, semoga menjadi jalan bagimu untuk memberaikan segenap janji di dalam hati, bahwa engkau bercita untuk menjadi Ayah. Wah! Adikku sayang, engkau sedang meneruskan bakti. Semoga kelak engkau menjadi seorang yang baik hati, yaa. Teruskan citamu, lanjutkan perjuanganmu. Selagi ada kemauan, jalan mensenyumimu.

Oddy, mungkin saja saat ini kita memang tidak bertatap mata. Namun, yakinkan? Uni ada di sini, untuk menemanimu. Yes! Ketika engkau yakin, maka nikmatilah senyuman yang sedang menebar indah di hadapanmu.

🙂 😀 🙂

 
Leave a comment

Posted by on March 8, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , ,