RSS

Tag Archives: kuntum

Ku Terima Mahar “Ikhlasmu”

AMANAH ALAM

AMANAH ALAM

Mahar. Tiba-tiba alam sadarku mengingat satu kata ini. Kata yang hingga saat ini, masih menempel di pikirku. Ia hinggap, semenjak penghujung hari, mulai menutup siang.

Sore ketika itu.

Terlihat mentari di ufuk Barat, malu-malu. Ada seberkas sinar yang masih tersisa, dari balik awan yang mulai kelabu. Mentari tersenyum padaku.

Syahdu. Begini suasana yang aku alami saat menyaksikan rona langit yang kelabu. Ada kuntum niat yang mulai menyeru. Bagaikan sebuah taman yang sejuk, damai. Di sekitarnya ada pepohonan yang rindang. Angin sedang bertiup. Sedangkan aku ada di bawahnya. Teduh, tenang, penuh dengan kesan. Padahal, saat itu aku sedang berada di tengah perjalanan menuju pulang. Selepas beraktivitas, tentunya.

Ada sebaris rindu yang terasa menyentuh kalbu. Aku rindu ikhlasmu. Itu yang ada dalam pikirku. Tak mahal harga mahar yang ku inginkan. Hingga engkau tak sanggup memperolehnya untukku. Bukan jauhnya jarak yang perlu engkau tempuh untuk mendapatkannya. Hanya dengan ikhlasmu saat menemukannya, membingkisnya, lalu membawanya menujuku, itu yang ku mau.

Tak  perlu berlama-lama dalam diammu. Ketika kelu memang sedang menyelimuti ruang harimu, ada baiknya engkau memberitahuku. Bahwa engkau sedang mikir dulu. Betulkah aku, yang engkau maksudkan? Untuk engkau serahi seperangkat mahar. Mahar “Ikhlasmu.”

Iya, aku memang tidak tahu kalau engkau tak memberitahu. Apalagi kalau dengan caramu yang seperti itu. Terdiam, karena pangling ataukah terdiam karena tak mahu tahu? Padahal engkau mempunyai persediaan ikhlas yang tak ku tahu, berapa kapasitasnya. Ikhlasmu menempuh waktu, menjalani hari-harimu, sebelum ada aku. Itupun sudah cukup bagiku untuk mengetahui, bahwa engkau benar-benar tercipta untukku. Karena aku, pun begitu.

Bukankah kita tercipta berpasang-pasangan? Aku yakin engkau sudah tahu semenjak dahulu. Engkau dan aku ada untuk menjadi satu. Sepasang keikhlasan tentu lebih mudah untuk bertemu, meskipun dalam bait-bait rindu.

Ku lanjutkan langkah kaki satu persatu. Bergantian ia saling mendahului. Kiri lalu kanan, kiri dan kemudian kanan lagi. Sepanjang perjalanan, ku seringkali melayangkan tatapan ke arah langit yang menaungi. Ada warna dan lukisan berbeda di ujung sana. Aku terkagum sungguh terharu. Indah tampilannya, tak dapat ku abadikan. Ya, karena aku tak punya alat perekam saat itu. So, ku rekam ia dalam ingatan, semampu yang aku mau. Karena ku sangat ingin agar ia abadi, menjadi catatan dalam perjalanan. Untuk ku kenang nanti, saat waktu telah berganti. Agar ku kisahkan padamu, tentang hal ini. Aku ingat mahar “Ikhlasmu”, ketika ku sedang berjalan.

Sendiri, ketika itu. Di sisiku, memang tak ada yang sedang mendampingi. Tak ada wujud yang terlihat nyata. Hanya kendaraan yang melaju, menyeimbangi kecepatan kaki-kakiku. Namun aku kalah cepat. Wah! Kalah untuk sementara waktu, bukanlah perkara. Baiknya berdamai dengan keadaan. Toh, ada masanya kita melaju, tak lagi mengambil langkah seribu. Yah, seperti kendaraan-kendaraan itu.

Untuk menyamakanmu dengan yang lain, bukanlah aku. Karena menurutku, engkau begitu spesial. Istimewa dan tak terbandingkan. Engkau punya keunikan dan ciri khas dari cara pandangku.

Benarkan begitu? Engkau pun mengakuinya?

Belum lama, semenjak jarum jam menunjukkan angka lima. Itu berarti, sudah saatnya beralih aktivitas. Karena, ada yang sedang menungguku di lain tempat. Ia pasti harapkan kedatanganku. Ku percepat langkah, dari sebelumnya. Kembali ku menatap ke arah langit. Tampak seberkas sinar yang lebih terang. Mentari sampaikan salam, sebelum akhirnya berpamitan. Nuansa yang seakan dejavu. Aku mengingat-ingat perjalanan diri. Kapan ya, terakhir kali aku merasakan nuansa seperti ini?

Bukankah saat ini sore? Lalu, hembusan angin yang menerpa pipi kiri dan kananku, seakan menandakan ini masih pagi. Saat nuansa yang sama pun berlangsung pada masa yang telah berlalu. Bedanya, saat itu mentari mulai meninggi. Sedangkan tadi sore, mentari perlahan menyelinap di balik awan. Di penghujung barat, ia kembali mengembangkan senyuman. Selamat jalan mentariku, semoga esok kita kembali dapat bersapaan. Inginku lihat cerah wajahmu, mengembangkan kebahagiaan. Menebariku dengan pancaran sinarmu itu. Aku ingin kembali bersamamu. Membersamaimu dalam menjalani waktu.

Namun kini, ketika malam mulai beranjak gulita, pikirku masih saja sama. Tadi ku teringat mahar “Ikhlasmu.”  Sesuai dengan pengalamanku pada masa yang sudah berlalu, ia akan terus menjejeriku sampai akhirnya ku tumpahkan ia di dalam sebuah catatan.

Entahlah… aku pun terkadang tak mengerti tentang semua.

Begitu pula dengan ingatan yang hadir semenjak tadi. Tentang mahar “Ikhlasmu” yang menyertaiku. Aku mahu ia tak selalu menggelayuti ruang waktuku. So, tolong izinkanku menitipkannya di sini. Lembaran yang ingin seringkali ku coreti. Meskipun tak kenal waktu. Pagi, siang, malam, dini hari ataukah pada sore hari. Aku perlu mengeluarkannya segera, agar tak mengusik pikirku yang lain. Agar, setelah ia sampai di sini, aku tahu. Sebelumnya aku berpikir tentang hal ini.

Mahar “Ikhlasmu” ingin ku pancing lebih awal. Ya, semenjak saat ini, ketika aku belum lagi bertemu denganmu. Engkau yang akan menyerahiku. Benda apakah itu? Ataukah tak berwujud sama sekali?

Tentang harganya, aku tak perlu menanya lagi. Karena ikhlasmu tentu lebih tinggi nilainya dari apapun juga. Selamat ber-survey ria yaa. Pilihkan mahar terbaik untukku, dengan nilai ikhlasmu itu.

Seberapa mahal ikhlasmu? Apakah masih dapat kutuliskan dengan susunan angka untuk menjadikannya nyata? Ataukah memang tak ada lagi ruang kosong yang tersedia, saat ku coba menyusun angka?

Ku akan membuktikannya, pada suatu masa. Tentang nilai ikhlasmu.

Bertanya ku pada masa, hari dan waktu. Tentang engkau yang belum ku tahu. Ataukah, engkau yang pernah ku bertemu?  Bertanyaku pada sesudut bagian diriku di sini. Jauh di dalam, tersimpan dalam sebuah ruang khusus. Seringkali ku mengunjunginya, untuk memastikan keberadaanmu di sana. Namun hingga saat ini, masih belum jelas.

Bagaimana ini, bagaimana?

Terpana ku di tengah perjalanan. Saat awan gemawan yang berpetak-petak itu, perlahan berjauhan. Ada yang kemudian membentuk pola memanjang, melengkung dan titik-titik. Pun ada pula yang menjalin diri membentuk tali temali.  Pemandangan yang kembali ku renungi. Betapa indahnya alam ini. Sejauh mata memandang, adaview yang tak sama. Sehingga sulit bagiku untuk menerka, apakah pemandangan yang sama akan kembali berada di hadapan mata? Belum, belum, belum sampai pikirku ke sana. Karena saat menyaksikan pemandangan yang serupa, pikirku sedang penuh dengan sepotong kata, “Mahar.”

Ada kata yang selama ini belum pernah, mungkin, ku susun seperti ini. Namun saat ini, karena ia hadir dan mampir dalam ingatan, maka ia pun ada. Memang beginilah adanya. Aku yang seringkali mengalami kondisi berbeda. Tak kenal musim apakah namanya. Ada-ada saja yang terpikirkan. Eh, mahar pun ikut-ikutan menyemarakkan hari ini. Apakah karena sudah dekatnya masa ku menerima persembahan berupa mahar? Dari calon suami yang beberapa detik kemudian, … akan menjadi “Suami.”  Aamiin.  Xixixiiii… Tergeliku mengingati.

Oiya, mengapa hal ini terjadi? Ini bukanlah ilusi ataukah sekadar intuisi. Apalagi berimajinasi. Karena, benar-benar dech, dalam seharian ini, topik bahasan menyinggung-nyinggung tentang hal ini. Semenjak pagi, siang, sampai sore menjelang. Setiapkali ku menjalin komunikasi, tema intinya adalah tentang pernikahan.

Wah. Aku benar-benar kepikiran. Sampe sore, ingatanpun mengalir tentang tema tersebut.

Bukankah mahar berhubungan dengan pernikahan? Betul, kannnnn?  😀

Ini buktinya. Ketika pada suatu saat, ku berjumpa dengan seorang sahabat dalam sapa. Hony,  nama beliau. Adapun ringkasan percakapan kami adalah seperti ini.

Hony: Yani….. Pa kabar?

Me : Hai Hony… *_^ Alhamdulillah… Sehat dan semangat!  Hony, I miss you, teman… Lah gadang anak Hony yo, sia namonyo?

Hony : Anak yang maa ko..

Me : Eh, lah married alum??  Yn sempat liek ado bayi. Xixiixixii…

Hony : Lum lae, Yani Ǘϑäђ merid?

Me : Oh, samo, alum lai. Bakaba Hony?

Hony : Lae sehat. Yani ba a

Me :  Alhamdulillah…. lai sehat wal’afiat. Hony, lai acok basuo samo kawan-kawan?

Hony : Lae jo ‎ƪά̲̣̥Ĥ Yan.  Tu cowo’ Yani tu yang ϑΐ PP tu?

Me : Hehe, engga lah Hon, dapat dari searching di site. Samo sia? Anak-anak lah pado merit yoh?

Hony : Ci Roza, Sisna anak sekretaris.  Yo ‎ƪά̲̣̥Ĥ banyak yang merid Yan.

Me : Hony bilo? Hohooo…   😀

Hony : Doaan se ‎ƪά̲̣̥Ĥ secepat πγå.   Hahaha. Yani gimana?

Me : Yes! aamin, lah ado calon koo haaa?  Yn alum lai, doaan yoo?  Hehe.

(Cut!)

***

Selanjutnya, percakapan yang berikut ini. Bersama Ida, teman satu kostan, dulu. Beliau kini ada di Korea.  Eh, maksudnya, bekerja di perusahaan Korea, di Subang.

Ida : Bunnnnnnnnnnnnnnnnn??

Me : Yessss… Ida so sweet.

Ida : Hah bundo, kuaaangen sangat.  Btw, udah selesai kul-nya??

Me : Oh, belum. Kangen too….. Ida dimana ayeuna?

Ida : Di subang.  Ohhh. Kapan atuh rencana selesai??

Me : Dalam tahun ini, maksimal 6 bulan lagi. Habis itu cariin suami yaaaahhhhh  😀   Biar Ida ada Ayahnya. 

Ida : Ok aQ dukung. Yaaa suaminya mau seperti apa??

Me :  Shaleh dan baik hati, kaya juga.  Aamiiin

Ida :  Aamiiin, asyik nanti aQ punya Ayahhh.

Me : Ida, kapan main ke Bandung?  Nginep di Yn yahhhh…

Ida : Nanti kalau ke Bandung lagi di-calling.  Ai, ini poto siapa??  Kok cowo’??

Me:  Itu kan poto artis (foto yang mana ya!?).  Ida, kerjanya di mana sekarang?

Ida : Di perusahaan korea.

(Cut!)

***

Berikutnya, ada lagi. Ini terjadi lebih awal. Bersama Teh Riamariamariamaria, my twin. Berikut cuplikannya, komunikasi yang kami bangun. Ketika kesempatan jumpa menitipkan waktu untuk kami tempuhi bersama.

My Twin : Marya Ryama

Me :  Yes,   😀  my twin.

My Twin :   Hehhee,  apa kabar?  Foto siapa itu?

Me : Ow, Yn cakep banget, sekarang.  Bagaimana keadaanya dan keluarga. Sudahkah Yn punya ponakan baru? Lama kita tak jumpa yaah.

My Twin :  Hohohoho, doakan aja yah biar dede’ nya cepet datang.  Hehehe.  Iya, lama tak jumpa.

