RSS

Category Archives: Belajar dari Alam

Belajar adalah suatu proses yang sedang kita (engkaudanaku) jalani sampai saat ini. Karena kita lebih sering menyadari bahwa kita “tidak tahu”. Lalu, kita mengusahakan untuk “mencari tahu” atas segala ketidaktahuan tersebut. Hingga akhirnya kita pun tahu, bahwa hanya ada satu hal yang kita tahu, bahwa “Kita tidak tahu”.

So, kita kembali ke sini, saat ini, dengan senyuman yang lebih indah, untuk mengabadikan hasil pelajaran itu, teman. :)
Agar kita menjadi tahu tentang apa yang sebelumnya kita tak tahu.

A Message From The Creator

 
Leave a comment

Posted by on December 27, 2012 in Belajar dari Alam

 

A GOOD RELATIONSHIP MAKE US GROWN UP

Mentari dari balik gerbang

( ~~ :) ~~)

Orang yang profesional merupakan orang-orang yang berpendidikan, penuh kejujuran, berjiwa sosial yang tinggi, berkelimpahan dalam hal materi, berkelimpahan jiwa, senang berbagi dan mereka bertanggungjawab dengan banyak aktivitas yang sedang mereka laksanai. Senantiasa melakukan yang terbaik yang mereka mampu. Kalau pun melebihi dari kemampuan yang mereka miliki sekalipun, mereka terus mengusahai. Begitulah profesional yang semestinya.

Ia yang melaksanakan apapun yang perlu untuk ia kerjakan. Bukan karena ia membutuhkan, namun karena ia menyadari bahwa ada kebutuhan yang terpenuhi dengan apa yang ia baktikan. Tidak perlu mencari-cari alasan untuk tidak melakukan pekerjaan. Namun, ia senantiasa mencari alasan mengapa ia melakukan.

Orang yang profesional senantiasa menaburi hati, pikiran dan kehidupannya dengan pendidikan. Pendidikan yang baginya, sangat berarti. Pendidikan yang ia hargai sebagai salah satu sarana untuk memperoleh bahan pelajaran. Sehingga, berbagai kesempatan yang memungkinkan ia untuk menempuh pendidikan, ia peluk dengan segera. Ia meneruskan langkah-langkah bersama jalur yang menjadikannya dapat memperoleh pendidikan. Dari manapun, bersama siapapun, ia belajar. Karena baginya, selama masih berada di alam yang membentang dengan indah, merupakan sarana terbaik untuk belajar. Ia adalah pembelajar yang senantiasa mau berbenah. Berguru pada siapa saja, karena gurunya ada di mana-mana.

Profesional dalam memberikan bukti atas tanggungjawab yang ia emban. Memberikan jawaban atas pertanyaan yang dirinya sampaikan kepada kehidupan. Ia terus berjuang dengan usaha terbaiknya. Walaupun terkadang, ia temui hal-hal baru yang memintanya untuk belajar lebih rajin lagi. Karena ia ada untuk melakukan yang terbaik, bahkan melebihi kemampuannya. Ketika niat telah tercipta, ia perlu mendapat perhatian. Karena niat adalah tongkat yang kembali mau menopang tubuhnya ketika lemah dan lunglai saat melangkah, ia alami. Tertatih berjalan, melangkah kembali. Ia teruskan berusaha, berjuang dan bergerak karena ia mampu.

( ~~~  :)  ~~~)

Ia mempercayai bahwa wajah bukanlah segala-galanya. Namun, wajah adalah cerminan dari hati yang terdalam. Baginya, mempercayai oranglain adalah penting. Apalagi untuk mempercayai bahwa seorang yang baik hati itu ada. Ya, sungguh tinggi kepercayaannya akan hal ini.

Banyak jenis kepribadian yang ia temui di sepanjang perjalanannya. Banyak jenis karakter yang ia jumpai. Ada yang berwajah rupawan namun berkepribadian sederhana. Sungguh tulus baktinya. Meskipun tidak terlihat oleh mata dalam nyata, namun ia mengerti tentang apa yang ia hayati. Ia memahami mengapa semua terjadi. Karena ia meyakini, ada sekepinghati yang terus menjagai.

Pada kesempatan yang lain, ia berjumpa dengan orang yang cerdas namun sederhana dalam penampilan. Tidak ada yang berlebihan. Sehingga, tidak terlihat jelas, tentang siapa beliau yang sesungguhnya. Biasa. Namun, setelah diperhatikan dengan saksama, ada yang berbeda, ternyata. Ada aura dan kharisma yang ia tangkap dari tampilan yang sederhana. Berkepribadian, mempunyai kebijaksanaan. Dan dari sanalah ia menyadari sebuah kalimat yang sebelum ini pernah ia baca. Tidaklah layak memberikan penilaian kepada seseorang dari tampilan saja. Sebelum kita menyelami ke ruang-ruang eksistensi, belumlah pantas kita menilai seseorang dengan segera. Ia kembali belajar untuk mengenali kehidupan di sekitarnya. Ia menjadi peduli akan hal ini. Ia sedang mengajak diri untuk bersosialisasi.

Dari waktu ke waktu, ia bertemu dengan teman-teman. Ada yang baik, dihormati, penuh dengan percaya diri dan gemar berbagi. Ia mengerti kini, teman-temannya adalah cerminan siapa ia yang sesungguhnya. Dari sini, ia kembali berbenah diri. Ia perlu bersama dengan beliau-beliau yang baik. Ia ingin menghormati sesiapa yang ia temui. Karena besarnya perhatian pada masa depan. Ia kini sedang melangkah lagi.

Satu persimpangan ia temui. Ia melangkah lagi. Ada jalan lurus membentang di hadapan. Di sekitarnya banyak teman yang sedang bercengkerama. Banyak jumlah teman-teman di sana. Ia ingin berkumpul dengan mereka semua. Maka ia mulai membuka diri. Ia memperkenalkan siapa ia. Ia mengenali teman-teman yang ia sapa. Ia menyelami kehidupan mereka hingga ke dasarnya. Waih! Kedalaman makna yang sedang ia bersamai, sungguh membuatnya kembali mensyukuri. Ia bersabar, ketika belum dapat mengunjungi teman-teman lagi, ketika pada suatu waktu mereka berjarak raga. Ia percaya akan perjalanan ini. Selagi ia mau  melangkah, maka mereka dapat bersua kembali.

Dari hari ke hari, ia berjanji dengan dirinya sendiri. Bahwa masa depan yang lebih indah akan ia bersamai. Selagi ia mau menjaga diri, menjaga niat agar tidak berubah. Ia mesti melangkah dengan sepenuh hati. Ia bersamai teman-teman yang ia kenali, dengan sebaik-baiknya. Karena ia yakin, teman-teman tersebut dapat menjadi jalan baginya untuk mengenali, siapakah ia yang sesungguhnya?

Berbeda mereka dalam banyak hal. Perbedaan yang membuat ia tidak selepas-lepasnya berinteraksi. Perbedaan yang memberinya ingatan akan inti berkomunikasi. Ia sangat peduli tentang hal ini. Temannya yang penuh dengan kebaikan, tentulah menginginkan kebaikan baginya pula. Karena ia sangat yakin, bahwa kebaikan akan berdekat-dekatan dengan kebaikan. Ia percaya sungguh percaya. Ia bahagia dapat mengenali mereka semua. Walaupun hanya sekejap mata, kebersamaan yang tercipta. Untuk selanjutnya, selamanya mereka bersapa dalam rangkaian doa yang mengulurkan suara.

Tanpa bicara, mereka sedang bercengkerama. Meski diujung tatap ada sebait suara, namun ia tidak mengalirkan seluruhnya. Ada batasan yang perlu ia pahami pula. Gerbang asa memang sedang berdiri dengan kokohnya. Ia mentari. Nun jauh di ujung sana, sedang bersinar dengan cemerlang. Temannya yang setia berbagi dari hari ke hari, ia bersamai.

Sungguh kenikmatan yang tiada terperi, ketika ia kembali mengingati, bagaimana bakti mentari setiap hati. Ia ingin menjadi pribadi bak mentari, rela menerangi tanpa mengurangi kemilau sinar yang ia punyai. Bahkan, tanpa dikenali sekalipun, ia terus tersenyum. Senyumannya menjadi bukti, bahwa ia ada hari ini.

Berkulit hitam, berkulit putih, berkulit sawo matang, berkulit sawo mentah (karena belum dimasak yaaa?) ia tidak pedulikan. Karena ia tidak memandang teman dari tampilannya saja. Baginya, teman yang baik hati dan berbudi, sopan serta penuh dengan pemahaman, itulah yang ia suka.

Teman yang berkepribadian bagus, seperti mentari yang bersinar dengan gemilang. Ia sedang menata hari-harinya dengan lebih baik. Bersama harapan yang terus bertumbuh dan berkembang, ia melanjutkan perjuangan. Tidak ada yang terjadi tanpa makna, kembali ia mengingatkan diri. Ketika pada suatu hari, keadaan membuatnya luluh sejenak.

Namun, beruntungnya ia mengenali teman-teman yang berbudi. Teman-teman yang memberinya pesan, untuk terus melangkah lagi. Teman-teman seperti itulah yang terus ia jagai, ada. Agar, ia kembali teringatkan akan niat awal mengapa ia ada di sini. Ia ada bukan untuk tak bermakna.  Ia ingin menjadi seorang yang bermanfaat. Ia ada karena berarti.

Temannya berpesan tentang banyak hal, padanya. Termasuk sebuah pesan penting tentang berpikir. Ya, karena pikiran adalah awal gerakan yang kita kerjakan. Saat kita berpikir dengan baik, maka kita akan mengerjakan yang baik-baik. Kalau kita berpikir bahwa kita bisa, maka kita bisa melakukan apa yang sedang kita laksana. Ia terus menata apa yang ia pikirkan. Sekelebat, ia berpikir tentang betapa indahnya masa yang akan datang. Ia membayangkan kebahagiaan menjadi teman terbaik. Namun, tidaklah semua tercipta dengan tiba-tiba.

“Mari kita berproses,….,” ajak temannya.

Mereka melangkah bersama, dengan sebaik-baik langkah. Karena mereka inginkan yang terbaik maka kebaikan demi kebaikan ia usaha untuk menemani. Ia pernah terjatuh, luka dan berdarah. Temannya menjadi jalan pengobat luka. Temannya merengkuh lagi jemari, agar tubuhnya kembali mau berdiri. Temannya mengelap darah yang menetes, dengan hati-hati. Temannya adalah teman yang baik. Ia sangat ingin membalas kebaikan yang teman lakukan padanya. Ia sungguh terharu mengingati semua. Ia pun berusaha untuk mewujudkan citanya. Ia ingin mensenyumi kehidupan dengan senyuman yang lebih indah.

Ia adalah perempuan, sedangkan teman-temannya ada yang perempuan dan tidak sedikit pula yang laki-laki. Pernah, pada suatu hari, teman laki-laki mengingatinya begini, “Perempuan adalah pendukung terbaik bagi laki-laki. Perempuan sangat berarti. Tanpa peran perempuan di sekitarnya, tidak ada laki-laki yag dapat memenangkan kehidupannya. Oleh karena itu, berbahagialah wahai perempuan, karena hadirmu sungguh bermakna.”

Lalu, pada kesempatan yang lain, temannya menitipkan pesan tentang kehidupan. Pesan yang ia ingat lebih lama, lalu ia menuliskannya. Pesan tersebut adalah tentang cara untuk menjadi orang yang berbahagia. Salah satu jalan untuk menjadi orang yang berbahagia adalah dengan berpikir yang positif. Ya, karena dengan berpikiran positif, kita dapat membayangkan keindahan yang tercipta bersama kebahagiaan. Meskipun dalam bayangan, namun bahagia itu ada. Bayangkanlah bahagia, maka engkau dapat berbahagia. Pikirkanlah tentang kebahagiaan, maka ia datang menjelang. Walaupun belum sekarang, ia ada. Yakinlah.

Pada waktu yang lainnya, teman berpesan tentang jalan untuk menempuh bahagia.

“Carilah teman sebanyak-banyaknya,” begini teman berpesan.

Namun, teman menambahkan dengan kalimat yang berikutnya.

“Carilah teman yang lebih banyak lagi, maka engkau dapat menjadi seorang yang berbahagia. Namun kebahagiaanmu akan menjadi sempurna dan lengkap, kalau engkau mempunyai teman yang sejati,” teman pun tersenyum sungguh cemerlang. Secerah mentari yang bersinar. Terangi pikir, sinari hari.

“Ai!  Terima kasih, yaa…,”  dari balik gerbang yang menjadi jarak, ia menatap mentari.

( ~~ :) ~~)

Bersama teman-teman, ia belajar dari alam. Karena yang ia tahu sebelumnya, belajar sebagai suatu proses yang sedang ia jalani sampai saat ini. Karena ia lebih sering menyadari bahwa ia “tidak tahu”. Lalu, ia pun mengusahakan untuk  “mencari tahu” atas segala ketidaktahuan tersebut. Hingga akhirnya ia pun tahu, bahwa hanya ada satu hal yang ia tahu, yaitu “Ia tidak tahu”.

Ia memilih untuk belajar dari alam. Karena alam miliki kekuatan untuk menyebarkan beragam pesan pada kita. Ia adalah jalan yang menyambungkan kita dengan tujuan. Ia berupa kehidupan yang sedang kita jalani. Ia adalah hasil ciptaan Allah subhanahu wa Ta’ala, Rabb kita. Alam, menjadi salah satu pengingat, hingga mengingatkan kita pada-Nya.

“Kami bahagia dapat bersama-sama denganmu dalam melanjutkan perjalanan ini,” pengakuannya pada alam. Ia tersenyum saat melangkah, ia menikmati setiap langkah yang menjejak. Ia menikmati setiap gerakan tangan yang mengayun.

“Saat inikah kesempatan terakhirku untuk berpijak di bumi yang indah ini?,” ia bertanya pada diri sendiri.

Berada di antara beraneka macam ragam dan corak alam-Nya, sungguh berkesan. Warna-warni dunia begitu berharga untuk kita tinggalkan tanpa memetik hikmah darinya.

“Wahai semesta alam, terima kasih yaa,” ungkapnya dengan sepenuh hati.

“Terima kasih, wahai alam yang baik. Salam selalu untukmu,” ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Menghirup segarnya udara hari ini.

Ia kembali ke sini, saat ini, dengan senyuman yang lebih indah. Untuk mengabadikan hasil pelajaran itu, teman.  Agar ia menjadi tahu tentang apa yang sebelumnya ia tak tahu.  Hohooo…

Pada malam, siang, pagi dan dini hari sekalipun, ia manfaatkan untuk belajar. Tentang malam, ia mengungkap pikir:

Malam, adalah bagian hari.
Malam, adalah perantara pagi dan penghujung hari ini.
Malam, adalah penghubung antara awal hari dan akhir siang.
Malam, adalah kesempatan untuk bermuhasabah, tafakur, lalu menunduk tafakur, bersyukur atas nikmat hari ini.
Malam, adalah pesona nan mengajarkan kita arti terangnya mentari pada siang hari.
Malam, meski kelam, namun ia menawarkan kedamaian.
Malam, adalah peluang untuk menorehkan sebait kalam, berupa coretan kehidupan.
Malam, adalah salah satu suasana alam.
Malam, engkaulah jalan kembalinya kami menitikkan mutiara-mutiara dalam pekatnya sunyi.
Malam, engkau mengingatkan kami pada siang hari, lewat terangnya cahaya rembulan.

Sedangkan tentang siang hari, ia ingin mencurahkan pula di sini, begini:

Siang hari adalah saat untuk berbagi. Siang hari kita kembali melangkahkan kaki-kaki ini. Untuk menyusuri alur kehidupan yang telah membentang di hadapan. Ia ada untuk kita lalui.  Siang hari itu adalah hari yang selalu ku nanti. Harap mentari bersinar cerah.

Ai! Mentari, engkau telah kembalikan senyuman kami. Tetaplah di sini. Untuk menerangi hati-hati kami yang perlu sinar terangmu. Siang hari, engkau ingatkan kami pada Ilahi Rabbi.

Ya, Allah, bimbing langkah kami dalam menyusuri jalan ini.
Jalan yang telah kami pilih untuk dapat menuju pada-Mu dengan gembira di hati.
Ya Allah, Engkaulah harapan kami.
Terima kasih ya Allah… untuk segala karunia ini.
Pada-Mu kami memuji, tiada henti.
Untuk sampaikan rasa syukur ini… 🙂

Bersama istiqamah, ia memohon kemudahan dari Allah subhanahu wa ta’ala, agar langkah-langkahnya menjadi semakin penuh makna dan bertabur arti. ^^

Ia berdoa, ia berusaha.

Begitu pula dengan sore hari. Meskipun singkat, namun berai kata ia rangkai bersamanya, karena:

Sore, saatnya kita tersenyum . . .
Sore, ternyata . . . ?
Hehehee …

Lalu, bagaimana pula dengan pagi hari? Inilah saat yang ia paling sukai:

Pagi hari, adalah saat-saat yang paling mendebarkan baginya.

Ia bertanya pada semua, “Adakah mentari bersinar hari ini?”

“Wahai teman, kami menantimu,” bisiknya dari balik tirai yang mulai membuka.

( ~~ :) ~~)

Buat sahabat, ia pun merangkai bait-bait kalimat. Agar menjadi salah satu pengingat baginya, tentang sahabat. Karena baginya, sahabat adalah cerminan siapa ia yang sesungguhnya. Bersahabat dengan siapa saja, ia senang. Sungguh! Peran sahabat sangat berarti bagi perkembangannya. Ia yakin dapat menemui para sahabat baik, sebagaimana yang pernah ia impikan. Ia berusaha untuk membersamai para sahabat yang ia kenal baik. Karena dengan keyakinan dan usaha yang sungguh-sungguh, ia yakin dapat menyelami kemajuan. Ia ingin menjadi lebih maju bersama para sahabatnya. Mereka ingin menjadi lebih baik bersama-sama. Untuk itulah, lembaran daun persahabatan berjatuhan setiap harinya. Seiring dengan perjalanan waktu, daun-daun tersebutpun mengering. Namun, tidak! dengan beraneka kesan dan pesan serta kenangan yang sahabat titipkan padanya. Semua muda, hijau dan segar dipandang.

