Hijau adalah warna kesukaanmu, anakku. Dua kali engkau datang menemuiku. Untuk meminta izinkah? Memohon restu?
Sebelum melanjutkan langkah-langkahmu, meneruskan niat hingga berwujud. Tak lupa engkau menghampiriku. Engkau sungguh berbudi. Baik, penuh dengan tatakrama. Bahagianya aku menatap wajahmu yang kini tersenyum lebih cerah. Ya, untukmu anakku, permata hati belahan jiwa. Ibu merestuimu, merelakan keputusanmu. Semoga untuk selanjutnya, semakin ringan langkah-langkahmu dalam menjejakkan kaki di bumi ini. Ibu suka gayamu, Nak!
Engkau anakku, meski kita belum pernah jumpa. Engkau buah hatiku walaupun kita belum pernah bersapa. Engkau kini adalah bagian dari kehidupanku. Ini catatan, calon Ibu.
Engkau yang terlahir dari rahim seorang Ibu, adalah seorang perempuan. Perempuan muda, yang kini mulai beranjak dewasa. Meskipun baru seperempat abad lebih usiamu. Ya, dari sorot matamu, gaya bicaramu, dan gerak gerikmu. Aku tahu, akan hal itu. Walaupun dari pandangan mata jiwa di kejauhan, aku dapat memandang maksud dan tujuanmu. Engkau mendatangiku, ketika kelam malam mulai menepi. Menjelang dini hari. Dalam bait-bait mimpi yang sedang merangkai kata secerah sinar mentari, engkau turut menyusunnya. Satu persatu, kita berai ia. Adakah engkau menyadari akan hal ini? Walau hanya untuk beberapa lama, wahai sang buah hati.
Ibu, bukan panggilan dengan kata seperti ini yang engkau ucapkan padaku. Bukan pula sapaan salam sebagai pembuka pertemuan. Bukan, bukan. Namun, hanya sorot matamu yang berbicara, untuk ungkapkan maksud kedatanganmu, menemuiku. Saat itu, aku sedang terlelap dalam tidurku. Mimpi berjumpa denganmu, wahai putri jelita. Engkau sungguh ayu.
Dengan kostum kebanggaanmu yang engkau kenakan, tergambar jelas kebahagiaanmu. Engkau tidak tersenyum, hanya memasang wajah penuh kesungguhan. Bahwa engkau betul-betul serius. Keseriusanmu itu, menjelma wujud dirimu. Ia yang mewakilimu. Walaupun sebenarnya, ragamu pun sedang dalam kondisi lelap yang nyenyak. Ingatkah engkau, Nak… bahwa engkau pernah mendatangiku. Karena di sebalik ingatan, kan tercipta pertemuan. Meskipun di alam hayalan.
Mendatangiku, engkau tanpa suara. Walaupun kita bertatapan, tak bersapa. Ya, seingatku, memang begitu.
Terlelapku lebih lama, dalam rengkuhan selimut waktu. Hingga akhirnya tersadarku, setelahnya. Engkau tiada lagi bersamaku. Hanya beberapa saat saja, kita bersama. Detik yang sangat berkesan. Kok bisa, ya? Kita bertemu. Padahal, sebelumnya kita belum saling mengenal. Ya, ini cuplikan pertemuan kita. Semoga kita dapat menepikannya hingga ke ujung waktu. Seiring dengan perguliran masa yang terus melaju. Ia ikut menyertai perjalanan kita dalam membersamainya. Termasuk ingatan akan pertemuan yang singkat itu. Di dalam kelam, saat mataku sedang mengatup rapat. Di dalam tidurku.
Nak, aku tahu maksud kedatanganmu. Karena tak mungkin engkau berkunjung tanpa ada keperluan. Aku mengerti, apa maumu. Aku tahu, keinginanmu. Engkau benar-benar ingin meneruskan niatmu yang telah tercipta semenjak dahulu?
Berteguhlah Nak, dalam usaha yang sedang engkau upaya. Iringi ia dengan ikhtiarmu yang semakin menggunung. Tunjukkan bahwa engkau mampu. Engkau dapat merengkuh asamu. Engkau perlu menyatakan pada waktu berikutnya, pada Ibu. Bahwa engkau benar-benar berhasiiiilll, engkau sukses dan kemudian tersenyum. Senyumanmu, inginku lihat pada waktu yang bersamaan. Senyuman yang mengembang dengan lepasnya, dari lembar wajahmu yang bersemu kemerahan. Engkau sedang bermandikan sinar mentari. Engkau membersamainya dalam waktumu.
Nak, kelak engkau menyadari. Tentang makna perjuangan. Pun engkau mengakui akan maksud perjalanan. Tak untuk buang-buang usia, tanpa arti. Apalagi bercengkerama tanpa mengerti, untuk apa kita berkomunikasi?