Me :  Ok.  Teh,  I miss you so much.  Kapan kita jumpa fans gitu, yah?

My Twin :  Hehhee,  I miss you too. Kapan atuh ya, Marya main ke Tasik atuh.

Me : Iya, yaa… Kapan-kapan kita jumpa.

(beberapa saat kemudian)

My Twin :  Eh, Mary lagi sibuk gak. Aku mau ikut survey nih. Suami ku lagi belajar nulis buku.

Me : Oia,….?  Bentar, lumayan kalo sekarang.

My Twin : Ooooo………….  Iya, cuma mau nanya:  apa yang Marya inginkan dari seorang pria?

(beberapa menit kemudian)

Me : Pemahaman dan pengertian.  Karena wanita butuh dimengertiiiiiii…   😀

My Twin : Oooo, hehhehe. Barangkali punya alasan mengapa pengen itu?

Me : Maksudnya gini. Karena terkadang, wanita mempunyai kecenderungan untuk bersikap yang membuat pria tak mengerti. Suka bersikap aneh (menurut pria), tapi wanita menyadari apa yang ia lakukan sebagai hal biasa. Ataupun wanita tak menyadari atas sikapnya. Ternyata salah atau kurang tepat di mata pria. So, pemahaman dan pengertian sangat berperan dalam hal ini.

My Twin : Wess, udah lengkap dengan alasannya.  Siiip mantapppp.

Me : Keren. Hehehhe. Iya, lengkap.  Itu impian Yn ketika nanti deket dengan pria. Tapi sekarang, mah belum. Jadi bikin data segitu dulu. Bisa jadi nanti nambah lagi.  😀

My Twin : Ow, hehhehehe.

Me :  😀

My Twin : Ok, makasih ya neng...

Me : Iya,.

My Twin : Nanti aku minta datanya yah neng.  Rencana jawabannya akan dimuat dalam buku tersebut, hehe.

Me : Wee,  terima kasih sekali, mari kita saling bersinergi.  Xixixiii.

My Twin : Okay…… hehhehe.

Me :  😀

Dan disepanjang percakapan yang sedang berlangsung, tercipta nuansa yang berbeda. Nuansa yang mengingatkanku pada seseorang yang nun entah berada di mana. Ada harapan untuk berjumpa, di dunia. Walaupun kita tak dapat menerka, siapakah ia? Ada di mana? Sedang baik-baik sajakah kondisi dirinya di sana? Semoga.

Aku tahu, ia sedang diperbincangkan oleh kami, meski samar dan tidak jelas. Namun, terbersit indahnya ketika ia tahu, bahwa topik utama adalah dirinya. Tolong maafkan kami, yang sempatkan masa mengingatimu, wahai sang imam yang telah tertulis di Lauhul Mahfuz.  Yakinku, engkau ada. Karena aku ada. Sangat jelas terpatri kini.

Oia, berhubung para teman nanyain siapakah wajah yang sedang mejeng pada profil pictureku kala itu.  Beliau adalah  Fawad Alam.  Fawad Alam is …?  Seorang yang berprestasi pada bidang yang beliau tekuni.  Bidang yang membutuhkan latihan panjang dan berkepanjangan, untuk menjadi ahli.  Keahlian yang dapat digenggam, ketika kita ikhlas dalam menjalani masa-masa sebelum bersamanya.

Ikhlas, yah. Satu kata yang perlu ada dalam kehidupan. Karena alam yang sedang kita tempati ini, turut serta menunjukkan keikhlasannya dalam mengabdi dan  menjalankan bakti.

Perhatikanlah alam, ia tunduk patuh pada aturan-Nya. Sehingga alam seringkali membuat kita terkagum-kagum. Kita ingin menyatu dengannya, beberapa waktu setelah aktivitas menjedakan pertemuan kita dengan alam. Alam yang kehijauan. Ia penuh dengan keikhlasan. Seindah hamparan alam, wujud mahar “Ikhlasmu” yang ku inginkan. Tinggi nilainya, tak tersusun dalam angka-angka. Karena nilai tertinggi keikhlasan, bukan untuk diukur, ditimbang, atau diperkirakan.  Ia dapat terasa. Ketika pemberian berlangsung dengan taburan keikhlasan, maka penerima akan mengetahuinya. Hal yang sama pun terjadi, saat penerima mengalami aura yang asing, mungkin saja hal yang demikian sedang berlangsung pada pemberi. Bukankah pemberian dari hati, akan sampai kepada hati? Begitu sebaliknya.  Semoga kita lebih awas dan mengenali, semenjak dini akan hal ini. Tentang keikhlasan. Tentang keikutsertaan seluruh anggota tubuh, dalam menjalankan apapun yang ia laksanai.