Sahabat,

Sepatah kata yang engkau ucapkan, sebait kalimat yang engkau rangkai untukku, ku kenang selalu dalam perjalanan ini. Terima kasih, yaa… atas segalanya. Engkau benar dan betul-betul ku hargai.

Sahabat,

Engkau tersenyum, maka engkau makin cantiiik…

Engkau tersenyum, maka engkau “Ada” di hatiku…

Engkau tersenyum, maka engkau makin menarik…

Sahabat,

Tentang hari ini? Berapa kali kita mengingat-Nya?

Sahabat,

Engkau dan aku adalah satu kesatuan yang berjumpa atas izin dari-Nya…

Engkau dan aku adalah sama, ya, kita sama…

Engkau dan aku adalah sama-sama hamba ciptaan-Nya….

Ya, kita sama.

Hanya “Taqwa” pembeda kita.

:) :) :)

MY SURYA

Profesional person,who is ..educated,,,, honest,,,humen being…with more money…etc…they are who responsible with all activity around them.  And always do the best as they can, ( 🙂 )

Innocent face, innocent means.. he or she, believe all persons,,, good heart..handsome .. etc,  simple,, intelligent,,,may be beautiful,,, etc…wise person, respected.. good friend,, more confident to get really bright life in future,.  Not think about religion, who are good person…he is great, ( 🙂 )

Someone, who have black  skin or white skin.  Although skin colour also black,, but the heart pure is white… very clever worker and talent also… good personality, dilligent and kind, and would be better in life.  A family that rich or middle or poor… it’s ok, living in town.. working in city but in last period like village only.. there only good atmosphere and good persons.

Opinion,..

  • Everybody think that parent made us..
  • Oh, no…

View original post 242 more words

 
Leave a comment

Posted by on April 3, 2012 in Belajar dari Alam

 

Tags: , , , , ,

Jali-Jali

Ibu Lina

Ibu Lina

Banyak tempat yang dapat kita kunjungi, untuk menemukan inspirasi. Salah satunya adalah tempat yang sunyi, sepi dan hening. Adapun lokasi yang saya maksudkan adalah alam. Yach, karena alam penuh dengan inspirasi, tiada bertepi. Ketika kita mau menyempatkan waktu untuk mendekapinya, maka alam menjadi jalan sampaikan kita pada apa yang kita kehendaki.

Teman, dalam berbagai waktu yang kita jalani, terkadang kita inginkan kembali ke alam. Terkadang, kita inginkan menyapa dedaunan yang hijau, lebih dekat lagi. Terkadang, kita ingin menikmati sejuknya semilir angin ketika menerpa wajah ini, langsung. Bahkan, terkadang kita sangat ingin berada di bawah sinaran mentari yang sangat terik. Untuk apa semua ini? Tidak lain adalah untuk menemukan inspirasi.

Bersama alam yang tenang, teduh dan damai, kita tentu sangat senang. Lalu, bagaimana halnya kalau kita berada pada alam yang panas, bertaburan teriknya mentari? Apakah kita masih senang menjalani waktu bersama suasana yang seperti ini?

Teman, tidak banyak kesempatan yang kita miliki, dalam perjalanan kehidupan ini. Hanya dalam detik yang sedang berlangsung, kita benar-benar mempunyai kesempatan terbaik. Waktu dan masa yang telah berlalu, hanya tinggal kenangan. Sedangkan detik yang akan datang, kita tidak dapat memastikan akan membersamainya. So, enjoyourtime, now.

Ketika keriuhan suasana kota berhasil kita bersamai dalam waktu-waktu yang panjang, maka tibalah saatnya untuk kembali ke alam yang penuh dengan ketenangan. Menjejakkan kaki di antara rangkaian rerumputan yang saling bergenggaman, adalah salah satu cara untuk dapat menemukan ketenangan. Berada di bawah pepohonan yang sedang menjulang tinggi dan rimbun daunnya, adalah salah satu cara yang dapat kita lakukan agar merasakan, teduh. Ketika mentari hari ini, bersinar sepenuhnya. Maka, terus melangkahkan kaki menyusuri jalan yang mendaki, menurun, berjumpa tikungan, bertemu jalan yang lurus, adalah pilihan untuk dapat menikmati indahnya pemandangan pada lokasi lain, di sana.

Nun di kejauhan, terlihat awan putih nan berlarian, pelan. Di penghujung arah tatap, berjejer perumahan yang sedang berbaris dengan rapinya. Ketika kita menyempatkan waktu untuk mengedarkan pandangan ke sekeliling, ada pemandangan yang berbeda dari biasanya. Ya, hijaunya hamparan rerumputan, membuat bibir ini segera bergerak, mengucap lirih, “Alhamdulillah… hari ini kita masih dapat melihat indahnya pemandangan alam. Lalu, bagaimana kita tidak menambah rasa syukur yang selama ini ada?

Ketika kaki-kaki ini masih mau melangkah untuk meneruskan perjuangannya, maka ia sedang memberikan kontribusi pada segenap anggota yang sedang menempel pada tubuh kita. Saat kita berkenan membawa raga pada daerah yang pernah kita pikirkan, maka saat itu ia akan memberikan kita gugusan senyuman yang menenteramkan. Bahkan, saat hati berkata dengan sebait pinta, ia ingin mengunjungi alam. Maka mari kita berangkaaat… wahai para sahabat yang baik.

Sesungguhnya, tidak ada yang dapat menghalangi apabila kita ingin melangkah. Tidak juga ada yang memberikan penolakan, apabila kita menyampaikan tanya. Semua sedang memberikan bantuan terbaik pada kita yang sedang meneruskan perjuangan. Selanjutnya, kembali lagi kepada diri kita masing-masing, apakah kita mau melangkah? Apakah kita mau bertanya saat melangkah? Apakah kita juga mau memberikan yang terbaik, pada sesiapapun yang sedang ada bersama kita, kapanpun dan di manapun? Sekalipun kita baru pertama kali berjumpa, belum pernah berkenalan, dan memang pertemuan kita saat itu adalah awal bersua. Yakinlah teman, banyak gerbang rasa yang sedang membuka, di dunia ini. Banyak jalan pikiran yang sedang membentang, di sekitar kita. Ada beraneka jenis insan yang kita temui, semua sedang memberikan kontribusi kepada kita. Tidak hanya makhluk hidup yang membantu kita, namun benda-benda tidak bernyawa juga, sedang menunjukkan bukti, bahwa ia ada untuk bermakna.

Bersama selembar hati yang ingin memperoleh kesan, pesan dan kenangan pada hari ini, saya melanjutkan langkah-langkah lagi. Bermula semenjak pagi hari, sebelum mentari benar-benar menampakkan senyumannya. Hingga terlihat pesona megah dari raut wajahnya yang begitu memukau. Ku langkahkan kaki dengan senyuman di hati. Berbekal keinginan untuk menemukan inspirasi dan penyegaran pada ruang pikir. Maka hari ini menjadi sebuah kesempatan untuk kembali ke alam, lagiii… Hihiii…  😀

Menjadi lebih dekat dengan alam, untuk beberapa lama, adalah salah satu aktivitas yang sangat saya sukai. Berlama-lama melangkah menyusuri indahnya jalan yang sedang membentang, menyisakan kebahagiaan yang tidak dapat diungkapkan dengan rangkaian kata-kata yang tersusun di sini. Betapa kelegaan yang sempurna sedang menaungi ruang jiwa, juga belum sepenuhnya tercurahkan kalau menyampaikannya dengan susunan huruf-huruf ini. Namun demikian, saya sangat ingin untuk meluruhkannya meski beberapa tetes dari meruahnya kesejukan yang membanjiri ruang hati. Agar, ada sebait dua bait diantaranya, yang dapat memprasasti, sebagai bukti bahwa pada hari ini, ada aktivitas yang terjadi.

Untuk menemukan ketenangan, kita tidak mesti melangkah jauh ke berbagai tempat yang indah dan canggih berteknologi. Pun, tidak mesti mengelilingi berbagai negeri yang sangat jauh nun di ujung mata. Kita hanya perlu membuka mata hati. Agar ia dapat melihat. Lalu ia pun tahu, bahwa ternyata, di sekitar kita ada sumber-sumber yang dapat menenangkan hati, apabila kita mau memperhatikannya.  Karena, di manapun kita berada, bersama siapapun kita menjalani waktu, di sana pastikan ada ketenangan. Selagi kita mau menangkap pesan, kesan dan kenangan dalam detik-detik waktu yang sedang berlangsung, maka hari demi hari menjadi demikian berarti. Apalagi kalau kita sampai pula pada tempat-tempat yang sangat ingin kita kunjungi. Lokasi yang sebelumnya, masih berada di alam mimpi, dalam harapan, dan baru dapat kita bayangkan saja. Nah! Ketika akhirnya kita benar-benar berada pada arena tersebut, bersoraklah jiwa dengan gembira, “Yesssss….! Akhirnya, sampai juga”.

Teman, ketika kita mempunyai arah dan tujuan yang mau kita kunjungi, maka kita merencanakan untuk dapat sampai di sana. Kalau kita mengiringi kemauan tersebut dengan bergerak menuju padanya, maka kita benar-benar sampai. Apakah engkau masih meragukan tentang upaya yang sedang berlangsung?

Ketika engkau benar-benar yakin dapat sampai pada lokasi yang engkau idam-idamkan, maka seiring berlangsungnya proses, bersama ikhtiar dan doa yang terus mengalir, bersiaplah untuk menikmati keindahan yang sedang menembangkan nada-nada bahagia. Ia sedang melebarkan kesempatan bagi kita. Kemudian, memberikan kita waktu untuk dapat memanfaatkannya dengan optimal.

Ada saatnya kita merasakan keteduhan dalam melangkah. Karena kita sedang berada di bawah sepohon rindang yang menjadi tempat berlindung. Pun, pada kesempatan yang lain, kita benar-benar merasakan betapa terik mentari itu menyengat sangat. Nah! Mengambil kesempatan demi kesempatan yang menawarkan kebaikan, merupakan salah satu upaya dalam menikmati waktu. Saat teduh benar-benar kita nikmat, ketika berjumpa dengan teriknya panas, kita dapat pula menikmatinya. Karena, kita merasakan bagaimana tenangnya berjalan bersama teduh. Dan kita berharap, dapat kembali menemukannya, di ujung sana. Melangkah lagi, kita melangkah. Bersama harapan yang sedang bersemu. Harap, di hadapan ada keteduhan, saat sekarang kita sedang melangkah di bawah sengatan terik mentari. Harap ada sinar mentari yang kembali menjadi jalan tumbuhnya energi, setelah teduh menaungi. Begitu selanjutnya.

Ketika di sepanjang perjalanan, kita menyempatkan waktu untuk mengabadikan beraneka pemandangan yang sempat kita saksikan, betapa indahnya. Agar kita kembali dapat memperhatikannya setelah kita sampai pada tujuan. Dengan mengabadikan berbagai moment yang sedang kita jalani, maka kita dapat menjadikannya sebagai salah satu jalan hadirkan inspirasi saat kita sedang berehat. Ya, memperhatikan jejak-jejak prasasti, dapat meluruhkan beraneka rasa yang sedang menerpa. Terkadang, kita dapat tersenyum lebih lebar, saat memperhatikannya. Ada pula waktunya, kita menyuarakan isi hati, atas kesan yang sangat menyentuh. Seakan tidak percaya atas apa yang pernah kita alami. Sekelumit kenangan yang telah memprasasti itu berusaha meyakinkan kita, bahwa memang kita pernah bersamanya. Baik untuk beberapa waktu saja, ataupun dalam jangka waktu yang lama. Ia senantiasa berkenan memberikan inspirasi tak bertepi, ketika kita memintanya untuk membantu dalam mengembalikan ingatan.  Karena tidak selamanya kita mengingat apa yang pernah terjadi, ia akan meleleh terbawa masa. Ia akan tertinggal jauh di belakang ketika kita meneruskan langkah-langkah yang berikutnya.  Akan tetapi, ia akan selamanya ada, kalau kita mau memprasastikannya, saat ini.

Teman, banyak kisah terindah yang kita sangat ingin agar ia selamanya ada. Banyak pula cerita sebaliknya, yang kita ingin agar ia ada hanya pada saat terjadi saja. Berulangkali kita berjumpa dengan tampilan alam yang menyenangkan, dan kita ingin kembali menyaksikannya pada masa yang akan datang. Ada pula kenangan hari ini yang pada saat nanti dapat mensenyumkan. Maka abadikanlah dengan sepenuh hati. Agar, kita kembali dapat mengalami hal yang sama, seperti yang kita alami saat ini.

Agar, banyak kisah yang tidak terlewat begitu saja, untuk itulah salah satu catatan hari ini hadir. Catatan tentang perjalanan diri menjalani waktu, menyepi bersama alam. Menemukan inspirasi ke berbagai penjurunya, agar hati kembali menitikkan syukur saat  ini. Semoga ia dapat menjadi jalan, ingatkan diri tentang makna hari ini.

Teman, selangkah yang sedang menapak bumi hari ini, merupakan pendukung untuk dapat melangkah mengelilingi dunia. Ai!  Selamat menempuh jalan baru yang telah engkau pilih, teman… semoga keselamatan senantiasa menyelingi setiap langkah yang sedang engkau jejakkan. Agar, kita dapat berjumpa pada tujuan yang sama, yaa. Walau dalam melangkah, kita tidak pernah berjumpa, karena jalanmu ada di sana, sedangkan jalanku ada di sini. Namun, bersama tekad dan keyakinan akan tujuan kita yang sama, masih ada harapan untuk berjumpa, kann…? Mari bersiap untuk pertemuan. Walaupun tidak di dunia, semoga di akhirat nanti, kita bereuni dalam bahagia.  Karena kita pernah bersama, kita pernah bertemu. Ya?

Teman, semoga kita dapat kembali berintrospeksi dengan diri, apakah ada yang salah dengan langkah-langkah ini? Hingga kita belum lagi dapat bertemu. Apakah kita telah memilih jalan yang berbeda, sebelumnya?  Jalan yang menjadi awal lebih jauhnya jarak yang terbentang. Jarak yang membuat kita belum lagi bersua.  Semoga kita mendapatkan petunjuk ke jalan yang semestinya kita lalui, yaa. Semoga kita sama-sama tersadarkan, bahwa jalan yang sebelumnya bukanlah jalan yang seharusnya kita lalui. Semoga kita kembali sama-sama mau melanjutkan langkah, meskipun perlu berputar arah seratus delapan puluh derajat dari rute semula. Ya.

Semakin sering kita melangkah untuk menelusuri berbagai sisi alam ini, maka akan lebih banyak lagi pesan yang dapat kita petik darinya. Ketika kita sedang melangkah, misalnya. Ada kalanya kita bertemu dengan beraneka warna yang sebelumnya kita tak bersentuhan dengannya. Pernah pula kita bertemu dengan sesosok wajah yang sepertinya lagi terbawa suasana. Dari kejauhan, kita melihat sosok tersebut sedang berekspresi sangat berbeda dari yang sebelumnya kita tahu. Semakin lama, kita pun menjadi lebih dekat dengan sosok tersebut. Hingga jelas kita lihat, reaksi yang sedang beliau pakai saat itu. Ya, beliau sedang berkomunikasi dengan seseorang yang lain di sana. Entah siapa… Dalam ruang pikir, timbul prasangka dan praduga terhadap beliau. Kalau kita tidak menanyakan langsung kepada yang bersangkutan, tentang apa yang sedang beliau alami, maka kita sedang terjebak dalam prasangka yang kita ciptakan sendiri. Namun, sesungguhnya yang terjadi bukanlah sebagaimana yang kita pikirkan. Ya, sangat jauh berbeda. Beliau yang sedari tadi terlihat sedang berseteru dengan entah siapa di sana, ternyata sedang memberikan petunjuk, tentang lokasi keberadaan beliau kini.

Rosma, nama beliau. Ai! Nama yang sama dengan salah seorang teman saya. Sesaat setelah kami berkenalan, akhirnya beliaupun tersenyum… Selamat jalan ya Mba, semoga selamat sampai ke tujuan. Hati-hati di jalan yaa.  😀 Kejadian tersebut, menitipkan pesan tentang pentingnya bertanya, ketika kita berada pada wilayah baru, yang kita sedang kunjungi.  Karena dengan bertanya, maka senyuman akan kembali menebari wajah, segera.

Pesan selanjutnya, yang dapat kita baca dari sebuah kejadian adalah tentang pentingnya memperhatikan sikap dalam berinteraksi dengan alam-Nya. Ya, begini kisahnya. Ketika pada suatu waktu, saya sedang berjalan-jalan memanfaatkan waktu yang luang. Hingga akhirnya, terjadilah pertemuan dengan beliau, bernama Ibu Lina. Seorang ibu yang juga sedang berjalan, melanjutkan langkah perjuangan. Bersama seorang putra beliau yang bernama Lukman, terlihat beliau sedang menenteng bawaan yang terdiri dari beberapa kilogram. Ai! Kasihan…

Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya kamipun berjalan beriringan. Kami akhirnya berjalan beriringan. Beliau yang sedang berjalan tepat di depan saya, bercerita tentang aktivitas yang sedang beliau jalani saat ini. Bermula dari menjadi ibu rumah tangga hingga tentang peran beliau sebagai seorang perempuan pembekam.

“Ibu yang hebat!”, pikirku.

Di sela-sela berkisah, beliau sempat menitipkan sebaris pesan, “Selagi kita masih dalam kondisi sehat, maka kita perlu menjadi lebih bermanfaat bagi sesama.   Karena, menjadi bermanfaat  itu, sungguh menyenangkan,” tambah beliau pula.