Ketika kesempatanmu bersenyuman dengan mentari, dapat tercipta. Bersamai ia dengan sepenuhnya. Pagi tidak akan selamanya. Lihatlah, Nak. Perlahan teriknya semakin terasa. Engkau perlu bersiaga, untuk menemukan tempat yang teduh. Tak baik berlama-lama berjemur di bawah teriknya. Wahai anakku, yang sedang tersenyum.
Nak, teguh prinsipmu mencerminkan pribadimu. Engkau yang sedang meneruskan bakti, memberikan bukti, bahwa engkau sedang bergerak. Engkau selipkan rangkaian pesan demi pesan, di sela-sela persinggahanmu. Pesan yang engkau sempatkan untuk menciptanya. Walaupun beberapa diantaranya, engkau yakini akan segera tertinggalkan. Pesan yang engkau rangkai di banyak tempat. Tempat yang memungkinkan banyak pemetik dapat mengulurkan tangan untuk merengkuhnya. Tempat yang memungkinkan sesiapa saja dapat melayangkan pandangan ke arahnya. Tempat yang engkau bangun sedemikian rupa, di antara banyak lokasi lainnya yang tersedia. Engkau benar-benar penuh dengan strategi. Hari-harimu terencanai. Banyak jadwalpun tersusun. Kini, engkau sedang menjalaninya satu persatu. Semoga kelar seluruhnya yah, dengan mudah dan lancar.
Nak, memang kita tak berasal dari angkasa. Namun kita sama-sama pencinta semesta. Bintang gemintang yang berkelipan, sama-sama kita senangi. Kerlipannya mengajak kita terus-terusan ingin memandangnya. Mata kita sangat akrab dengan pemandangan yang baru saja. Karena, hampir setiap kesempatan kita manfaatkan momen yang paling berkesan ini, untuk menelurkan kata. Ada-ada saja kita, yaa. ::
Bercakap-cakap dengan suasana, itu yang kita suka. Bercengkerama dengan keheningan, itu sudah biasa. Apalagi kalau senja tiba. Mentari yang jingga, adalah pemandangan yang tak akan kita lupa. Tidak jarang kita mencipta bait-bait puisi saat melepasnya.
Ai! Kita memang sehati, Nak!
Namun, satu yang belum lagi ku mengetahui darimu, hanya satu. Apakah itu? Tentang pintamu terhadapku, dalam mimpi-mimpi itu. Akankah restuku terwujud ataukah berujung semu? Bagaimana kalau kita “keep” saja dahulu. Ya, karena kita pun tidak tahu menahu akan hal ini. Pintamu itu. Permohonanmu yang telah engkau ajukan. Semoga Allah berkenan, menyatukan pintamu dengan Izin-Nya. Walaupun waktunya kita belum tahu. Baiklah kita berhusnuzan, berprasangka baik setiap waktu. Berulang kali kita berlatih, agar terbiasa. Terbiasa berprasangka baik. Karena, kebaikan tidak akan pernah percuma.
Nak! Oia, bagaimana kabarmu saat ini? Teringatku akan dirimu. Engkau yang saat ini sedang berada jauh di sana. Sedang berada di manakah engkau, kiranya? Dalam nuansa seperti saat ini, ku tahu engkau sedang asyik dengan kegemaranmu. Karena engkau memang begitu, selalu begitu. Engkau gemar berguru, belajar dan kembali menebarkannya. Walaupun engkau adalah seorang guru. Namun, engkau masih saja belajar. Sungguh terkagumku padamu. Guru yang belajar.
Nak, telah sekian tahun usiamu. Engkau bertumbuh terus berkembang. Banyak negeri yang engkau kunjungi. Berbagai kota pun engkau tempuhi. Jalan-jalan ilmu, sangat mudah engkau hapalkan. Karena begitu rajinnya engkau bersamai. Sungguh, bahagianya aku mendengarkan berita ini, tentang perubahanmu yang drastis. Engkau yang berpeluang, dan memanfaatkannya optimal. Terima kasih anakku, atas dedikasimu. Menjadilah guru yang sebaik-baiknya. Karena, banyak penerus bangsa yang mengambil teladan darimu.
Guru, adalah gelarmu kini, wahai anakku. Engkau yang dulu, pada masa kecil pun berguru. Kenanglah bagaimana yang guru-gurumu lakukan dalam mendidikmu. Sehingga engkau menjadi seperti ini. Menjadilah sebagaimana guru yang semestinya. Guru yang ditiru.
Nak. Pintamu memang tak biasa. Karena, ini sangat menentukan bagaimana kelanjutan kehidupanmu yang berikutnya. Segeralah memutuskan pilihan. Ibu yakin engkau mampu, kalau engkau mau. Sebagaimana yang engkau pernah sampaikan pada murid-muridmu, aplikasikan pula dengan dirimu.