Untuk itu, temukanlah jalan ikhlasmu, semenjak saat ini. Terhadap hal-hal ringan yang terkadang tak terlihat, hanya dapat dirasakan.

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on May 24, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , ,

Kembang dari Kota Kembang

This slideshow requires JavaScript.

Teman, lihatlah sekuntum dua kuntum bunga yang sedang mekar. Di sisinya ada dedaunan yang mempercantik tampilannya. Di sekitarnya ada duri-duri yang sedang memberikan perlindungan pada batangnya. Bahkan sangat dekat dengannya, ada helai-helai dedaunan lainnya yang menyelingi. Terkadang, kita melihat pula ada jemari yang mendekat padanya. Jemari yang terpesona dengan keelokan kembang. Lalu ia mendekatinya.

Teman, begitu pula dengan kehidupan yang sedang kita jalani. Hingga saat ini, ada senyuman yang sedang kita ukir, muncul pula di wajah yang kita bawa. Ada kesejukan yang menaungi relung jiwa. Ada pula perlindungan yang kita berikan kepadanya. Dan sangat dekat dengan kita, ada sapaan yang memberikan pewarnaan terhadap diri. Terkadang, kita menyadari, bahwa ada jemari yang sedang memberikan gemulainya mendekati kita. Kita sedang berada dalam tatapan-Nya. Kita berada dalam genggaman-Nya.

Teman, seiring dengan perjalanan waktu, kita akan menyadari, tentang makna kehadiran diri. Tentang kehadiran kita saat ini. Tentang berbagai warna hidup yang kita alami. Baik untuk keadaan yang kita senangi, maupun keadaan yang membuat kita kembali mengalirkan pikir lebih jauh.

Pada suatu waktu, kita berjumpa dengan apa yang selama ini hanya ada dalam harapan saja. Nyata-nyata, dan terlihat dengan tatapan mata yang sedang memandang. Ya, adakah kita mensyukuri atas segala yang sebelumnya kita harapkan terjadi dan kita mengalami saat ini? Begitu pula dengan kesabaran yang perlu kita pupuk pada saat yang tepat. Karena kita tidak pernah tahu, melalui kehadiran siapa, kita belajar untuk bersabar. Kita tidak dapat menerka-nerka, saat berinteraksi dengan siapa, kita mengalami pendewasaan diri. Iya, kita jalani apa yang terjadi, tanpa henti memetik kembang hikmah darinya. Kita hidupkan hari, dengan terus menata niat, untuk keperluan apa kita berbuat? Untuk kepentingan siapa kita bersikap? Sehingga kita kembali mau menyadari, sadar dan tersadari setiap saat. Semoga hanya yang terbaik yang kita perbuat, terhadap siapapun yang kita bersamai. Karena, tidak selamanya kita bersama, dalam kondisi dan suasana yang sama. Akan ada kabar yang lebih membahagiakan jiwa, di hadapan. Saat kita mau berjuang untuk menjemputnya.

Kabar tentang apakah teman?

Teman, hari demi hari datang dan pergi silih berganti. Banyak jenis warna hidup yang kita temui. Beraneka karakter insan yang kita bersamai. Begitu pula dengan cuaca serta iklim yang menyelingi. Kita tidak dapat memastikan panas berkepanjangan sepanjang siang. Tidak pula kita yang menentukan kapan hadirnya hujan yang membasahi bumi. Malam pun begitu. Tidak selamanya bebintang terlihat berkelipan. Pada masanya, purnama menunjukkan pribadinya yang mempesona. Hingga tahulah kita bahwa ternyata, silih bergantinya tampilan alam, memberikan kita bahan pelajaran. Untuk kita pahami dengan sebaik-baiknya. Agar, kita dapat memetik kembang-kembang hikmah yang bermekaran,  dari alam-Nya.

Teman, saat cuaca begitu terik pada siang hari, tersenyumlah bunga dengan meriahnya. Karena terpaan sinar mentari yang menembus kelopaknya, membuat para kelopak menjadi lebih berseri. Pada waktu yang lain hujan kan turun menetes padanya. Maka, kesegaran dapat segera ia rasakan, ketika hujan datang untuk memberikan kedamaian. Sedangkan tiupan bayu yang bersemilir mendayu, memberinya kesempatan padanya untuk melambaikan tangkai dengan lembut.