Tidak lama waktu kebersamaan kami. Karena, saya perlu melanjutkan langkah-langkah lagi,  untuk dapat sampai ke tujuan. Sedangkan Ibu Lina juga begitu.  Pada persimpangan, kami berpisah. Semoga kita dapat berjumpa kembali dalam kesempatan terbaik, ya Ibu Lina.  Terima kasih atas pesanan yang Ibu titipkan. Walaupun kita baru bersua.  Namun, kebersamaan yang terjadi tadi, seakan kita telah bercakap untuk jangka waktu yang lama. Walaupun dalam kondisi tubuh yang terlihat lelah dan bersimbah keringat, namun Ibu masih rela menyusun bait-bait kalimat pada saya. Ai! Rentang jarak yang sedang membentang diantara kita hingga saat ini, bukanlah penghalang untuk tetap saling mengingat.  Memang tidak ada yang sia-sia. Untuk menjadi bermanfaat, kita hanya perlu memanfaatkan setiap peluang yang datang menyapa.  Ataupun menyapa peluang yang sedang menitipkan pesan penuh manfaat untuk kita.

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on March 23, 2012 in Belajar dari Alam

 

Tags: , , , , , , , ,

Secepat Itukah?

Warna yang berbeda

Warna yang berbeda

Lantunan ayat-ayat penyejuk jiwa, sedang ia simak dengan maksimal. Al ma’surat sore, menyelingi deru gemuruh yang menyentakkan jiwanya, segera. Lalu, mengalirlah tanya dari bibirnya yang sedari tadi mengatup, “Secepat itukah?”.  Ia menanya pada sesosok wajah yang sedang duduk di hadapannya, yang segera mengangguk.

Belum selesai kisah yang sedang kita rangkai. Hari ini kita masih ada di bumi, untuk mengabadikannya satu persatu. Baik, kalau memang ini yang engkau pilih. Seyakin-yakinnya engkau, teruslah menjadikannya bermakna. Karena engkau bisa, teman.

Tidak banyak lagi kata yang mampu ia suarakan. Hanya beberapa patah kata yang sempat ia susun, mengalir dengan lembutnya. Setelah itu, ia pun tertunduk. Diam, mengikuti alur pikiran yang menggantikan peran suara. Ia sedang menyelami lautan kehidupannya saat ini. Bukan ia tidak mau meneruskan pandangan mata yang semulanya menjadi jalannya menatap dunia. Namun, memang inilah yang telah ia putuskan. Banyak yang menyayangkan apa yang ia pilih. Semoga menjadi yang terbaik, untuk semua.

Masih kelu, tanpa suara. Ia menekur, teruskan pikiran yang sedang menerawang. Buat apa semua ini ada? Apakah hikmah yang sedang ia bawa?

“Tidak banyak waktu yang kita punya, mari kita mengabadikannya dalam catatan hari ini, teman,” ajaknya pada beberapa sahabat yang sedang memperhatikannya sedari tadi.

Beberapa perlengkapan telah ia siapkan. Tetesan rasa sedang memancar. Titik-titik imajinasi, sedang mengendalikan apa yang sedang ia pikirkan. Berlama-lama dalam kondisi sebelum ini, bukanlah tujuan kita ada di sini. Sekehendak jiwa memberaikan apa yang ia mau. Semaunya menyampaikan apa yang ia tahu. Sekiranya masih ada yang perlu kita selesaikan, baiklah kita menyelesaikannya lebih segera. Karena tidak pernah kita mengetahui tentang waktu yang sedang kita jalani saat ini. Akankah kita dapat berjumpa lagi setelah kebersamaan ini? Bukankah waktu bergerak sungguh melesat. Apakah yang dapat kita perbuat dalam kesempatan yang hanya sesaat?

Tidak perlu lagi mengajukan banyak tanya, ia segera melipat suara. Karena anggukan di seberang sana, telah menjelaskan semuanya.

“Iya, semoga engkau mengerti,” begini jawaban yang ia terima atas tanya yang  tadi ia ajukan.

“Bukankah kita hanya dapat berencana, sedangkan Kehendak-Nya adalah penenang terbaik. Apabila ada dari rencana kita yang belum menjadi nyata,” barisan kalimat berikutnya, menyentuh dinding hatinya. Ia simak dengan sepenuh hati. Ia belajar memahami atas bahan ajar yang baru saja ia terima.

“Kalau memang engkau yakin dengan segala yang engkau pilih, teruskan saja. Karena saya yakin, engkau dapat menentukan bagaimana yang seharusnya engkau jalani. Namun, satu hal yang tidak boleh engkau abaikan adalah tentang peran tunggal Sang Pemilik Keputusan. Engkau perlu menyadari akan hal ini, segera. Ketika nanti engkau mengalami hal-hal yang berada diluar rencanamu. Ok?,” dengan nada meyakinkan, ia bangkit. Ia layangkan pandangan sangat jauh ke hadapan. Ya, keberadaannya kini, sangat cocok untuk meneruskan pandang. Karena tepat di hadapannya ada hamparan pemandangan yang luas membentang. Di ujungnya, terlihat jejeran pegunungan yang tidak terlihat jelas, memang. Nuansa alam yang penuh dengan kesejukan. Angin bersemilir, segera memberikan bukti bahwa mereka ada bersamanya.

“Saya memang bukan siapa-siapa bagimu, namun satu kesan yang kita jalani dalam kebersamaan ini, membuat rasa hati awalnya sangat berat untuk melepasmu. Baiklah saya mengatakan hal ini, agar engkau tahu tentang apa yang sedang bersemayam di dalam jiwaku ini. Agar engkau pun mengerti akan makna kehadiranmu bagi diri ini. Agar engkau dapat menemukan di bagian mana posisimu di sini,” Ia menyentuhkan telapak kanannya ke dada. Setelah itu, bibirnya kelu. Ia tidak mampu berucap lagi. Sedangkan permata kehidupan, segera bertebaran membasahi kedua pipinya yang pualam.

Tetesan bening mutiara kehidupan masih tersisa, menganak sungai. Ia tidak dapat membendungnya. Banjir yang tercipta seketika, membuat sosok yang sedang duduk di hadapannya, mengalihkan pandang. Kemudian, ia berdiri, melangkah pelan ke arah kanan. Kedua tangannya sedang bersatu di belakang. Ia sungguh rupawan, dalam langkah-langkahnya yang sedang tidak tegap begini.

Siapakah sosok tersebut?

Kalau melihatnya dari arah belakang, kita tidak akan pernah tahu tentang siapa beliau. Karena, kostum yang ia pakai sedang menutupi sekujur tubuhnya. Pakaian yang longgar, membuat lekukan pada tubuhnya tidak terlihat sama sekali. Ditambah lagi dengan selembar mantel yang sedang ia kenakan. Mantel bulu yang lucu, warnanya putih. Ai! Sosok tersebut sangat suka dengan warna putih. Karena baginya, warna putih identik dengan kebersihan. Warna putih terlihat penuh dengan kecerahan. Bening tanpa warna. Ya, seperti hari ini yang sedang ia alami. Ada putih menyelingi sebagian waktunya.

“Lalu, maukah engkau menitipku bait-bait pesan, sebelum waktu itu datang?,” ia beranikan diri untuk menyampaikan pinta pada sosok yang saat ini sedang berdiri membelakanginya.

“Agar dapat saya menjadikannya sebagai prasasti terindah darimu. Sebagai jalan bagi kita dalam merangkai kisah bersama untuk memanfaatkan kesempatan di sisa-sisa kebersamaan ini. Saya ingin ia ada. Agar ia dapat menjadi kenangan tentangmu. Agar prasasti yang tercipta setelah saat ini, dapat menjadi pengingatku padamu. Maukan?,” ia meneruskan kalimat berikutnya, berisi pengajuan, meminta persetujuan.

Sang sosok tersenyum. Kemudian membalikkan badannya seratus delapan puluh derajat dari posisinya semula. Terlihat mereka sedang berhadapan. Senyumannya semakin lebar, ketika ia menyaksikan, wajah yang sedari tadi bertaburan bulir-bulir bening, menatapnya penuh. Di selembar wajah pualam, juga ada senyuman.

Ia tangkupkan kedua telapaknya, kemudian membawanya lebih tinggi. Telapak yag menangkup, sedang berdiri di depan wajahnya. Senyumannya makin mekar. Senyuman yang menandakan persetujuan, meskipun belum ada suara yang ia ucapkan.

***

Berulangkali, saya mengalami bagaimana rasanya ditinggalkan. Ai! Sungguh haru, sendu, menyentuh ruang hati ini, teman…. Hiks. Beberapa waktu yang lalu, terjadi lagi perpisahan. Yah, salah seorang sahabat kami yang menjalani waktu bersama, ingin meneruskan langkah-langkah perjuangannya, tidak lagi di sini. Saya yang baru mengenalnya beberapa bulan saja, sungguh tertohok. Ada seberkas jejak yang ia selipkan pada ruang hati ini. Ada sejumput harapan yang ia bawa, untuk ia tebarkan dalam menjalani hari-hari. Ada sebentuk pinta yang saya titipkan pada beliau juga. Beberapa saat setelah beliau datang.