Engkau anakku, permata jiwa. Terulur selendang doa selepas sujudku, untukmu. Agar lancar dan mudah setiap urusanmu, Nak. Terutama atas niatmu yang pernah engkau terbitkan. Berkenan Ibu menyeruakkan lembaran jendela hati ini, agar gemilang sinarnya dapat memasuki ruangnya pula. Sehingga cemerlang sinar ketulusanmu, sampai pula kepada Ibu. Kita sama-sama menemukan pencerahan saat menatapnya. Karena ada makna yang ia bawa, untuk kita.
Nak! Setelah sekian lama engkau bersama alam-Nya, adakah hal yang sama engkau alami? Ketika keteduhan kembali menaungi ruang hati. Saat gemerlap sinarnya perlahan meredup. Sedikit demi sedikit, sinar itu keluar kemudian menjauh pergi. Untuk menelusuri arah perjalanan yang akan kita susuri. Ya, sinar tersebut telah terlebih dahulu meneruskan bakti. Untuk memandu kita yang akan melanjutkan perjalanan lagi.
Yakinlah, Nak, ada makna dari berbagai situasi. Begitu pula dengan yang engkau alami kini. Saat redup sedang berlangsung. Segeralah menatap ke hadapan. Lalu, temukanlah ada harapan baru di ujung sana. Sehingga, engkau kembali siap untuk meneruskan langkah-langkah lagi. Engkau tidak sendiri.
Nak! Teramat lama Ibu merangkai huruf satu persatu. Sampai saat ini, sudah sekian jumlahnya. Rangkaian huruf yang memesankanmu bait-bait kata untuk meneruskan perjuangan. Walaupun untuk beberapa masa, engkau terdiam dan belum mampu bergerak lagi. Kembalilah, Nak! Kembalikan lagi semangatmu yang dulu berkobar, membakar. Lalu rasakan bagaimana dahsyatnya doa Ibu. Engkau dapat menemukan tetesan kesejukan diantara kobaran yang sedang engkau nyalakan. Semakin ringan langkah-langkahmu, semakin bersahaja penampilanmu. Tetaplah dengan gayamu. Gayamu yang dulu. Engkau nan ayu, putri Ibu.
Ketika ada yang menanyaimu, tentang Ibu, tolong sampaikan pada mereka bahwa Ibu hanya ingin menjagamu. Walaupun engkau merindukan Ibu, karena engkau ingin tahu, “Siapakah Ibuku?”
“Tenang, tenang, tenanglah Nak. Tenangkan hatimu, teduhkan pikirmu. Baiklah engkau mengingat detik-detik pertemuan kita dulu, beberapa detik di dalam mimpiku. Engkau memanggilku dengan sapaan, Ibu, melalui tatapanmu. Terima kasih ya, atas kehadiranmu,” kesan Ibu dari kebersamaan denganmu.
Seorang anak, tidak akan pernah melupakan seorang Ibu. Karena walau bagaimanapun juga, ia terlahir dengan perantara seorang Ibu. Ibu yang menjadi jalan hadirnya ia ke dunia ini. Ibu yang sungguh, sungguh membuatku segera menderukan rindu. Aku rindu Ibu, Ibu yang ku rindukan.
“Adakah engkaupun merindukanku, wahai anakku?,” tolong jawab dengan jiwamu. Tak perlu mengucap jawaban hingga engkau bersuara. Cukup dengan anggukan kepala, lalu engkau merenungkan peran Ibu terhadapmu. Cukup dengan mengingat beliau, ketika saat ini Ibu tak di sisimu. Cukup dengan segera menemui beliau, Ibumu. Lalu, ucapkanlah sebaris kalimat teruntuk beliau, kalimat terbaikmu. Maka, sudah cukup bagiku. Aku bahagia.
Walaupun ternyata, untuk saat ini engkau tiada di hadapanku. Karena aku adalah Ibumu yang semu. Semoga kelak kita bertatapan dalam nyata, ku sampaikan padamu sebaris kalimat, “Terima kasih, yaa. Untuk kehadiranmu di dalam mimpiku. Wahai putri nan jelita. Kelak engkau pun akan menjadi Ibu. Yakinku. Menjadilah Ibu yang baik, Ibu yang dibanggakan oleh putra-putrinya. Ibu yang sebenarnya, Ibu yang selamanya ada untuk mendidik buah hati tercinta, dengan sepenuhnya. Walau sebagaimana sibukpun engkau. Namun peranmu sebagai Ibu, tidak akan pernah ada yang dapat menggantikan. Sure.”