Teman, terik mentari yang bersinar cemerlang, hujan yang menyejukkan, begitu pula dengan semilir angin yang sepoi, memberikan bahan pelajaran pula. Pada kembang yang sedang mekar, ia menitipkan pesan. Melalui keadaan dan nuansa berbeda yang mereka bawa, benih-benih pelajaran sedang menebar.

Teman, saat kita memberikan beberapa menit waktu untuk memperhatikan kehidupan kembang yang sedang mekar. Dapatlah kita dapat memaknainya bersamaan dengan pemaknaan yang kita berikan pada kehidupan yang sedang kita jalani. Kita yang sama-sama berada di alam bersama kembang-kembang tersebut.

Teman, kita dapat bergerak dan melangkah. Untuk berpindah ke lain arah.  Dengan demikian, kita dapat menemukan nuansa yang berbeda, segera. Sedangkan kembang tersebut tidak dapat berpindah untuk menunjukkan bahwa ia juga sedang bertumbuh. Namun, pergerakannya dapat kita saksikan, dari perubahan yang ia alami. Berubah fisiknya yang bertumbuh ke bagian atas dan  berkembang daunnya lebih lebar. Pun bermekaran pula kelopaknya yang cantik. Sebelumnya mereka tiada, bukan?

Teman, engkau yang saat ini sedang berada sangat dekat dengan kuntum-kuntum kembang yang sedang mekar, dapat memperhatikannya lebih teliti. Kalau di samping ruang tempat tinggalmu ada taman yang penuh dengan bunga-bunga bermekaran. Akan tetapi, kalau engkau tidak mempunyai kembang di taman dekat rumah, maka engkau dapat membayangkan saja. Bahwa sangat dekat denganmu, ada taman yang penuh dengan bunga-bunga yang indah. Ya, di dalam hatimu. Di sana terdapat sebuah taman yang sedang bermekaran bunga-bunga senyuman.

Bayangkan… bayangkanlah bahwa taman tersebut sedang berhiaskan warna-warni sungguh indah.

Rasakan… rasakanlah aroma semerbak yang menerpa indera penciumanmu. Sungguh! Kesegaran alami yang hadir menerpa, dapat engkau rasakan? Bukalah matamu lebih lebar, mata hatimu. Karena, kalau tamanmu berada di dalam hati, maka engkau hanya dapat membuka mata hatimu untuk dapat melihatnya.

Sedangkan dua bola matamu yang berkedipan, dapat engkau buka dengan baik. Lalu, menghadaplah ke arah taman di samping tempat tinggalmu. Hai! Memandang ke taman tetangga juga boleh.  Hanya untuk melihat saja, sejenak. Agar kita dapat sama-sama menyaksikan sebuah taman yang sedang berbunga-bunga,  saat ini.

Setelah itu, yuuks kita belajar memaknai sebuah taman yang sedang kita pandangi saat ini, bersama-sama. Ada bunga apa saja, yang berada dalam pandangmu saat ini, teman? Bunga mawar berwarna orange-kah? Bunga mawar berwarna putih, merah, atau pingky? Ataukah ada melati di sekitarnya? Bagaimana dengan bunga yang kelopaknya sungguh lebar? Dapatkah engkau menemukan salah satunya? Seperti bunga Rafflesia, mungkin? Ai! Ini bunga yang langka.

Nah! Bagaimana dengan kuntum-kuntum yang kelopaknya sangat kerdil dan keciiil? Edelweis, namanya. Adakah bunga tersebut engkau saksikan pula saat ini, teman? Edelweis yang tumbuhnya tidak pada sembarang tempat, ia terlindung sungguh terjaga. Ia tiada di mana saja. Kecuali kalau engkau membawanya sehabis perjalanan menembus alam yang penuh dengan tantangan. Di puncak-puncak gunung tertinggi, Edelweis berasal.

Ai! Sudah jauh ke puncak gunung, pikirku berkelana. Padahal, semulanya kita berada di taman yang penuh dengan bunga-bunga beraneka warna. Mari, kita kembali ke rumah. Ya, kembali kita untuk memperhatikan kuntum-kuntum bunga di taman samping rumah. Kembali kita memperhatikan kembang yang sedang bermekaran, di taman tetangga. Kembali kita memupuk kembang senyuman yang berasal dari taman hati.