Siang yang begitu terik, memang. Saat saya menerima sebuah informasi. Bahwa akan ada di antara kami yang akan melangkah dari sini. Awalnya, saya belum terlalu yakin atas keputusan yang beliau ambil. Namun, setelah menanyakan langsung kepada yang bersangkutan, ternyata benar. Beliau tidak akan lagi di sini, bersama kami. Ini berarti, akan terjadi jarak yang membentang di antara kami. Raga yang selama ini berjarak cukup dekat, hari ini telah berjarak sungguh panjang. Ai! Sepanjang waktu yang sedang kami jalani saat ini, hingga pada waktu-waktu yang akan datang setelah saat ini, sejauh itulah jarak yang membentang di antara kami.

Ada sebuah sapa yang terhadirkan dari ruang jiwa, pada beliau di sana. Sapa yang menandakan bahwa keberadaan beliau sangat berharga. Walaupun tidak lama, dalam nyata.

Ada sudut jiwa yang menggemuruh, ketika ia menerima kabar tentang perpisahan. Walaupun sebenarnya, hanya raga. Sedangkan jiwa-jiwa kita telah lama bersama, meskipun belum pernah bertatap sekalipun. Dengan keyakinan ini, akhirnya saya kembali tenang. Yes! Putusanmu adalah yang terbaik untuk saat ini dan nanti, teman. Selamat melanjutkan langkah. Selagi kita masih dapat saling mengingat, maka selama itu pula kita sedang bersama. Karena kebersamaan yang telah tercipta, akan selamanya ada di dalam ingatan kita.

Ini untuk ke sekian kalinya, saya menyampaikan kabar tentang perpisahan. Perpisahan raga dalam jarak yang tidak lagi sedepa. Akankah kita dapat kembali jumpa, wahai sosok berkacamata? Hahaha… siapakah engkau yang baru-baru ini meninggalkan kami?  😀

Yah! Saya sangat berkesan dan terkesan dengan keputusan yang telah engkau ambil. Sehingga sekata dua kata dari kesan yang menyelip di relung hati ini, mampir pula ke mari. Agar ia abadi dan memprasasti, itu saja. Semoga ia dapat menjadi jalan yang mengingatkan kita satu sama lainnya, yaa. Semoga engkau dapat menemukan jalan baru yang lebih menawan untuk engkau tempuhi dalam meneruskan langkah perjuangan. Agar, banyak cita yang telah engkau patri di ruang hari-harimu, dapat tercapai dengan berhiaskan aneka kemudahan. Walaupun tidak lagi di sini, semoga saya masih dapat mengetahui bagaimana perkembanganmu.

“Baik, semangat dan sukses, yaa…,” begini bunyi sebaris kalimat yang mampu saya ungkapkan, pada detik-detik sebelum beliau berangkat. Buat beliau, sosok berkacamata. Ai! Bapak Ade, terima kasih atas perannya, bantuan dan kerjasamanya selama kita bersama. Walaupun tidak lama kesempatan yang dapat kita manfaatkan, namun ia sangat berharga. Walaupun belum banyak kenangan yang terangkai atas kebersamaan ini, namun beberapa diantaranya pasti ada.

Berikut ini adalah bait-bait harapan yang menjadi kenangan di relung jiwaku.  Hasil dari kontemplasi bertemakan perpisahan dengan beliau, salah seorang teman berbagi saat menjalani aktivitas. Agar ia ada, baiklah menetes di salah satu catatan ini…

Saat kehadiranmu untuk pertama kali, satu kesan yang saya ingat adalah tentang senyuman. Senyuman yang menebar dengan mudahnya dari helai wajahmu, semoga senantiasa ada yaa. Tersenyumlah dalam menjalani hari, walau bagaimanapun warnanya. Karena dengan tersenyum, kita dapat membuat hari bermendung menjadi berseri-seri. Buktikanlah!

Kedua, adalah tentang semangat berbagi. Engkau yang seringkali saya repoti dengan pertolongan-pertolongan, dengan titipan-titipan dan permintaan-permintaan, semoga merelai. Apabila ada di antara ucap bibir ini yang terkesan dan sampai ke hati, tolong maafkan yaa. Tanpa garansi!

Sebelumnya, saya senang saat ada tiga orang sosok baru yang hadir dalam kehidupanku untuk menjalani hari. Beliau yang akan menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya. Dan salah seorang dari ketiga sosok tersebut adalah engkau. Namun kini, engkau telah menjauh, pergi. Semoga beliau berdua yang saat ini masih ada, dapat memberikan bukti, tanpa janji!

Selama empat hari, saya belum lagi mau menulis di sini, hingga akhirnya catatan hari ini tercipta. Karena, saya sedang merenungi akan keberadaan diri. Bagaimana dengan saya? Apakah akan mengambil keputusan yang senada? Seperti engkau yang terlebih dahulu telah memutuskan untuk melangkah pada jalan yang lain. Ai!

Paragraf ini adalah kesan ke lima dari hasil perenungan yang terjadi, yaitu tentang kerelaan hati untuk mengabdi, tentang loyalitas dan kesetiaan. Saya ingin memberikan bukti, bahwa selama kita masih mau mengintrospeksi diri, maka kita dapat menemukan beraneka alasan untuk kembali meneruskan perjuangan. Walaupun terkadang, jalan yang kita tempuhi berlubang, berbatu, berkerikil tajam yang menusuk. Semoga, ada kesediaan hati untuk kembali memberikan sebaris jawaban, saat pikir menanyai, “Mengapa engkau masih di sini?”

Kita tidak pernah tahu tentang bagaimana kisah yang akan kita jalani selanjutnya. Namun, berbekal kepercayaan kepada rukun iman yang jumlahnya enam, maka kita dapat menjalani hari dengan sepenuh hati.

  1. Beriman kepada Allah
  2. Beriman kepada malaikat-malaikat Allah,
  3. Beriman kepada kitab-kitab Allah,
  4. Beriman kepada Rasul-Nya
  5. Beriman kepada hari akhir
  6. Beriman kepada qada dan qadar

Kesan ke tujuh tentang perpisahan yang telah terjadi, mengingatkan diri ini pada satu hari yang pasti terjadi. Hari perpisahan yang tidak dapat lagi kita tolak walau dengan alasan apapun juga. Hari pasti yang merupakan pengingat diri, agar ia segera menyadari, tidak selamanya kita mengalami keadaan demi keadaan ini. Kalau saat ini kita bertemu, bersama dan kemudian menjalani hari dengan senang hati, akankah kita yakin dapat kembali mengiringi kebahagiaan sampai nanti?

Bagaimana kita menyadari tentang silih bergantinya cuaca dan iklim dalam hari-hari? Dapatkah kita meluaskan cara pandang akan beraneka kesan, pesan, dan kenangan yang kita alami saat ini? Bagaimana kita memberikan tanggapan atas segala pinta diri, ketika yang terjadi malah sebaliknya. Ya, bukan seperti itu yang sesungguhnya kita ingini. Kita maunya hal yang berbeda. Kita inginnya yang lain. Kita bisanya apa, tanpa pertolongan dari-Nya?  Wahai diri, . . .

Tanggal delapan belas, adalah hari ini. So, apakah yang telah kita lakukan pada hari ini? Bagaimana kita memanfaatkan waktu terbaik yang kita temui pada hari ini? Bagaimana kalau hari perpisahan yang pasti, menemui kita segera? Sudah maksimalkah persiapan kita dalam menyambutnya? Bukankah kita tidak pernah tahu, tentang rencana Ilahi? Jalanilah detik demi detik waktumu dengan sepenuh hati, nikmati hadirnya dengan melakukan yang terbaik, setelah itu, engkau dapat menyaksikan hasil yang terbaik.

Sembilan gelembung yang ada di dalam gambar di atas, untuk mengingatkan diri ini, tentang sembilan hasil kontemplasi setelah lebih dari dua hari belum lagi ngeposting di sini. Xixiixxixiii…. 😀 Adapun hasil kontemplasi yang ke sembilan adalah tentangmu yang saat ini sedang membaca catatan ini. Tolong maklum dan mengerti atas segala yang tercipta. Karena bait-bait yang ada, merupakan pengingat kita untuk segera mengingat akan hari perpisahan yang abadi. So, bukan saatnya lagi mentangisi perpisahan, baiklah kita mengambil sebuah catatan untuk kita tulisi. Lalu, kita beraikan apa yang sedang kita alami tentang satu kata ‘Perpisahan’, di dalamnya.  Setelah itu, baca kembali apa yang telah kita tulis, dengan wajah yang berseri-seri.

Wahai hati, kita sedang memprasastikan salah satu kesan dalam kehidupan. Ia telah menjadi prasasti. Ia ada untuk menjalankan misi yang pernah kita rangkai sebelum saat ini,

“Mempelajari, menghayati, menikmati alam dan mengabadikan hasil yang diperoleh dalam bentuk catatan-catatan sebagai prasasti eksistensi, menciptakan kedamaian setiap detik waktu dalam menjalani hari, menjalin keakraban dalam berinteraksi dengan alamNya, mengaplikasikan hasil yang telah diperoleh selama masa pembelajaran dalam keseharian.”

For, Nai… specially, “Tersenyumlah sayang… karena engkau sedang berbagi.”

Bukankah berbagi itu adalah aktivitas yang sangat menyenangkan, teman. Dan catatan saat ini, tercipta karena saya ingin membagikan segala yang sedang menari-nari di dalam pikiran, sebelum ini. Alhamdulillah, sekarang rasanya lebih ringan. Semoga ada manfaatnya, walaupun secuil hikmah, yaa.