Nak, jangan hanya menjadi Ibu yang semu. Ibu yang ada di alam mimpi. Ibu yang dielu-elukan. Namun nyatanya, tidaklah begitu. Karena Ibu yang sesungguhnya, benar-benar menjalankan peran sebagaimana ia berperan. Ingatlah…
Ketika engkau kecil dulu, aku belum mengenal siapa engkau. Saat engkau telah balita, belia dan remaja, pun kita belum berkenalan. Lalu, saat ini, engkau telah mulai beranjak dewasa. Tiba-tiba engkau datang dalam kehidupanku, untuk memohon restu. Wahai, siapakah engkau gadis yang lugu? Engkau yang seringkali mudah bersemu karena malu, saat ada yang menggodamu. Engkau yang segera menggebu-gebu semangat di dadamu, saat melakukan aktivitas dalam hari-harimu, dan ada yang tahu. Lalu, engkau tempatkan di mana peran-Nya Yang Selalu Memantaumu? Bagaimana pula engkau dapat terlewatkan akan hal ini? Padahal engkau adalah seorang calon Ibu. Ibu yang akan menjadi teladan, bagi putra-putri, buah hatimu kelak. Tidakkah engkau malu, apabila mereka menyadari bagaimana Ibu mereka yang sesungguhnya? Tanyalah hatimu, coba tanyakan padanya, tentang hal ini. Ia yang akan memberitahumu, kalau engkau belum tahu.
Lalu, menanyalah lagi, pada dirimu, “Apakah benar aku begitu?”
Padahal aku adalah madrasah dalam keluargaku. Pengajar pertama permata hatiku. Pendidik utama dalam keluargaku. Bagaimana aku belum lagi menyadari akan hal ini? Kalau dalam sikapku terselip niat, padahal Allah Maha Tahu.
Aku, itukah aku yang sebenarnya? Aku yang pada waktu-waktu tertentu seringkali terbujuk rayu. Sungguh, betapa aku ingin menjadi diriku yang dulu. Aku yang masih balita, bersih dan tanpa bercak noda. Aku sungguh malu dengan diriku. Betapa kejamnya aku pada diriku. Aku yang pada suatu waktu, akan kembali kepada Rabb-ku. Lalu, mempertanggungjawabkan atas setiap perbuatanku. Terlebih lagi, niat yang terselip di dalam ruang hatiku.
“Apakah ia terjaga selalu?” bertanyaku pada langit biru, namun ia seakan kelu. Ia malu. Lalu sembunyi di kelam malam. Esok, aku akan bertanya lagi padanya. Semoga dapat ku rengkuh kesempatan itu lagi. Kesempatan untuk menempuh hidupku yang baru, dengan hari yang baru. Bersama niatku yang satu. Karena Allah, aku melangkah. Bersama Allah, aku berjuang. Dalam harapan tertinggi pada-Nya, aku kembali melanjutkan perjalanan. Untuk dapat menjumpa-Nya, dalam sebaik-baik akhir. Aamiin ya Rabbal’alamiin.
“Nak! Ketika engkau telah menyadari tentang siapa engkau yang sesungguhnya, kemudian berjalanlah lagi. Teruskan gerakmu, ayunkan tanganmu. Menataplah ke hadapan, kemudian yakinkan hatimu. Bahwa engkau dan dirimu adalah sahabat yang terbaik. Bersahabatlah dengan dirimu, maka engkau dapat mempersahabati sesiapa saja yang ada di sekitarmu,” tolong ingatlah pesan Ibu.
Jujurlah dengan diri sendiri, lebih sering. Sapalah ia dalam keheningan, bersamainya lebih sering. Berikan ia kesempatan untuk melakukan yang terbaik. Dengan demikian, akan lebih mudah bagimu untuk mengetahui, apa maunya. Karena maunya adalah maumu. Kalau memang engkau mau, maka engkau mampu.
Iringi ikhtiarmu dengan kesungguhan dalam berdoa. Doa Ibu senantiasa untukmu, Nak. Carilah teman dalam perjalanan, teman terbaik. Semoga doa kita bersatu. Dan kita saling berpandangan untuk ke sekian kalinya di alam yang semu. Engkau kembali hadir dalam mimpiku untuk masa-masa yang berikutnya. Temani aku, lebih sering. Dengan bahagia, aku menyambutmu.
Wahai anakku, aku memang bukan Ibumu. Namun, mengapa engkau memohon restuku terlebih dahulu?
Semoga kita dapat memaknai berbagai keadaan. Agar, tergerak kita untuk segera beringatan satu sama lainnya.
“Karena di balik yang terjadi pasti ada hikmahnya untuk kitaaaaaaa….. ,” senandung D’Masiv “Jangan Menyerah.”
🙂 😀 🙂