Kita perhatikan dengan seksama, kuntum-kuntumnya yang indah. Ia hidup bersama segar aroma wanginya yang mendamaikan. Kita mendekatinya lebih dekat. Dan salah satu dari kembang tersebut, kita sentuh dengan penuh kehati-hatian.

“Lihatlah teman, Teh Feni sedang mempraktikkan hal yang serupa. Beliau sempat mengabadikan lembaran jemari yang sedang mendekat dengan kuntum kembang yang sedang mekar. Dua lembar potret sebagai kenangan berasal dari beliau. Saya yang minta. Hahaaa… 😀  Dengan kebaikan, beliau memblutut ke hapeku, beberapa waktu yang lalu. Xixixiii. Terima kasih ya, Teh Feni.”

Kuntum kembang berwarna orange tersebut, pernah pula saya saksikan beberapa waktu yang lalu. Entah di mana, dan kapan tepatnya, saya tidak dapat mengingat lagi. Namun, pada waktu yang sama, terbersit pinta pada relung jiwa. Ia ingin mengabadikan kuntum tersebut. Ia ingin memperhatikan kembali kelopaknya yang sedang bermekaran. Ia ingin membawanya pulang. Namun, semua baru harapan, ketika itu.

Waktu terus berlalu. Hingga akhirnya, kembang yang pernah ia perhatikan dengan tatapan mata dalam nyata, kini tiada.

Beberapa hari kemudian, berkesempatan pada suatu siang, Teh Feni memperlihatkan kuntum-kuntum kembang yang sedang bermekaran di sebuah pot. Pot tersebut berada di lantai dua teras rumah beliau.

“Yani sukaaaaaaaa…….. Teh Feni cantik, dech,” senyumanpun mengembang dari wajahku.

Wajah yang segera berbunga-bunga. Ia teringat kuntum kembang senada, yang pernah ia perhatikan pula. Namun, ia tak berkesempatan mengabadikannya. Padahal, sangat ingin ia membersamainya lebih lama. Apa daya, belum berjodoh kiranya dengan sang bunga.

Untuk selanjutnya, kembang-kembang berwarna orange, telah menempuh masa pengeditan. Ada lembaran lain yang ia singgahi. Ada halaman berikutnya yang ia hampiri. Ada taman berikutnya yang ia tumbuhi. Di sini, di taman hati seorang sahabat. Lembaran maya, tempatnya berada kini. Untuk bertumbuh pula, menampakkan kelopaknya yang mempesona. Kelopak berwarna orange yang  cantiiikkk dan aku sangat suka.

Teman, dalam kehidupan ini, terkadang kita tidak dapat memperoleh apa yang kita inginkan, secara langsung. Ya, pada saat kita menginginkannya, kita belum tentu membersamainya. Seperti halnya kisah yang saya alami pada waktu yang sebelum ini. Ketika saya pernah menyaksikan sekuntum kembang mawar berwarna orange, entah di mana. Namun pada saat yang sama, ada keinginan untuk memperhatikannya lebih lama. Dan beberapa lama kemudian, ia telah membersamai. Maka, mengabadikannya dengan bersyukur adalah pilihan. Saya bersyukur atas kembang berwarna orange yang Teh Feni perlihatkan, lalu beliau rela mentransfernya.

Teman, saat kita berjumpa dengan apa yang selama ini kita inginkan. Lalu, dapatkah dan maukah kita memanfaatkan kesempatan? Ketika banyak orang bilang, bahwa kesempatan tersebut tidak datang untuk kedua kalinya, benarkah? Saya masih belajar untuk memaknai kalimat yang serupa. Serupa namun tak sama. Ya, tergantung pada bagaimana cara kita dalam memaknai kesempatan, kali yaa. Apakah kita beranggapan bahwa kesempatan yang datang saat ini, merupakan kesempatan satu-satunya?

Teman, saya sangat yakin, bahwa peran Allah sangat besar terhadap kehidupan kita. Termasuk apa yang sedang kita jalani hingga saat ini. Semuanya telah Allah atur dengan sangat rinci. Tentang beraneka keadaan yang kita jalani, mungkin saja kita belum menyadari. Ataukah kita terlampau memahami. Sehingga kita terkadang belum mampu mengendalikan hari. Kita seakan terbuai oleh apa yang berada pada genggaman orang lain. Namun, bagaimana kepedulian kita pada apa yang sedang berada dalam genggaman Allah?

