Mahar. Tiba-tiba alam sadarku mengingat satu kata ini. Kata yang hingga saat ini, masih menempel di pikirku. Ia hinggap, semenjak penghujung hari, mulai menutup siang.
Sore ketika itu.
Terlihat mentari di ufuk Barat, malu-malu. Ada seberkas sinar yang masih tersisa, dari balik awan yang mulai kelabu. Mentari tersenyum padaku.
Syahdu. Begini suasana yang aku alami saat menyaksikan rona langit yang kelabu. Ada kuntum niat yang mulai menyeru. Bagaikan sebuah taman yang sejuk, damai. Di sekitarnya ada pepohonan yang rindang. Angin sedang bertiup. Sedangkan aku ada di bawahnya. Teduh, tenang, penuh dengan kesan. Padahal, saat itu aku sedang berada di tengah perjalanan menuju pulang. Selepas beraktivitas, tentunya.
Ada sebaris rindu yang terasa menyentuh kalbu. Aku rindu ikhlasmu. Itu yang ada dalam pikirku. Tak mahal harga mahar yang ku inginkan. Hingga engkau tak sanggup memperolehnya untukku. Bukan jauhnya jarak yang perlu engkau tempuh untuk mendapatkannya. Hanya dengan ikhlasmu saat menemukannya, membingkisnya, lalu membawanya menujuku, itu yang ku mau.
Tak perlu berlama-lama dalam diammu. Ketika kelu memang sedang menyelimuti ruang harimu, ada baiknya engkau memberitahuku. Bahwa engkau sedang mikir dulu. Betulkah aku, yang engkau maksudkan? Untuk engkau serahi seperangkat mahar. Mahar “Ikhlasmu.”
Iya, aku memang tidak tahu kalau engkau tak memberitahu. Apalagi kalau dengan caramu yang seperti itu. Terdiam, karena pangling ataukah terdiam karena tak mahu tahu? Padahal engkau mempunyai persediaan ikhlas yang tak ku tahu, berapa kapasitasnya. Ikhlasmu menempuh waktu, menjalani hari-harimu, sebelum ada aku. Itupun sudah cukup bagiku untuk mengetahui, bahwa engkau benar-benar tercipta untukku. Karena aku, pun begitu.
Bukankah kita tercipta berpasang-pasangan? Aku yakin engkau sudah tahu semenjak dahulu. Engkau dan aku ada untuk menjadi satu. Sepasang keikhlasan tentu lebih mudah untuk bertemu, meskipun dalam bait-bait rindu.
Ku lanjutkan langkah kaki satu persatu. Bergantian ia saling mendahului. Kiri lalu kanan, kiri dan kemudian kanan lagi. Sepanjang perjalanan, ku seringkali melayangkan tatapan ke arah langit yang menaungi. Ada warna dan lukisan berbeda di ujung sana. Aku terkagum sungguh terharu. Indah tampilannya, tak dapat ku abadikan. Ya, karena aku tak punya alat perekam saat itu. So, ku rekam ia dalam ingatan, semampu yang aku mau. Karena ku sangat ingin agar ia abadi, menjadi catatan dalam perjalanan. Untuk ku kenang nanti, saat waktu telah berganti. Agar ku kisahkan padamu, tentang hal ini. Aku ingat mahar “Ikhlasmu”, ketika ku sedang berjalan.
Sendiri, ketika itu. Di sisiku, memang tak ada yang sedang mendampingi. Tak ada wujud yang terlihat nyata. Hanya kendaraan yang melaju, menyeimbangi kecepatan kaki-kakiku. Namun aku kalah cepat. Wah! Kalah untuk sementara waktu, bukanlah perkara. Baiknya berdamai dengan keadaan. Toh, ada masanya kita melaju, tak lagi mengambil langkah seribu. Yah, seperti kendaraan-kendaraan itu.
Untuk menyamakanmu dengan yang lain, bukanlah aku. Karena menurutku, engkau begitu spesial. Istimewa dan tak terbandingkan. Engkau punya keunikan dan ciri khas dari cara pandangku.
Benarkan begitu? Engkau pun mengakuinya?
Belum lama, semenjak jarum jam menunjukkan angka lima. Itu berarti, sudah saatnya beralih aktivitas. Karena, ada yang sedang menungguku di lain tempat. Ia pasti harapkan kedatanganku. Ku percepat langkah, dari sebelumnya. Kembali ku menatap ke arah langit. Tampak seberkas sinar yang lebih terang. Mentari sampaikan salam, sebelum akhirnya berpamitan. Nuansa yang seakan dejavu. Aku mengingat-ingat perjalanan diri. Kapan ya, terakhir kali aku merasakan nuansa seperti ini?
Bukankah saat ini sore? Lalu, hembusan angin yang menerpa pipi kiri dan kananku, seakan menandakan ini masih pagi. Saat nuansa yang sama pun berlangsung pada masa yang telah berlalu. Bedanya, saat itu mentari mulai meninggi. Sedangkan tadi sore, mentari perlahan menyelinap di balik awan. Di penghujung barat, ia kembali mengembangkan senyuman. Selamat jalan mentariku, semoga esok kita kembali dapat bersapaan. Inginku lihat cerah wajahmu, mengembangkan kebahagiaan. Menebariku dengan pancaran sinarmu itu. Aku ingin kembali bersamamu. Membersamaimu dalam menjalani waktu.
Namun kini, ketika malam mulai beranjak gulita, pikirku masih saja sama. Tadi ku teringat mahar “Ikhlasmu.” Sesuai dengan pengalamanku pada masa yang sudah berlalu, ia akan terus menjejeriku sampai akhirnya ku tumpahkan ia di dalam sebuah catatan.
Entahlah… aku pun terkadang tak mengerti tentang semua.
Begitu pula dengan ingatan yang hadir semenjak tadi. Tentang mahar “Ikhlasmu” yang menyertaiku. Aku mahu ia tak selalu menggelayuti ruang waktuku. So, tolong izinkanku menitipkannya di sini. Lembaran yang ingin seringkali ku coreti. Meskipun tak kenal waktu. Pagi, siang, malam, dini hari ataukah pada sore hari. Aku perlu mengeluarkannya segera, agar tak mengusik pikirku yang lain. Agar, setelah ia sampai di sini, aku tahu. Sebelumnya aku berpikir tentang hal ini.
Mahar “Ikhlasmu” ingin ku pancing lebih awal. Ya, semenjak saat ini, ketika aku belum lagi bertemu denganmu. Engkau yang akan menyerahiku. Benda apakah itu? Ataukah tak berwujud sama sekali?
Tentang harganya, aku tak perlu menanya lagi. Karena ikhlasmu tentu lebih tinggi nilainya dari apapun juga. Selamat ber-survey ria yaa. Pilihkan mahar terbaik untukku, dengan nilai ikhlasmu itu.
Seberapa mahal ikhlasmu? Apakah masih dapat kutuliskan dengan susunan angka untuk menjadikannya nyata? Ataukah memang tak ada lagi ruang kosong yang tersedia, saat ku coba menyusun angka?
Ku akan membuktikannya, pada suatu masa. Tentang nilai ikhlasmu.
Bertanya ku pada masa, hari dan waktu. Tentang engkau yang belum ku tahu. Ataukah, engkau yang pernah ku bertemu? Bertanyaku pada sesudut bagian diriku di sini. Jauh di dalam, tersimpan dalam sebuah ruang khusus. Seringkali ku mengunjunginya, untuk memastikan keberadaanmu di sana. Namun hingga saat ini, masih belum jelas.
Bagaimana ini, bagaimana?
Terpana ku di tengah perjalanan. Saat awan gemawan yang berpetak-petak itu, perlahan berjauhan. Ada yang kemudian membentuk pola memanjang, melengkung dan titik-titik. Pun ada pula yang menjalin diri membentuk tali temali. Pemandangan yang kembali ku renungi. Betapa indahnya alam ini. Sejauh mata memandang, adaview yang tak sama. Sehingga sulit bagiku untuk menerka, apakah pemandangan yang sama akan kembali berada di hadapan mata? Belum, belum, belum sampai pikirku ke sana. Karena saat menyaksikan pemandangan yang serupa, pikirku sedang penuh dengan sepotong kata, “Mahar.”
Ada kata yang selama ini belum pernah, mungkin, ku susun seperti ini. Namun saat ini, karena ia hadir dan mampir dalam ingatan, maka ia pun ada. Memang beginilah adanya. Aku yang seringkali mengalami kondisi berbeda. Tak kenal musim apakah namanya. Ada-ada saja yang terpikirkan. Eh, mahar pun ikut-ikutan menyemarakkan hari ini. Apakah karena sudah dekatnya masa ku menerima persembahan berupa mahar? Dari calon suami yang beberapa detik kemudian, … akan menjadi “Suami.” Aamiin. Xixixiiii… Tergeliku mengingati.
Oiya, mengapa hal ini terjadi? Ini bukanlah ilusi ataukah sekadar intuisi. Apalagi berimajinasi. Karena, benar-benar dech, dalam seharian ini, topik bahasan menyinggung-nyinggung tentang hal ini. Semenjak pagi, siang, sampai sore menjelang. Setiapkali ku menjalin komunikasi, tema intinya adalah tentang pernikahan.
Wah. Aku benar-benar kepikiran. Sampe sore, ingatanpun mengalir tentang tema tersebut.
Bukankah mahar berhubungan dengan pernikahan? Betul, kannnnn? 😀
Ini buktinya. Ketika pada suatu saat, ku berjumpa dengan seorang sahabat dalam sapa. Hony, nama beliau. Adapun ringkasan percakapan kami adalah seperti ini.
Hony: Yani….. Pa kabar?
Me : Hai Hony… *_^ Alhamdulillah… Sehat dan semangat! Hony, I miss you, teman… Lah gadang anak Hony yo, sia namonyo?
Hony : Anak yang maa ko..
Me : Eh, lah married alum?? Yn sempat liek ado bayi. Xixiixixii…
Hony : Lum lae, Yani Ǘϑäђ merid?
Me : Oh, samo, alum lai. Bakaba Hony?
Hony : Lae sehat. Yani ba a
Me : Alhamdulillah…. lai sehat wal’afiat. Hony, lai acok basuo samo kawan-kawan?
Hony : Lae jo ƪά̲̣̥Ĥ Yan. Tu cowo’ Yani tu yang ϑΐ PP tu?
Me : Hehe, engga lah Hon, dapat dari searching di site. Samo sia? Anak-anak lah pado merit yoh?
Hony : Ci Roza, Sisna anak sekretaris. Yo ƪά̲̣̥Ĥ banyak yang merid Yan.
Me : Hony bilo? Hohooo… 😀
Hony : Doaan se ƪά̲̣̥Ĥ secepat πγå. Hahaha. Yani gimana?
Me : Yes! aamin, lah ado calon koo haaa? Yn alum lai, doaan yoo? Hehe.
(Cut!)
***
Selanjutnya, percakapan yang berikut ini. Bersama Ida, teman satu kostan, dulu. Beliau kini ada di Korea. Eh, maksudnya, bekerja di perusahaan Korea, di Subang.
Ida : Bunnnnnnnnnnnnnnnnn??
Me : Yessss… Ida so sweet.
Ida : Hah bundo, kuaaangen sangat. Btw, udah selesai kul-nya??
Me : Oh, belum. Kangen too….. Ida dimana ayeuna?
Ida : Di subang. Ohhh. Kapan atuh rencana selesai??
Me : Dalam tahun ini, maksimal 6 bulan lagi. Habis itu cariin suami yaaaahhhhh 😀 Biar Ida ada Ayahnya.
Ida : Ok aQ dukung. Yaaa suaminya mau seperti apa??
Me : Shaleh dan baik hati, kaya juga. Aamiiin
Ida : Aamiiin, asyik nanti aQ punya Ayahhh.
Me : Ida, kapan main ke Bandung? Nginep di Yn yahhhh…
Ida : Nanti kalau ke Bandung lagi di-calling. Ai, ini poto siapa?? Kok cowo’??
Me: Itu kan poto artis (foto yang mana ya!?). Ida, kerjanya di mana sekarang?
Ida : Di perusahaan korea.
(Cut!)
***
Berikutnya, ada lagi. Ini terjadi lebih awal. Bersama Teh Riamariamariamaria, my twin. Berikut cuplikannya, komunikasi yang kami bangun. Ketika kesempatan jumpa menitipkan waktu untuk kami tempuhi bersama.
My Twin : Marya Ryama
Me : Yes, 😀 my twin.
My Twin : Hehhee, apa kabar? Foto siapa itu?
Me : Ow, Yn cakep banget, sekarang. Bagaimana keadaanya dan keluarga. Sudahkah Yn punya ponakan baru? Lama kita tak jumpa yaah.
My Twin : Hohohoho, doakan aja yah biar dede’ nya cepet datang. Hehehe. Iya, lama tak jumpa.
Me : Ok. Teh, I miss you so much. Kapan kita jumpa fans gitu, yah?
My Twin : Hehhee, I miss you too. Kapan atuh ya, Marya main ke Tasik atuh.
Me : Iya, yaa… Kapan-kapan kita jumpa.
(beberapa saat kemudian)
My Twin : Eh, Mary lagi sibuk gak. Aku mau ikut survey nih. Suami ku lagi belajar nulis buku.
Me : Oia,….? Bentar, lumayan kalo sekarang.
My Twin : Ooooo…………. Iya, cuma mau nanya: apa yang Marya inginkan dari seorang pria?
(beberapa menit kemudian)
Me : Pemahaman dan pengertian. Karena wanita butuh dimengertiiiiiii… 😀
My Twin : Oooo, hehhehe. Barangkali punya alasan mengapa pengen itu?
Me : Maksudnya gini. Karena terkadang, wanita mempunyai kecenderungan untuk bersikap yang membuat pria tak mengerti. Suka bersikap aneh (menurut pria), tapi wanita menyadari apa yang ia lakukan sebagai hal biasa. Ataupun wanita tak menyadari atas sikapnya. Ternyata salah atau kurang tepat di mata pria. So, pemahaman dan pengertian sangat berperan dalam hal ini.
My Twin : Wess, udah lengkap dengan alasannya. Siiip mantapppp.
Me : Keren. Hehehhe. Iya, lengkap. Itu impian Yn ketika nanti deket dengan pria. Tapi sekarang, mah belum. Jadi bikin data segitu dulu. Bisa jadi nanti nambah lagi. 😀
My Twin : Ow, hehhehehe.
Me : 😀
My Twin : Ok, makasih ya neng...
Me : Iya,.
My Twin : Nanti aku minta datanya yah neng. Rencana jawabannya akan dimuat dalam buku tersebut, hehe.
Me : Wee, terima kasih sekali, mari kita saling bersinergi. Xixixiii.
My Twin : Okay…… hehhehe.
Me : 😀
Dan disepanjang percakapan yang sedang berlangsung, tercipta nuansa yang berbeda. Nuansa yang mengingatkanku pada seseorang yang nun entah berada di mana. Ada harapan untuk berjumpa, di dunia. Walaupun kita tak dapat menerka, siapakah ia? Ada di mana? Sedang baik-baik sajakah kondisi dirinya di sana? Semoga.
Aku tahu, ia sedang diperbincangkan oleh kami, meski samar dan tidak jelas. Namun, terbersit indahnya ketika ia tahu, bahwa topik utama adalah dirinya. Tolong maafkan kami, yang sempatkan masa mengingatimu, wahai sang imam yang telah tertulis di Lauhul Mahfuz. Yakinku, engkau ada. Karena aku ada. Sangat jelas terpatri kini.
Oia, berhubung para teman nanyain siapakah wajah yang sedang mejeng pada profil pictureku kala itu. Beliau adalah Fawad Alam. Fawad Alam is …? Seorang yang berprestasi pada bidang yang beliau tekuni. Bidang yang membutuhkan latihan panjang dan berkepanjangan, untuk menjadi ahli. Keahlian yang dapat digenggam, ketika kita ikhlas dalam menjalani masa-masa sebelum bersamanya.
Ikhlas, yah. Satu kata yang perlu ada dalam kehidupan. Karena alam yang sedang kita tempati ini, turut serta menunjukkan keikhlasannya dalam mengabdi dan menjalankan bakti.
Perhatikanlah alam, ia tunduk patuh pada aturan-Nya. Sehingga alam seringkali membuat kita terkagum-kagum. Kita ingin menyatu dengannya, beberapa waktu setelah aktivitas menjedakan pertemuan kita dengan alam. Alam yang kehijauan. Ia penuh dengan keikhlasan. Seindah hamparan alam, wujud mahar “Ikhlasmu” yang ku inginkan. Tinggi nilainya, tak tersusun dalam angka-angka. Karena nilai tertinggi keikhlasan, bukan untuk diukur, ditimbang, atau diperkirakan. Ia dapat terasa. Ketika pemberian berlangsung dengan taburan keikhlasan, maka penerima akan mengetahuinya. Hal yang sama pun terjadi, saat penerima mengalami aura yang asing, mungkin saja hal yang demikian sedang berlangsung pada pemberi. Bukankah pemberian dari hati, akan sampai kepada hati? Begitu sebaliknya. Semoga kita lebih awas dan mengenali, semenjak dini akan hal ini. Tentang keikhlasan. Tentang keikutsertaan seluruh anggota tubuh, dalam menjalankan apapun yang ia laksanai.
Untuk itu, temukanlah jalan ikhlasmu, semenjak saat ini. Terhadap hal-hal ringan yang terkadang tak terlihat, hanya dapat dirasakan.
🙂 🙂 🙂