🙂 🙂 🙂

 
1 Comment

Posted by on March 18, 2012 in Belajar dari Alam

 

Tags: , , , , , , , ,

Ayah

Alami
Alami

 

Dekat…

Lekat…

Hingga engkau larut bersamanya, tanpa sekat…

 

Erat…

Terpikat…

Nekat…?

 

Dengan niat yang kuat…

Engkau pun melompat!

Hebat…!

 

“Ayah banget!,” bisikku.

 

***

 

Ayah… Saat ini, saya sangat merindukan beliau.

Ayah… Segera pikirku merangkak menapak tanah hingga ke seberang pulau.

Ayah… Bibirpun tersenyum memukau.

Ayah… Ingatan yang hadir, pertanda beliau sedang memantau.

Wahai… bagaimana kabar anakku di rantau?

 

***

 

Ayah… Setangkai catatan yang saat ini sedang saya rangkai adalah tentang beliau. Seorang laki-laki yang memang sudah tidak muda lagi. Seorang yang memang sangat jarang menghiasi catatan perjalananku. Namun, sekali menyusun kata tentang beliau, maka banjir airmata akan terjadi di sekitarku. Sebelum tubuh ringan ini benar-benar tenggelam dalam lautan rasa, ia terus berusaha menggapai ketinggian. Menggerakkan kedua tangan yang mulai lemah tanpa daya. Menyuarakan nada yang mengalir dari dasar jiwa. Walaupun semua itu sia-sia, ia terus mencoba mengeluarkan suara semampunya. Agar, pertolongan segera datang. Siapakah relawan yang sedang mengayunkan langkah menuju padanya? Apakah ia terselamatkan? Ataukah…

Ayah… Butiran nasihat yang beliau sampaikan, memang tidak banyak. Malah, sangat jarang. Namun, ketika sekali waktu beliau memberikan nasihat pada kami, maka abadilah ia selama-lamanya. Tanpa suara yang beliau sampaikan, kami mengerti apa yang Ayah mau. Walaupun gerakan yang beliau perlihatkan tidak dapat kami lihat dengan jelas, untuk saat ini, namun ada sebuah ruang yang memberikan kami kesempatan untuk berkangenan ria. Kapanpun kami mau, maka kamipun memasukinya. Ialah ruang hati. Hati yang selama ini mendamba, sosok sebijaksana Ayah. Hati yang mengimpikan keteduhan dan kesejukan yang sedang mendekatinya. Hati yang memperhatikan, bagaimana seorang Ayah menunjukkan kasih dan sayangnya pada siapa saja yang beliau sayangi. Hati yang semua orang juga memilikinya. Engkaukah?

Ayah… Pribadi yang menampilkan kesegaran, bersama wajah yang berseri-seri. Ai! Ada sebuah suara yang menanyai, “Bagaimana Ayah menjalani masa-masa yang penuh dengan uji?.” Ketika kami masih belum bersama-sama dengan beliau. Saat semua yang kami lakukan saat ini belum terjadi. Bahkan, diri ini entah sedang berada di mana. Wahai, ketika kami mengingatinya, belum sampai kiranya pada tujuan yang sesungguhnya. Karena Ayah yang mengalami. Hanya saja, sangat ingin kami menanyai beliau, tentang hal ini.

Ayah… Ku minum dulu beberapa teguk air. Sebelum melanjutkan catatan tentang beliau. Ya, semoga dapat mengganti tetes bulir-bulir bening yang mulai berjatuhan. Agar, kami tidak dehidrasi. Supaya kami masih mampu menggerakkan jemari ini, meski pelan… Ia melemah tanpa daya. Ya, entah ke mana energinya mengalir. Apakah ia membantu kedua kelopak mata yang sedang mengalirkan cairan bening yang hangat pada kedua bola mata ini? Ataukah ia sedang menjadi pemandu sorak pada jiwa yang sedang bertarung melawan rasa yang menerjangnya? Atau, energi tersebut sedang mengendalikan arah pikir agar mengalihkan butiran permata kehidupan yang semakin rame alirannya, ke lautan jiwa? Agar tidak tumpah semuanya.

Ayah… Terasa kesegaran mengaliri tenggorokan ini, setelah kedua tangan kami meraih sebuah botol berwarna orange yang berisi air putih. Lalu, ia memutar penutup botol, dan menuangkannya beberapa kali ke dalam sebuah gelas. Kemudian, ia segera memandunya untuk menemui bibir yang masih basah oleh airmata. Dengan meminum air, maka kita menjadi lebih segar lagi. Setelah sebelumnya jemari ini melemah, dan tidak berdaya setelah menangis. Ia kehausan. Percaya dech, dengan menangis, maka kita akan menjadi haus. Apalagi kalau nangisnya kelamaan. Jadi, minumnya harus banyak.  Sebagai pengganti airmata yang terbuang percuma. Wah! So, what do you think? “Masih mau nangis lagi?,” sebuah suara tiba-tiba hadir dan menanyaiku. Aku kaget, dong... Suara yang hadir tanpa diundang. Ia menyapa dan kemudian menghilang, ketika ia tahu bahwa aku sudah kembali tenang.

Ayah… Mudah saja, cara untuk menghentikan tangis yang sedang menguasaiku. Cukup dengan menuliskan beberapa baris kalimat tentang apa yang aku alami, lalu membacanya lagi. Maka, segera ku tersipu dan kemudian meraba pipi yang ternyata sudah lembab. Pipi yang tidak memerah, memang. Namun, kedua peneropong arah yang mulai tidak dapat berfungsi optimal untuk sementara. Ia buram. Kalau mau melanjutkan merangkai kalimat dengan kondisi yang sama, alhasil… beginilah jadinya. Mari kita sudahi untuk sementara waktu, acara menangisnya. Yuuukkzszs. Karena kehadiran kita pada halaman ini adalah untuk merangkai senyuman. Boleh menangis, sebagai penghias suasana, sebagai penggerak jiwa, memberikannya aba-aba agar ia segera terjaga. Tapi, kalaupun aku mau menangis lagi, “Engga apa-apa ya, Yah…”

Ayah… Walaupun Ayah belum akan membaca untaian kalimat yang tercipta khusus untuk beliau dalam diari Edisi Jum’at/10 Februari 2012 ini, namun saya yakin, semua ini sampai pada beliau di sana. Karena saya yakin sangat akan hal ini.  Segera, suara jiwa yang sedang mengingat beliau dengan sepenuh rasa, menjadi jalan sampaikan bait-bait ini ke kampung halaman di mana Ayah berada kini. Semoga, beliau tersenyum semenjak saat ini. Karena, saya sedang merangkai kalimat-kalimat yang saat ini sedang tercipta, bersama senyuman. Meskipun sebelumnya terlarut dalam lautan rasa, namun saat kita menyadari bahwa kita masih mempunyai raga, maka kita dapat segera keluar dari dalam lautan tersebut. Walaupun telah basah ia dan kuyup. Kan kita bisa mengelapnya dengan handuk bernama senyuman. Wa… sekarang sudah lebih ringan. Setelah bening-bening yang tadi membanjirinya, mulai menguap. Sehingga yang tersisa hanya ingatan saja. Bahwa baru saja, ia menangis bersama.  Kedua bola mata yang tadi berkaca-kaca, sekarang sedang berbinar. Ia menjadi semakin cerah dan terang benderang.

Keesokan  harinya, pagi…

Ayah… Jelas sekali wajah beliau di pelupuk mataku kini. Wajah yang sedang berhiaskan senyuman itu, menyiratkan kelegaan dan kebahagiaan. Keteduhan tatap mata yang seringkali ku pandangi setiapkali kita bertemu, sungguh menyejukkan. Dari dalam kedua samudera nan bening itu, saya dapat mengetahui, bahwa beliau sedang mengungkapkan apa yang sedang beliau alami. Pancaran sinar yang menembus hingga ke relung hati ini, menyisakan keharuan hingga kini. Ayah bisa!

Ayah… Tiada lagi tempat yang dapat beliau singgahi untuk menitipkan titik-titik harapan yang sedang beliau kantongi. Pada buah hati tercinta, beliau menyimpan segala yang beliau miliki. Ada banyak cita dan asa yang sedang mengusahakan diri untuk lebih dahulu menunjukkan diri. Ya, melalui kedua peneropong arah yang membantu beliau untuk menikmati indahnya pemandangan alam-Nya, kami mengetahui bahwa beliau menyimpan hal-hal yang berharga. Harga yang tidak dapat kami nilai dengan angka-angka. Hanya kami perlu menjadi lebih baik dari waktu ke waktu, semoga menjadi jalan untuk menghargai semua yang beliau titipkan. Termasuk kepercayaan dan kerelaan untuk berjauhan raga dengan kami. Padahal Ayah, sangat memerlukan kehadiran kami lebih sering. Pada usia beliau yang sudah lanjut, masih tersisa satu harapan untuk kami. Harapan yang menjadi jalan tersenyumnya Ayah lebih indah lagi,  pada masa-masa yang berikutnya.

Ayah… “Sangat perlu kesabaran dan keteguhan hati untuk menemui apa yang kita impikan. Yakinlah Nak… Engkau mampu,”  (terbayang olehku, ketika pertama kali kita akan berbatasan untuk jarak yang tidak lagi memerlukan waktu se-jam dalam menempuhnya, ketika itu Ayah menangis). Sebuah ingatan yang mengalir dengan derasnya. Sederas tetesan bening yang mulai membanjir pada kedua pipi beliau yang cemerlang. Wajah Ayah nan bersih, sungguh mampu mengagumkanku setiapkali memandang beliau. Ada daya tarik tersendiri yang membuat mata ini ingin berlama-lama menikmati layar yang pada waktu itu  mempertunjukkan kesenduan. Karena kami akan berjarak raga, lebih jauh lagi. Ayah mulai berjalan ke arah yang lain, beliau tidak memperlihatkan apa yang sedang terjadi. Beliau sungguh mengesankan. Bahkan ketika menangis, tidak ingin kami tahu. Tolong maafkan kami, Ayah… yang membuat Ayah menangis.

Ayah… Dalam perjalanan yang sedang kami tempuh, pada awal kita berjarak raga sangat jauh untuk pertama kalinya, sering terbersit ingatan pada tatapan mata yang sangat damai. Tatapan itu adalah milik Ayah, yang walau bagaimanapun sikap kami, maka Ayah seringkali memaafkan. Ayah sangat pemaaf. Bahkan Ayah merelakan hak yang semestinya Ayah miliki, pergi.

“Bukan materi yang menjadi sumber bahagia, namun ia adalah jalan sahaja. Bukankah rezeki kita Ada Yang Mengatur?. Ayah tidak apa-apa, Nak. Ayah serahkan kepada Yang Maha Menguasai,” pelan namun jelas, Ayah menyampaikan suara jiwa. Ketika pada satu kesempatan terbaik, kami duduk-duduk di teras rumah, berdua. Dekat, sangat akrab. Ai! Ayah… pada waktunya nanti, saya sangat ingin menemani Ayah untuk memperbincangkan topik yang sama, lagi. Adakah kita masih memiliki kesempatan yang serupa, Ayah…? Walau banyak orang bilang, kesempatan tidak akan pernah datang untuk ke-dua kalinya. Namun, kesempatan pertama yang telah kita jalani menjadi bukti bahwa semua itu adalah benar. So, kesempatan itu masih ada. Walaupun bukan untuk yang pertama. Karena kita sudah mengalami kesempatan yang pertamanya bersama-sama.

Ayah…Bukan warisan harta yang beliau serahkan pada kami. Bukan pula rumah megah nan mewah untuk kami tinggali. Apalagi kendaraan yang mengkilat untuk kami tumpangi dalam meneruskan perjalanan ini. Tidak! Karena Ayah tidak memiliki semua itu.

“Hanya Ayah pesankan satu hal, Nak…. Tolong jaga Aqidah jangan sampai berubah. Karena engkau hidup di zaman yang serba mudah. Apapun alasannya, hanya satu pesan Ayah. Tolong yaa,” Ayah menekankan nada bicara beliau. Dalam kesempatan kita bercakap-cakap via seluler. Setelah akhirnya, raga kami benar-benar berjarak sangat jauh. Namun engkau selalu di hati, Ayah. Aku hanya mengangguk. Anggukan yang Ayah pasti tidak melihat. Karena kami bertemu hanya dalam nada-nada suara yang mengalir sangat indah. Merdu suaraku, lembut suara Ayah. Ai! Tema berikutnya yang kami bahas adalah tentang keindahan-keindahan yang masih ada dalam impian.

“Semoga Ayah juga dapat sampai ke Mekkah,” ini adalah harapan lain yang pernah beliau sampaikan. Dengan nada suara yang menyiratkan kebahagiaan. Menerawang masa depan, menguntai keinginan. Semoga ia segera menjadi kebutuhan. Karena, apa yang kita butuhkan pasti terjadi dalam masa yang sama. Dekat.  Kami meng-amin-kan dengan serentak.

“Aamiiin… Ya Rabbal’aalamiin,” Ayah tersenyum di sana, saya berbunga-bunga bahagia di sini. Tiada tempat kita mengharap, mengadu dan menitipkan cita dan asa. Ya Allah Yang Maha Mendengar, Melihat dan Menyaksikan apa yang kami lakukan. Semoga senyuman Ayah menjadi lebih indah lagi, ketika semua terjadi dalam kenyataan.  Kami berani bermimpi. Ayah dan juga aku adalah bagian dari keluarga yang meniatkan untuk dapat berangkat ke Tanah Suci. Ai!

“Bagaimana kabar unta-unta yang sedang berjalan di padang pasir, yaa?,” ku bertanya pada siapapun yang sedang bersamanya. Seraya menitipkan rindu dan salam dari kami buat alam di sana. “Tolong doakan kami juga yaa. Agar dapat pula menjejakkan langkah-langkah ringan ini, dengan sempurna, di atas hamparan padang pasir-Nya.”  Membayangkan saja, sudah meneteskan airmata. Namun kami bahagia dapat mengalaminya.

Ayah… Rangkaian keteladanan yang beliau rajut dari waktu ke waktu, teringat jelas saat ini. Ketika kami masih kecil dulu, kebersamaan dengan Ayah merupakan kebahagiaan yang tiada akan pernah terganti. Ketika Ayah membersamai kami dalam waktu belajar, salat berjamaah, bersantap menu ‘hari ini’, saat sarapan pagi. Wah! Semua kenangan yang kami alami, menjadi jalan tersenyumku kini. Ya, kami seringkali sarapan dengan kacang padi [baca; bubur kacang hijau]. Karena menu yang satu ini adalah menu kesukaan kami. Ayah suka, dan saya juga. Kami sehatiii. 😀 Dan saat ini, saya juga sedang menikmati anugerah berupa rezeki untuk sarapan pagi. Kacang padi yang menemani, terima kasih kasih yaa. Engkau juga berpartisipasi menjadi jalan tersenyumnya kami lebih indah lagi, saat merangkai catatan hari ini. Xixiixiiii… It’s yummy, I like it. Sesuap untuk saya, suapan yang berikutnya saya niatkan buat Ayah. Agar kita sama-sama menikmati kelezatannya yang tiada tara. So Sweet… Dengan tambahan selembar roti tawar yang akhirnya tenggelam di antara butiran ijo yang rameeeeeee sekali. Mari menikmatiiiiii… Dekat, lekat, erat dan akrab! 

“Saat-saat yang penuh dengan keakraban diantara anggota keluarga tercipta saat makan bersama. Ketika Ayah, Bunda, dan anak-anak menikmati menu yang tersedia dengan lahapnya,” begini inti dari sebuah kalimat yang pernah saya baca ketika sudah berada di perantauan. Ya, di sini, saya mempunyai banyak kesempatan untuk membaca lebih banyak buku dari hari ke hari. Kapanpun saya membutuhkan tambahan energi dan asupan gizi untuk pikiran yang suka sering pergi-pergi sendiri, maka toko-toko buku sudah tersedia. Dekat, erat, lekat!  Lalu, nikmat yang manakah lagi yang belum kita syukuri, wahai diriku sayang yang tersenyum cemerlang. Mentari pagi mensenyumiku dengan kebaikannya yang terus terangkai dari hari ke hari. Mengingat mentari yang sedang bersinar, saya kembali teringatkan; akan makna hadirnya.

Ayah… Bersama rangkaian doa yang beliau kirimkan setiap waktu, menjadi jalan yang menyelipkan ketenteraman pada hati dan jiwaku ini, kapan saja ia membutuhkan. Yach, seperti yang seringkali terjadi. Ketika ia bertemankan butiran permata kehidupan yang mampu memuaikannya, maka ingatan pada Ayah segera berfungsi sebagai jalan yang meluruhkan balok-balok dingin nan datang pada saat itu juga. Lalu, ia mencair perlahan. Beberapa saat setelah kedatangannya, suasana jiwa yang sedang memuaipun menjadi sejuk seketika. Memang ini terjadi tidak sekejap mata, namun ia berkala. Sesuai dengan ingatan yang terhadirkan.

Ayah… Walaupun saat ini kita belum lagi jumpa dalam tatapan mata seperti yang terjadi pada kesempatan pertama, namun harapan itu masih ada, kan ya, Ayah… Harapan yang seringkali menampakkan wujudnya melalui ingatan kita padanya. Harapan yang selamanya ada, selagi kita mau untuk menghadirkannya. Harapan yang ketika kita bersedia untuk menciptanya, maka ia dapat menjadi nyata.

“Sangat perlu kesabaran dan keteguhan hati untuk menemui apa yang kita impikan. Yakinlah Nak… Engkau mampu,” pesan Ayah yang kembali hadir dalam ingatanku. Terima kasih Ayah…

Wahai angin yang bertiup sepoi, engkau ada di sini. Pun ada di sana, bersama Ayah. Titip kesejukan di relung jiwa beliau, yaa… Semoga Ayah baik-baik saja.
🙂 🙂 🙂 For Ayah, specially... 🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on February 10, 2012 in Belajar dari Alam

 

Tags: , , , , ,