Semenjak dahulu, kita belajar. Semula hadir di dunia, kita belajar hal-hal yang baru. Hingga saat ini pun begitu. Banyak pengalaman yang kita alami. Banyak jenis karakter insan yang kita temui. Kita tidak hanya bersama dengan Ayah dan Bunda yang memberikan kita pelajaran lebih awal. Hingga detik ini, entah sudah berapa orang yang kita temui. Semua menitipkan kita bahan pelajaran, tentang kehidupan. Karena banyaknya, terkadang kita jarang mengingat. Kita yang tersibukkan dengan harapan dan keinginan yang terus kita bangun. Kita mungkin saja tidak menyadari, sudah sejauh apa kita melangkah hingga detik ini.  Untuk keperluan apakah?

Padahal, semua kita sama-sama membawa sebuah taman yang sedang berada dalam genggaman-Nya. Taman yang perlu terus kita jaga, karena ia adalah titipan dari pemiliknya. Taman yang penuh dengan bunga-bunga beraneka warna. Salah satunya adalah bunga senyuman.

Boleh kita memberikan sekuntum bunga pada teman, bunga senyuman yang kita petik dari taman hati. Lalu, kelopaknya pun menebar meluruh dengan taburan semerbak yang menyegarkan. Percayalah, senyuman itu  mampu menyegarkan keadaan. Dalam terik panas sekalipun, ia menitipkan kesejukan. Ketika hujan membasahi alam, ia selipkan kehangatan.

Teman, terkadang, sangat banyak aktivitas yang kita jalankan. Sehingga membuat kita sangat tidak mudah untuk mengukir senyuman. Beratnya beban pikiran yang bernaung dalam ingatan, dapat pula membuat senyuman terlihat mahal.  Padahal, sekuntum senyuman yang kita petik dari taman hati, sungguh sangat berharga. Ia berharga, kalau kita memetiknya dengan sungguh-sungguh. Nilainya berharga, saat kita memberikan senyuman pada siapa saja yang membutuhkan. Termasuk beliau yang inginkan senyuman menghiasi hari-harinya. Niscaya ia akan memberikan penghargaan atas senyuman yang kita  berikan.

Teman, boleh saja, kita belum lagi mau tersenyum.  Namun, untuk keperluan apakah kita dititipi taman hati yang perlu kita jaga? Boleh saja kita menerima senyuman dari beliau-beliau yang kita temui. Karena beliau  memberikan senyuman kepada kita. Lalu, kita tempatkan pada bagian manakah senyuman tersebut?

Teman, saat pemberi senyuman memetik kuntum senyuman dari taman hatinya, pasti ada tempat terbaik yang senyuman cari. Senyuman yang muncul ke hadapan kita, tidak serta merta kita lihat sekilas saja, lalu kita tidak tahu lagi ia berada di mana? Hai, bagaimana kondisi taman hati kita pada waktu yang sama? Ketika kuntum senyuman dari orang lain menyapanya, namun kita belum memberikan perhatian padanya.

Teman, ketika kita perlu berusaha keras untuk mendaki puncak tertinggi hanya untuk merasakan kelegaan. Lega karena kita dapat bertemu dengan Edelweis. Namun tidak begitu dengan kuntum senyuman. Ia dapat kita peroleh kapan saja. Kita pun dapat memberikannya kapan saja. Tidak memerlukan usaha yang optimal, hingga menetes keringat membasahi raga. Tidak! Tidak sesulit dan serumit itu, kiranya. Hanya membutuhkan taman hati yang terjaga, maka kita dapat memberikan kuntum senyuman pada sesiapa saja yang kita jumpa. Yah.

Semoga, banyak hikmah yang dapat kita peroleh dari waktu ke waktu. Atas berbagai suasana dan keadaan yang bahkan tidak kita pinta. Semoga kita lebih mudah untuk memaknainya. Karena, kehidupan yang sedang kita jalani adalah kumpulan bahan pelajaran. Bahan pelajaran yang dapat kita pahami, kalau kita mau memahaminya. Bahan pelajaran yang dapat menyampaikan kita pada harapan. Untuk menjadi seorang yang bermanfaat, lebih baik dari waktu ke waktu. Karena kita meyakini, ada sebuah taman yang perlu terus kita jaga. Taman yang berada dalam genggaman-Nya. Hati, taman Ilahi.

“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang yang baik, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat.” (Q.S Al Israa’: [17]: 25

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on May 4, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , ,