RSS

Tag Archives: mari kita

Sorot Matamu Mengingatkanku Pada Satu Rindu

Ku Ching Ta

Ku Ching Ta

Wajahmu memang tak manis, tapi engkau lekat dengan sapaan si Manis. Engkau memang tidak sedang tersenyum, namun ketika memandang padamu, membuatku segera melampirkan senyuman pada wajah ini.

Engkau ku Ching ta!

Kucing, tidak banyak dari kita yang tidak mengenal makhluk hidup yang satu ini. Bahkan, ada dari kita yang sangat tidak suka dengan yang namanya kucing. Mengapa?

Pernah pada suatu hari, saya menyaksikan sendiri dengan bola mata ini. Ketika ada seekor kucing yang sedang melintas di hadapan. Tiba-tiba, seorang yang sedang berada di sekitarku, segera kelabakan! Wah! Ada apa yang terjadi? Padahal, keadaan tidak ada yang berubah. Banyak orang sedang enjoy-enjoy dengan waktunya. Namun, seorang yang tadi itu, sedang mencari tempat sembunyi. Ia seakan menatap sesuatu yang sangat tidak ingin ia tatap. Ia berusaha mencari jalan, bagaimana cara menghindar. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, saat itu. Namun, satu hal yang saya pahami adalah, beliau sedang ketakutan. Karena ada seekor kucing yang sedang melintas, di sekitar kami.

Dengan suara khasnya, sang kucing berkeliling, melangkahkan kaki-kakinya yang berjumlah empat. Kucing yang berbulu sungguh lembut apabila  kita menyentuhnya, ada yang tidak suka, ternyata. Bahkan, saat melihat saja, ia tidak sanggup. Seperti fakta yang saya saksikan pada suatu hari dalam kurun waktu yang telah berlalu itu.

Wahai,… si Manis nan jelita, tidak semua menyukanya, ternyata.

Lalu, bagaimana denganmu teman? Engkau yang pernah mampir di mari, apakah engkau mempunyai pengalaman yang sama dengan yang baru saja saya ceritai? Xixixiii…. 😀 sorry, bahkan kalau salah satu dari seorang yang mengalami pengalaman serupa, adalah engkau. Engkau yang sangat geli dengan makhluk yang satu ini, baiklah mendekat, duduk di sini. Mari kita percakapkan tentang si Manis yang senangnya melamun, ini.

Kucing, belum banyak ku mengenal tentang ia. Karena, kucing adalah keluarga hewan yang sangat jarang ku bersamai. Walaupun demikian, setiap kali berjumpa dengannya, ada nuansa tersendiri yang menyelimuti relung hati. Ada keteduhan yang ia sampaikan lewat sorot matanya yang sedang menatap. Ia yang seringkali menyapa, terkadang kita abaikan. Kucing yang seringkali memanggil kita, dapatkah kita menyahut sapanya? Wahai, ku ching tha! Namanya si manis.

Pada suatu sore, dalam perjalanan menuju pulang, saya asyik sendiri. Langkah demi langkah terus menjejak bumi. Waktu demi waktu berlangsung tanpa saya sadari. Nah! Ketika itu, saya sedang melintas pada sebuah jalan yang sepi. Ada seekor kucing yang sedang bermenung diri. Ia merenungi keberadaannya di bumi, rupanya. Ai! Tidaklah dapat saya menerka, apa yang sebenarnya ia renungkan. Namun, ada yang mengusik diri ini, untuk segera menghampirinya, mendekati, lalu mengabadikan si Manis.

Kucing dengan bulu yang berwarna kelabu, putih bercorak hitam ini, sangat ingin kembali ku pandangi. Pada suatu hari yang akan datang, saat kami tidak bersama lagi. Yah! atas keyakinan ini pula, maka saya pun segera memotret si Manis, tanpa banyak pikir. Yes. Sukses. Satu kali, dua kali, dan beberapa kali, saya mencoba untuk memperbaiki arah potret. Hingga akhirnya, terpilihnya gambar di atas, sebagai yang terbaik. Seekor kucing dengan sorot mata yang sedang fokus pada diri ini.

Kucing, dari matanya saja, kita dapat mengambil hikmah. Adalah pesan yang sedang ia sampaikan, walau tanpa suara. Ada makna yang sedang ia tebarkan, meskipun tak tampak oleh mata kita yang sedang menatap. Dari sana, ada pesan cinta.

Cinta? Ada cinta di mata kucing? Sungguh! Di mana-mana, cinta itu ada, ini menurut hasil pengamatanku. Hohooo.. Meskipun dari mata seekor kucing sekalipun. Kalau engkau memandangku seperti ini, dengan sorot mata yang tajam seakan menyampaikan bait-bait pesan, engkau sedang menyampaikan cinta.

Ada mata yang sedang memandang, ada pesan yang sedang mengalir. Kita, engkau, siapapun yang seringkali bersua dengan kucing atau si manis mungkin segera bergumam, ai! Indah matanyaaa…

Kucing, makhluk hidup yang seringkali berlarian ke sana kemari. Untuk keperluan apakah ia bergerak? Kucing yang banyak orang memberinya nama. Nama yang melekat padanya, sesuai dengan kesukaan si pemberi nama. Si manis yang engkau namai, merupakan bukti bahwa engkau sedang menyampaikan pesan cinta, padanya. Ia yang sangat penurut, meski terkadang bawel sekali. Si manis yang suka pergi, tanpa pamit atau meminta izin. Si manis yang main-main sendiri, atau engkau yang mengajaknya bermain. Si manis yang lucu, memang saat ini sedang tiada di sisi. Kucing tersebut, entah berada di mana, kini. Namun, pertemuan kami yang hanya beberapa menit pada masa lampau, mengingatkanku pada satu rindu. Rindu pada Pemilik mata yang sedang menyorot tajam.

Teman, apa yang engkau pikirkan, ketika ingatanmu tiba-tiba mengalir? Engkau teringat dengan beliau yang sebelum ini pernah engkau temui, engkau bersamai, ataupun engkau sapa meski sekilas. Engkau yang pernah berjumpa dengannya, lalu menatap kedua bola matanya. Engkau yang belum mengenalnya, hanya sempat bersua saja. Engkau yang kemudian mengabadikan potretnya dalam ingatan dan bayanganmu. Engkau yang kemudian, membukanya lagi, mungkin sengaja ataupun tidak. Lalu, engkaupun menuliskan berbait-bait kalimat, tentang ia. Engkau merindukannya.

Potret seekor kucing yang pernah saya temui, pada sore hari dalam perjalanan, tanpa sengaja ku pandangi lagi. Kucing yang hanya ku jumpai beberapa menit saja. Ia yang ku jumpa tanpa perencanaan. Kucing yang sedang duduk dengan sendiri, sepertinya berpikir sangat dalam. Tidak ada senyuman dari wajahnya, karena memang tidak terlihat dengan tatapan mata yang nyata. Namun, dari sorot matanya yang tajam, ada pesan yang sedang ia sampaikan. Ada senyuman di matanya. Ada rindu yang tiba-tiba menyeruak rasa, ketika dua bola mata itu ku pandangi satu persatu.

Si manis dengan tatapan mata yang kadang terlihat sayu, memandangku penuh kelembutan. Ia yang tercipta tidak dengan sendirinya, tentu merupakan salah satu jalan bagi kita dalam memetik pelajaran. Karena, belajarnya kita, tidak hanya lewat materi yang tertulis di dalam rangkaian kalimat saja. Pun ada bahan pelajaran yang perlu kita pelajari dari alam yang membentang. Belajar dari alam, tiada akan pernah membuat kita puas dan apalagi merasa terpuaskan. Ingin kita kembali membuka lembaran demi lembaran yang sedang menawarkan bantuan. Ia bertanya, “Apa yang dapat kami berikan?”

Alam, terlihat sangat pendiam. Alam yang tidak banyak bicara, namun sekali bicara dapat mengagetkan. Yah! Seperti rintik hujan yang sedang berlangsung di luar. Malam saat ini, di sini. Saya yang semenjak tadi sedang asyik dengan seekor kucing dalam tatapan, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, pada hujan.

Memang, begitulah saya selalu. Yang mudah sekali terbawa suasana. Pada suatu masa, terbuai pula oleh keadaan dan akhirnya menjadi penuh dengan perasaan. Seperti halnya perempuan, yang seringkali terbuai oleh apa yang ia ciptakan dalam pikirannya. Sungguh, masih ku belajar untuk mengerti, tentang semua ini. Termasuk ingatan yang seringkali muncul dan menunjukkan eksistensinya. Ingatan pada sesiapa saja yang pernah ia temui, ia bersamai, walaupun beberapa waktu saja.

Ingatan.

Ketika mentari bersinar sungguh cemerlang, ingatlah aku wahai teman. Namun saat hujan mengguyur bumi dengan derasnya, maka ingatan yang berlebihan, akan segera mengalir padamu. Engkau yang seringkali mengulurkan bantuan, meskipun hanya dalam bayangan,” ini pesan hujan pada mentari yang sedang berada, sangat jauh dari tatapan.

Ketika hujan, teringatku pada sesosok ciptaan Tuhan. Mentari yang seringkali bersinar dengan cemerlang, mentari yang menyampaikan senyuman. Senyuman yang penuh dengan pesan. Pesan untuk kita abadikan, dalam berbagai kesempatan. Namun, ketika benderangnya tiada, terlarutkah kita dalam buaian ingatan yang terus menggemuruhkan deru perubahan? Ingatan yang tidak selamanya hanya ingatan, semoga dapat menjadi kenyataan.

Esok, mentari bersinar cerah dan berseri,” yakinku.

Baiklah teman…  Kembali kita kepada si manis yang sedang menatap. Potret yang memesankan inti dari perjalanan. Ya, karena potret tersebut berasal dari sesudut jalan di kota ini. Jalan yang sepi, tanpa banyak insan di sekitaran. Hanya ada Allah, aku dan kucing yang sedang merenungi diri.  Pun malaikat-malaikat yang memantau kami. Selain itu, ada juga makhluk ciptaan-Nya yang lain, namun tidak terlihat. Mereka ada, selayaknya cinta.

Perlahan, ku mendekat pada si manis. Sangat hati-hati. Agar, tidak mudah ia berlari, lalu menjauh dan tidak terlihat lagi. Yah, begitulah yang pernah saya lakukan, sebelum akhirnya, si manis terabadikan. Sungguh, lembut pekertinya, menyambut sapa dengan senyuman. Dari sorot matanya, seakan ia bertanya, “Mengapa datang kemari?”

“Karena, ada rindu yang mengajakku untuk menemuimu, wahai manis…,” jawabku atas tanya yang tidak mengalir.

Bukan pula ilusi, atau lagi sejenis imajinasi. Kucing seakan bertanya dengan ramahnya, seraya menyampaikan pesan dari sorot mata yang berkelipan. Saat itu, mata kucing sedang membuka. Sungguh indahnyaaa… inginku menatapnya berlama-lama. Namun, untuk menghabiskan waktu bersamanya, tidaklah menjadi pilihan. Hanya iseng, untuk menikmati perjalanan, ini yang ku lakukan.

Teman, ada waktunya kita melakukan sesuatu, tanpa pernah kita tahu, mengapa kita melakukannya. Aktivitas yang kita laksanai dari waktu ke waktu. Aktivitas yang tanpa kita sadari, ternyata telah mencuri banyak perhatian kita. Lalu, ingin kembali melanjutkannya, pada waktu yang lain. Setelah kita melakukannya pada saat ini. Inikah cinta?

Teman, sebagaimana halnya engkau yang akhirnya sampai ke sini, tanpa pernah engkau mengingat, sudah berapa kali engkau mampir dan menyempatkan waktumu. Adalah karena cinta, engkau melakukannya lagi, meski tanpa ku tahu.

Sejenis ingatan yang hadir lagi dan tiba-tiba mengajakmu datang, adalah cinta.

Kemudian, engkau menyiapkan mata terbaikmu untuk menatap huruf demi huruf yang tercipta. Agar engkau dapat menangkap beberapa pesan yang terselip diantaranya. Dengan cinta, engkau melakukannya. Satu persatu, kata demi kata engkau telusuri. Hingga pada akhirnya, engkau berkata, sebagaimana engkau memikirkannya. Sungguh, engkau cinta membaca. Kalau tidak, kita belum akan dapat berjumpa, meski dalam bait-bait kata.

Serasa pertemuan telah menjelang segera, membawa kita ke kebun bunga penuh senyuman. Ada mekarnya yang sedang kita pandang, dengan mata yang penuh kesegaran. Ada pesan yang kita coba pahami, di setiap helai kelopaknya yang berwarna-warni.

Cinta, tidak hanya sebuah kata yang kita suarakan. Tidak pula rangkaian huruf-huruf yang terdiri dari lima jenisnya. Namun cinta, ada di mana saja. Dari sorot mata si manis yang sedang tertegun, melalui tetesan hujan pada malam yang kelam ataupun lewat ingatan yang mempertemukan kita.

Untuk membuktikan kecintaanmu, engkau melanjutkan aktivitas yang sangat engkau sukai. Sekalipun engkau tidak memahami, sebelumnya. Engkau masih mengusahakan untuk mengerti, seraya menjalani. Dengan cinta, engkau berangkat setiap hari, melangkahkan kaki.

Terkadang, engkau bersua dengan beliau-beliau yang membuatmu segera tersenyum saat menikmati waktu. Terkadang pula, engkau masih bersedia menjalani waktu bersamanya, padahal kebahagiaanmu sedang terangkat nun jauh ke ujung semesta. Tapi engkau tidak lagi pedulikan semua. Cintamu telah melekat pada apapun yang sedang engkau laksana.

Sungguh ajaib!

Cinta.

Engkau yang tidak dapat menatap wujudnya dalam nyata, merasakan kehadirannya. Bersama ingatan yang engkau bangun, luruhlah segala bersama waktu. Engkau teringat pada awal langkah yang engkau ayunkan. Dari sana engkau berpedoman. Sampai akhirnya, pertemuanmu dengan si manis yang mungkin engkau suka atau tak suka.

Mengapa, teman? Mengapa? Mengapa engkau tidak suka saat berjumpa dengannya yang menatap dengan sorot mata penuh cinta? Bagaimana engkau menghindar darinya yang berusaha mendekatimu? Mengapa engkau tiba-tiba ingin menjauh, berlari, padahal banyak yang sedang berada di dekatmu, mereka enjoy-enjoy saja. Adalah pesan sedang menyapamu, untuk memberikan ingatan pada Pemilik mata yang sedang menatap. Ada keteduhan yang sedang ia sampaikan, ke relung jiwamu terdalam.

Si manis yang sedang berada di dekatmu, tentu tidak ada dengan sendirinya. Ia ada, karena bermakna. Selamanya begitu, tidak akan pernah usang oleh perjalanan waktu yang terus bergulir. Sesiapa saja yang kita temui, ataupun menemui, ia sedang menitipkan kita cinta. Adakah kita memahaminya? Maukah kita menyelaminya? Dapatkah kita memetik hikmah dan makna bersamanya?

Kalaulah kita menghindar dari sesiapa saja yang menjadi jalan sampaikan pesan, lalu kapan lagi kita dapat menerima pesan? Kalaulah pada awal-awal pertemuan, kita bersenyuman atas keadaan yang sangat kita sukai, bagaimana mungkin di ujung-ujung kebersamaan, kita abaikan arti senyuman?

Ketika kita belum memahami keadaan, kita lakukan apa yang mesti  kita jalankan. Bersama kemauan yang kita munculkan, akhirnya tercipta pertemuan. Nah! Ternyata, dalam menjalani waktu-waktu yang berikutnya, kita merasakan nuansa yang tidak lagi sama dengan sebelumnya, lalu kita mau menghilangkan ingatan. Wahai sungguh bukan hal yang demikian kita harapkan.

Memang ingatan sangat tidak mudah tertinggalkan. Semoga bersamanya kita dapat memperoleh bahan pelajaran. Untuk menjadi bekal dalam mengumpulkan pesan. Bukankah alam adalah guru yang sedang mengajarkan kita tentang segala yang kita belum tahu? Adalah baik kiranya, kalau kita terus memperluas wawasan, membuka pikiran. Lalu, mencari tahu makna yang berikutnya, dari sebuah ingatan.

Ingatan pada teman, misalnya. Ingatan pada sorot mata kucing yang tertangkap di jalanan, misalnya. Atau ingatan pada alam-Nya yang membuat kita tiba-tiba ingin menghindar.  Seperti halnya seekor kucing yang juga ciptaan Allah. Setiap kali bertemu dengan makhluk yang satu ini, ada rindu yang menelusup qalbu,…

Adalah satu rindu yang mengingatkan diri ini pada Sang Penciptanya. Si manis yang seringkali mentafakuri diri. Si manis yang sering menyapa saat kita mendekatinya. Si manis yang bersungut, namun tidak pernah bersungut-sungut. Ia bersyukur tercipta sebagai kucing, bersama postur tubuh yang unik.

Si manis berkumis tipis,

helainya tidak banyak, memang…

itulah yang membuat ia terlihat manis,

meski tanpa senyuman yang terlihat nyata,

sebagaimana cinta yang tanpa raga,

namun ia sedang mensenyumi kita yang tersenyum padanya,

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on April 26, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , , , ,

Secepat Itukah?

Warna yang berbeda

Warna yang berbeda

Lantunan ayat-ayat penyejuk jiwa, sedang ia simak dengan maksimal. Al ma’surat sore, menyelingi deru gemuruh yang menyentakkan jiwanya, segera. Lalu, mengalirlah tanya dari bibirnya yang sedari tadi mengatup, “Secepat itukah?”.  Ia menanya pada sesosok wajah yang sedang duduk di hadapannya, yang segera mengangguk.

Belum selesai kisah yang sedang kita rangkai. Hari ini kita masih ada di bumi, untuk mengabadikannya satu persatu. Baik, kalau memang ini yang engkau pilih. Seyakin-yakinnya engkau, teruslah menjadikannya bermakna. Karena engkau bisa, teman.

Tidak banyak lagi kata yang mampu ia suarakan. Hanya beberapa patah kata yang sempat ia susun, mengalir dengan lembutnya. Setelah itu, ia pun tertunduk. Diam, mengikuti alur pikiran yang menggantikan peran suara. Ia sedang menyelami lautan kehidupannya saat ini. Bukan ia tidak mau meneruskan pandangan mata yang semulanya menjadi jalannya menatap dunia. Namun, memang inilah yang telah ia putuskan. Banyak yang menyayangkan apa yang ia pilih. Semoga menjadi yang terbaik, untuk semua.

Masih kelu, tanpa suara. Ia menekur, teruskan pikiran yang sedang menerawang. Buat apa semua ini ada? Apakah hikmah yang sedang ia bawa?

“Tidak banyak waktu yang kita punya, mari kita mengabadikannya dalam catatan hari ini, teman,” ajaknya pada beberapa sahabat yang sedang memperhatikannya sedari tadi.

Beberapa perlengkapan telah ia siapkan. Tetesan rasa sedang memancar. Titik-titik imajinasi, sedang mengendalikan apa yang sedang ia pikirkan. Berlama-lama dalam kondisi sebelum ini, bukanlah tujuan kita ada di sini. Sekehendak jiwa memberaikan apa yang ia mau. Semaunya menyampaikan apa yang ia tahu. Sekiranya masih ada yang perlu kita selesaikan, baiklah kita menyelesaikannya lebih segera. Karena tidak pernah kita mengetahui tentang waktu yang sedang kita jalani saat ini. Akankah kita dapat berjumpa lagi setelah kebersamaan ini? Bukankah waktu bergerak sungguh melesat. Apakah yang dapat kita perbuat dalam kesempatan yang hanya sesaat?

Tidak perlu lagi mengajukan banyak tanya, ia segera melipat suara. Karena anggukan di seberang sana, telah menjelaskan semuanya.

“Iya, semoga engkau mengerti,” begini jawaban yang ia terima atas tanya yang  tadi ia ajukan.

“Bukankah kita hanya dapat berencana, sedangkan Kehendak-Nya adalah penenang terbaik. Apabila ada dari rencana kita yang belum menjadi nyata,” barisan kalimat berikutnya, menyentuh dinding hatinya. Ia simak dengan sepenuh hati. Ia belajar memahami atas bahan ajar yang baru saja ia terima.

“Kalau memang engkau yakin dengan segala yang engkau pilih, teruskan saja. Karena saya yakin, engkau dapat menentukan bagaimana yang seharusnya engkau jalani. Namun, satu hal yang tidak boleh engkau abaikan adalah tentang peran tunggal Sang Pemilik Keputusan. Engkau perlu menyadari akan hal ini, segera. Ketika nanti engkau mengalami hal-hal yang berada diluar rencanamu. Ok?,” dengan nada meyakinkan, ia bangkit. Ia layangkan pandangan sangat jauh ke hadapan. Ya, keberadaannya kini, sangat cocok untuk meneruskan pandang. Karena tepat di hadapannya ada hamparan pemandangan yang luas membentang. Di ujungnya, terlihat jejeran pegunungan yang tidak terlihat jelas, memang. Nuansa alam yang penuh dengan kesejukan. Angin bersemilir, segera memberikan bukti bahwa mereka ada bersamanya.

“Saya memang bukan siapa-siapa bagimu, namun satu kesan yang kita jalani dalam kebersamaan ini, membuat rasa hati awalnya sangat berat untuk melepasmu. Baiklah saya mengatakan hal ini, agar engkau tahu tentang apa yang sedang bersemayam di dalam jiwaku ini. Agar engkau pun mengerti akan makna kehadiranmu bagi diri ini. Agar engkau dapat menemukan di bagian mana posisimu di sini,” Ia menyentuhkan telapak kanannya ke dada. Setelah itu, bibirnya kelu. Ia tidak mampu berucap lagi. Sedangkan permata kehidupan, segera bertebaran membasahi kedua pipinya yang pualam.

Tetesan bening mutiara kehidupan masih tersisa, menganak sungai. Ia tidak dapat membendungnya. Banjir yang tercipta seketika, membuat sosok yang sedang duduk di hadapannya, mengalihkan pandang. Kemudian, ia berdiri, melangkah pelan ke arah kanan. Kedua tangannya sedang bersatu di belakang. Ia sungguh rupawan, dalam langkah-langkahnya yang sedang tidak tegap begini.

Siapakah sosok tersebut?

Kalau melihatnya dari arah belakang, kita tidak akan pernah tahu tentang siapa beliau. Karena, kostum yang ia pakai sedang menutupi sekujur tubuhnya. Pakaian yang longgar, membuat lekukan pada tubuhnya tidak terlihat sama sekali. Ditambah lagi dengan selembar mantel yang sedang ia kenakan. Mantel bulu yang lucu, warnanya putih. Ai! Sosok tersebut sangat suka dengan warna putih. Karena baginya, warna putih identik dengan kebersihan. Warna putih terlihat penuh dengan kecerahan. Bening tanpa warna. Ya, seperti hari ini yang sedang ia alami. Ada putih menyelingi sebagian waktunya.

“Lalu, maukah engkau menitipku bait-bait pesan, sebelum waktu itu datang?,” ia beranikan diri untuk menyampaikan pinta pada sosok yang saat ini sedang berdiri membelakanginya.

“Agar dapat saya menjadikannya sebagai prasasti terindah darimu. Sebagai jalan bagi kita dalam merangkai kisah bersama untuk memanfaatkan kesempatan di sisa-sisa kebersamaan ini. Saya ingin ia ada. Agar ia dapat menjadi kenangan tentangmu. Agar prasasti yang tercipta setelah saat ini, dapat menjadi pengingatku padamu. Maukan?,” ia meneruskan kalimat berikutnya, berisi pengajuan, meminta persetujuan.

Sang sosok tersenyum. Kemudian membalikkan badannya seratus delapan puluh derajat dari posisinya semula. Terlihat mereka sedang berhadapan. Senyumannya semakin lebar, ketika ia menyaksikan, wajah yang sedari tadi bertaburan bulir-bulir bening, menatapnya penuh. Di selembar wajah pualam, juga ada senyuman.

Ia tangkupkan kedua telapaknya, kemudian membawanya lebih tinggi. Telapak yag menangkup, sedang berdiri di depan wajahnya. Senyumannya makin mekar. Senyuman yang menandakan persetujuan, meskipun belum ada suara yang ia ucapkan.

***

Berulangkali, saya mengalami bagaimana rasanya ditinggalkan. Ai! Sungguh haru, sendu, menyentuh ruang hati ini, teman…. Hiks. Beberapa waktu yang lalu, terjadi lagi perpisahan. Yah, salah seorang sahabat kami yang menjalani waktu bersama, ingin meneruskan langkah-langkah perjuangannya, tidak lagi di sini. Saya yang baru mengenalnya beberapa bulan saja, sungguh tertohok. Ada seberkas jejak yang ia selipkan pada ruang hati ini. Ada sejumput harapan yang ia bawa, untuk ia tebarkan dalam menjalani hari-hari. Ada sebentuk pinta yang saya titipkan pada beliau juga. Beberapa saat setelah beliau datang.

Siang yang begitu terik, memang. Saat saya menerima sebuah informasi. Bahwa akan ada di antara kami yang akan melangkah dari sini. Awalnya, saya belum terlalu yakin atas keputusan yang beliau ambil. Namun, setelah menanyakan langsung kepada yang bersangkutan, ternyata benar. Beliau tidak akan lagi di sini, bersama kami. Ini berarti, akan terjadi jarak yang membentang di antara kami. Raga yang selama ini berjarak cukup dekat, hari ini telah berjarak sungguh panjang. Ai! Sepanjang waktu yang sedang kami jalani saat ini, hingga pada waktu-waktu yang akan datang setelah saat ini, sejauh itulah jarak yang membentang di antara kami.

Ada sebuah sapa yang terhadirkan dari ruang jiwa, pada beliau di sana. Sapa yang menandakan bahwa keberadaan beliau sangat berharga. Walaupun tidak lama, dalam nyata.

Ada sudut jiwa yang menggemuruh, ketika ia menerima kabar tentang perpisahan. Walaupun sebenarnya, hanya raga. Sedangkan jiwa-jiwa kita telah lama bersama, meskipun belum pernah bertatap sekalipun. Dengan keyakinan ini, akhirnya saya kembali tenang. Yes! Putusanmu adalah yang terbaik untuk saat ini dan nanti, teman. Selamat melanjutkan langkah. Selagi kita masih dapat saling mengingat, maka selama itu pula kita sedang bersama. Karena kebersamaan yang telah tercipta, akan selamanya ada di dalam ingatan kita.

Ini untuk ke sekian kalinya, saya menyampaikan kabar tentang perpisahan. Perpisahan raga dalam jarak yang tidak lagi sedepa. Akankah kita dapat kembali jumpa, wahai sosok berkacamata? Hahaha… siapakah engkau yang baru-baru ini meninggalkan kami?  😀

Yah! Saya sangat berkesan dan terkesan dengan keputusan yang telah engkau ambil. Sehingga sekata dua kata dari kesan yang menyelip di relung hati ini, mampir pula ke mari. Agar ia abadi dan memprasasti, itu saja. Semoga ia dapat menjadi jalan yang mengingatkan kita satu sama lainnya, yaa. Semoga engkau dapat menemukan jalan baru yang lebih menawan untuk engkau tempuhi dalam meneruskan langkah perjuangan. Agar, banyak cita yang telah engkau patri di ruang hari-harimu, dapat tercapai dengan berhiaskan aneka kemudahan. Walaupun tidak lagi di sini, semoga saya masih dapat mengetahui bagaimana perkembanganmu.

“Baik, semangat dan sukses, yaa…,” begini bunyi sebaris kalimat yang mampu saya ungkapkan, pada detik-detik sebelum beliau berangkat. Buat beliau, sosok berkacamata. Ai! Bapak Ade, terima kasih atas perannya, bantuan dan kerjasamanya selama kita bersama. Walaupun tidak lama kesempatan yang dapat kita manfaatkan, namun ia sangat berharga. Walaupun belum banyak kenangan yang terangkai atas kebersamaan ini, namun beberapa diantaranya pasti ada.

Berikut ini adalah bait-bait harapan yang menjadi kenangan di relung jiwaku.  Hasil dari kontemplasi bertemakan perpisahan dengan beliau, salah seorang teman berbagi saat menjalani aktivitas. Agar ia ada, baiklah menetes di salah satu catatan ini…

Saat kehadiranmu untuk pertama kali, satu kesan yang saya ingat adalah tentang senyuman. Senyuman yang menebar dengan mudahnya dari helai wajahmu, semoga senantiasa ada yaa. Tersenyumlah dalam menjalani hari, walau bagaimanapun warnanya. Karena dengan tersenyum, kita dapat membuat hari bermendung menjadi berseri-seri. Buktikanlah!

Kedua, adalah tentang semangat berbagi. Engkau yang seringkali saya repoti dengan pertolongan-pertolongan, dengan titipan-titipan dan permintaan-permintaan, semoga merelai. Apabila ada di antara ucap bibir ini yang terkesan dan sampai ke hati, tolong maafkan yaa. Tanpa garansi!

Sebelumnya, saya senang saat ada tiga orang sosok baru yang hadir dalam kehidupanku untuk menjalani hari. Beliau yang akan menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya. Dan salah seorang dari ketiga sosok tersebut adalah engkau. Namun kini, engkau telah menjauh, pergi. Semoga beliau berdua yang saat ini masih ada, dapat memberikan bukti, tanpa janji!

Selama empat hari, saya belum lagi mau menulis di sini, hingga akhirnya catatan hari ini tercipta. Karena, saya sedang merenungi akan keberadaan diri. Bagaimana dengan saya? Apakah akan mengambil keputusan yang senada? Seperti engkau yang terlebih dahulu telah memutuskan untuk melangkah pada jalan yang lain. Ai!

Paragraf ini adalah kesan ke lima dari hasil perenungan yang terjadi, yaitu tentang kerelaan hati untuk mengabdi, tentang loyalitas dan kesetiaan. Saya ingin memberikan bukti, bahwa selama kita masih mau mengintrospeksi diri, maka kita dapat menemukan beraneka alasan untuk kembali meneruskan perjuangan. Walaupun terkadang, jalan yang kita tempuhi berlubang, berbatu, berkerikil tajam yang menusuk. Semoga, ada kesediaan hati untuk kembali memberikan sebaris jawaban, saat pikir menanyai, “Mengapa engkau masih di sini?”

Kita tidak pernah tahu tentang bagaimana kisah yang akan kita jalani selanjutnya. Namun, berbekal kepercayaan kepada rukun iman yang jumlahnya enam, maka kita dapat menjalani hari dengan sepenuh hati.

  1. Beriman kepada Allah
  2. Beriman kepada malaikat-malaikat Allah,
  3. Beriman kepada kitab-kitab Allah,
  4. Beriman kepada Rasul-Nya
  5. Beriman kepada hari akhir
  6. Beriman kepada qada dan qadar

Kesan ke tujuh tentang perpisahan yang telah terjadi, mengingatkan diri ini pada satu hari yang pasti terjadi. Hari perpisahan yang tidak dapat lagi kita tolak walau dengan alasan apapun juga. Hari pasti yang merupakan pengingat diri, agar ia segera menyadari, tidak selamanya kita mengalami keadaan demi keadaan ini. Kalau saat ini kita bertemu, bersama dan kemudian menjalani hari dengan senang hati, akankah kita yakin dapat kembali mengiringi kebahagiaan sampai nanti?

Bagaimana kita menyadari tentang silih bergantinya cuaca dan iklim dalam hari-hari? Dapatkah kita meluaskan cara pandang akan beraneka kesan, pesan, dan kenangan yang kita alami saat ini? Bagaimana kita memberikan tanggapan atas segala pinta diri, ketika yang terjadi malah sebaliknya. Ya, bukan seperti itu yang sesungguhnya kita ingini. Kita maunya hal yang berbeda. Kita inginnya yang lain. Kita bisanya apa, tanpa pertolongan dari-Nya?  Wahai diri, . . .

Tanggal delapan belas, adalah hari ini. So, apakah yang telah kita lakukan pada hari ini? Bagaimana kita memanfaatkan waktu terbaik yang kita temui pada hari ini? Bagaimana kalau hari perpisahan yang pasti, menemui kita segera? Sudah maksimalkah persiapan kita dalam menyambutnya? Bukankah kita tidak pernah tahu, tentang rencana Ilahi? Jalanilah detik demi detik waktumu dengan sepenuh hati, nikmati hadirnya dengan melakukan yang terbaik, setelah itu, engkau dapat menyaksikan hasil yang terbaik.

Sembilan gelembung yang ada di dalam gambar di atas, untuk mengingatkan diri ini, tentang sembilan hasil kontemplasi setelah lebih dari dua hari belum lagi ngeposting di sini. Xixiixxixiii…. 😀 Adapun hasil kontemplasi yang ke sembilan adalah tentangmu yang saat ini sedang membaca catatan ini. Tolong maklum dan mengerti atas segala yang tercipta. Karena bait-bait yang ada, merupakan pengingat kita untuk segera mengingat akan hari perpisahan yang abadi. So, bukan saatnya lagi mentangisi perpisahan, baiklah kita mengambil sebuah catatan untuk kita tulisi. Lalu, kita beraikan apa yang sedang kita alami tentang satu kata ‘Perpisahan’, di dalamnya.  Setelah itu, baca kembali apa yang telah kita tulis, dengan wajah yang berseri-seri.

Wahai hati, kita sedang memprasastikan salah satu kesan dalam kehidupan. Ia telah menjadi prasasti. Ia ada untuk menjalankan misi yang pernah kita rangkai sebelum saat ini,

“Mempelajari, menghayati, menikmati alam dan mengabadikan hasil yang diperoleh dalam bentuk catatan-catatan sebagai prasasti eksistensi, menciptakan kedamaian setiap detik waktu dalam menjalani hari, menjalin keakraban dalam berinteraksi dengan alamNya, mengaplikasikan hasil yang telah diperoleh selama masa pembelajaran dalam keseharian.”

For, Nai… specially, “Tersenyumlah sayang… karena engkau sedang berbagi.”

Bukankah berbagi itu adalah aktivitas yang sangat menyenangkan, teman. Dan catatan saat ini, tercipta karena saya ingin membagikan segala yang sedang menari-nari di dalam pikiran, sebelum ini. Alhamdulillah, sekarang rasanya lebih ringan. Semoga ada manfaatnya, walaupun secuil hikmah, yaa.

🙂 🙂 🙂

 
1 Comment

Posted by on March 18, 2012 in Belajar dari Alam

 

Tags: , , , , , , , ,

Secepat Itukah?

Warna yang berbeda

Warna yang berbeda

Lantunan ayat-ayat penyejuk jiwa, sedang ia simak dengan maksimal. Al ma’surat sore, menyelingi deru gemuruh yang menyentakkan jiwanya, segera. Lalu, mengalirlah tanya dari bibirnya yang sedari tadi mengatup, “Secepat itukah?”.  Ia menanya pada sesosok wajah yang sedang duduk di hadapannya, yang segera mengangguk.

Belum selesai kisah yang sedang kita rangkai. Hari ini kita masih ada di bumi, untuk mengabadikannya satu persatu. Baik, kalau memang ini yang engkau pilih. Seyakin-yakinnya engkau, teruslah menjadikannya bermakna. Karena engkau bisa, teman.

Tidak banyak lagi kata yang mampu ia suarakan. Hanya beberapa patah kata yang sempat ia susun, mengalir dengan lembutnya. Setelah itu, ia pun tertunduk. Diam, mengikuti alur pikiran yang menggantikan peran suara. Ia sedang menyelami lautan kehidupannya saat ini. Bukan ia tidak mau meneruskan pandangan mata yang semulanya menjadi jalannya menatap dunia. Namun, memang inilah yang telah ia putuskan. Banyak yang menyayangkan apa yang ia pilih. Semoga menjadi yang terbaik, untuk semua.

Masih kelu, tanpa suara. Ia menekur, teruskan pikiran yang sedang menerawang. Buat apa semua ini ada? Apakah hikmah yang sedang ia bawa?

“Tidak banyak waktu yang kita punya, mari kita mengabadikannya dalam catatan hari ini, teman,” ajaknya pada beberapa sahabat yang sedang memperhatikannya sedari tadi.

Beberapa perlengkapan telah ia siapkan. Tetesan rasa sedang memancar. Titik-titik imajinasi, sedang mengendalikan apa yang sedang ia pikirkan. Berlama-lama dalam kondisi sebelum ini, bukanlah tujuan kita ada di sini. Sekehendak jiwa memberaikan apa yang ia mau. Semaunya menyampaikan apa yang ia tahu. Sekiranya masih ada yang perlu kita selesaikan, baiklah kita menyelesaikannya lebih segera. Karena tidak pernah kita mengetahui tentang waktu yang sedang kita jalani saat ini. Akankah kita dapat berjumpa lagi setelah kebersamaan ini? Bukankah waktu bergerak sungguh melesat. Apakah yang dapat kita perbuat dalam kesempatan yang hanya sesaat?

Tidak perlu lagi mengajukan banyak tanya, ia segera melipat suara. Karena anggukan di seberang sana, telah menjelaskan semuanya.

“Iya, semoga engkau mengerti,” begini jawaban yang ia terima atas tanya yang  tadi ia ajukan.

“Bukankah kita hanya dapat berencana, sedangkan Kehendak-Nya adalah penenang terbaik. Apabila ada dari rencana kita yang belum menjadi nyata,” barisan kalimat berikutnya, menyentuh dinding hatinya. Ia simak dengan sepenuh hati. Ia belajar memahami atas bahan ajar yang baru saja ia terima.

“Kalau memang engkau yakin dengan segala yang engkau pilih, teruskan saja. Karena saya yakin, engkau dapat menentukan bagaimana yang seharusnya engkau jalani. Namun, satu hal yang tidak boleh engkau abaikan adalah tentang peran tunggal Sang Pemilik Keputusan. Engkau perlu menyadari akan hal ini, segera. Ketika nanti engkau mengalami hal-hal yang berada diluar rencanamu. Ok?,” dengan nada meyakinkan, ia bangkit. Ia layangkan pandangan sangat jauh ke hadapan. Ya, keberadaannya kini, sangat cocok untuk meneruskan pandang. Karena tepat di hadapannya ada hamparan pemandangan yang luas membentang. Di ujungnya, terlihat jejeran pegunungan yang tidak terlihat jelas, memang. Nuansa alam yang penuh dengan kesejukan. Angin bersemilir, segera memberikan bukti bahwa mereka ada bersamanya.

“Saya memang bukan siapa-siapa bagimu, namun satu kesan yang kita jalani dalam kebersamaan ini, membuat rasa hati awalnya sangat berat untuk melepasmu. Baiklah saya mengatakan hal ini, agar engkau tahu tentang apa yang sedang bersemayam di dalam jiwaku ini. Agar engkau pun mengerti akan makna kehadiranmu bagi diri ini. Agar engkau dapat menemukan di bagian mana posisimu di sini,” Ia menyentuhkan telapak kanannya ke dada. Setelah itu, bibirnya kelu. Ia tidak mampu berucap lagi. Sedangkan permata kehidupan, segera bertebaran membasahi kedua pipinya yang pualam.

Tetesan bening mutiara kehidupan masih tersisa, menganak sungai. Ia tidak dapat membendungnya. Banjir yang tercipta seketika, membuat sosok yang sedang duduk di hadapannya, mengalihkan pandang. Kemudian, ia berdiri, melangkah pelan ke arah kanan. Kedua tangannya sedang bersatu di belakang. Ia sungguh rupawan, dalam langkah-langkahnya yang sedang tidak tegap begini.

Siapakah sosok tersebut?

Kalau melihatnya dari arah belakang, kita tidak akan pernah tahu tentang siapa beliau. Karena, kostum yang ia pakai sedang menutupi sekujur tubuhnya. Pakaian yang longgar, membuat lekukan pada tubuhnya tidak terlihat sama sekali. Ditambah lagi dengan selembar mantel yang sedang ia kenakan. Mantel bulu yang lucu, warnanya putih. Ai! Sosok tersebut sangat suka dengan warna putih. Karena baginya, warna putih identik dengan kebersihan. Warna putih terlihat penuh dengan kecerahan. Bening tanpa warna. Ya, seperti hari ini yang sedang ia alami. Ada putih menyelingi sebagian waktunya.

“Lalu, maukah engkau menitipku bait-bait pesan, sebelum waktu itu datang?,” ia beranikan diri untuk menyampaikan pinta pada sosok yang saat ini sedang berdiri membelakanginya.

“Agar dapat saya menjadikannya sebagai prasasti terindah darimu. Sebagai jalan bagi kita dalam merangkai kisah bersama untuk memanfaatkan kesempatan di sisa-sisa kebersamaan ini. Saya ingin ia ada. Agar ia dapat menjadi kenangan tentangmu. Agar prasasti yang tercipta setelah saat ini, dapat menjadi pengingatku padamu. Maukan?,” ia meneruskan kalimat berikutnya, berisi pengajuan, meminta persetujuan.

Sang sosok tersenyum. Kemudian membalikkan badannya seratus delapan puluh derajat dari posisinya semula. Terlihat mereka sedang berhadapan. Senyumannya semakin lebar, ketika ia menyaksikan, wajah yang sedari tadi bertaburan bulir-bulir bening, menatapnya penuh. Di selembar wajah pualam, juga ada senyuman.

Ia tangkupkan kedua telapaknya, kemudian membawanya lebih tinggi. Telapak yag menangkup, sedang berdiri di depan wajahnya. Senyumannya makin mekar. Senyuman yang menandakan persetujuan, meskipun belum ada suara yang ia ucapkan.

***

Berulangkali, saya mengalami bagaimana rasanya ditinggalkan. Ai! Sungguh haru, sendu, menyentuh ruang hati ini, teman…. Hiks. Beberapa waktu yang lalu, terjadi lagi perpisahan. Yah, salah seorang sahabat kami yang menjalani waktu bersama, ingin meneruskan langkah-langkah perjuangannya, tidak lagi di sini. Saya yang baru mengenalnya beberapa bulan saja, sungguh tertohok. Ada seberkas jejak yang ia selipkan pada ruang hati ini. Ada sejumput harapan yang ia bawa, untuk ia tebarkan dalam menjalani hari-hari. Ada sebentuk pinta yang saya titipkan pada beliau juga. Beberapa saat setelah beliau datang.

Siang yang begitu terik, memang. Saat saya menerima sebuah informasi. Bahwa akan ada di antara kami yang akan melangkah dari sini. Awalnya, saya belum terlalu yakin atas keputusan yang beliau ambil. Namun, setelah menanyakan langsung kepada yang bersangkutan, ternyata benar. Beliau tidak akan lagi di sini, bersama kami. Ini berarti, akan terjadi jarak yang membentang di antara kami. Raga yang selama ini berjarak cukup dekat, hari ini telah berjarak sungguh panjang. Ai! Sepanjang waktu yang sedang kami jalani saat ini, hingga pada waktu-waktu yang akan datang setelah saat ini, sejauh itulah jarak yang membentang di antara kami.

Ada sebuah sapa yang terhadirkan dari ruang jiwa, pada beliau di sana. Sapa yang menandakan bahwa keberadaan beliau sangat berharga. Walaupun tidak lama, dalam nyata.

Ada sudut jiwa yang menggemuruh, ketika ia menerima kabar tentang perpisahan. Walaupun sebenarnya, hanya raga. Sedangkan jiwa-jiwa kita telah lama bersama, meskipun belum pernah bertatap sekalipun. Dengan keyakinan ini, akhirnya saya kembali tenang. Yes! Putusanmu adalah yang terbaik untuk saat ini dan nanti, teman. Selamat melanjutkan langkah. Selagi kita masih dapat saling mengingat, maka selama itu pula kita sedang bersama. Karena kebersamaan yang telah tercipta, akan selamanya ada di dalam ingatan kita.

Ini untuk ke sekian kalinya, saya menyampaikan kabar tentang perpisahan. Perpisahan raga dalam jarak yang tidak lagi sedepa. Akankah kita dapat kembali jumpa, wahai sosok berkacamata? Hahaha… siapakah engkau yang baru-baru ini meninggalkan kami?  😀

Yah! Saya sangat berkesan dan terkesan dengan keputusan yang telah engkau ambil. Sehingga sekata dua kata dari kesan yang menyelip di relung hati ini, mampir pula ke mari. Agar ia abadi dan memprasasti, itu saja. Semoga ia dapat menjadi jalan yang mengingatkan kita satu sama lainnya, yaa. Semoga engkau dapat menemukan jalan baru yang lebih menawan untuk engkau tempuhi dalam meneruskan langkah perjuangan. Agar, banyak cita yang telah engkau patri di ruang hari-harimu, dapat tercapai dengan berhiaskan aneka kemudahan. Walaupun tidak lagi di sini, semoga saya masih dapat mengetahui bagaimana perkembanganmu.

“Baik, semangat dan sukses, yaa…,” begini bunyi sebaris kalimat yang mampu saya ungkapkan, pada detik-detik sebelum beliau berangkat. Buat beliau, sosok berkacamata. Ai! Bapak Ade, terima kasih atas perannya, bantuan dan kerjasamanya selama kita bersama. Walaupun tidak lama kesempatan yang dapat kita manfaatkan, namun ia sangat berharga. Walaupun belum banyak kenangan yang terangkai atas kebersamaan ini, namun beberapa diantaranya pasti ada.

Berikut ini adalah bait-bait harapan yang menjadi kenangan di relung jiwaku.  Hasil dari kontemplasi bertemakan perpisahan dengan beliau, salah seorang teman berbagi saat menjalani aktivitas. Agar ia ada, baiklah menetes di salah satu catatan ini…

Saat kehadiranmu untuk pertama kali, satu kesan yang saya ingat adalah tentang senyuman. Senyuman yang menebar dengan mudahnya dari helai wajahmu, semoga senantiasa ada yaa. Tersenyumlah dalam menjalani hari, walau bagaimanapun warnanya. Karena dengan tersenyum, kita dapat membuat hari bermendung menjadi berseri-seri. Buktikanlah!

Kedua, adalah tentang semangat berbagi. Engkau yang seringkali saya repoti dengan pertolongan-pertolongan, dengan titipan-titipan dan permintaan-permintaan, semoga merelai. Apabila ada di antara ucap bibir ini yang terkesan dan sampai ke hati, tolong maafkan yaa. Tanpa garansi!

Sebelumnya, saya senang saat ada tiga orang sosok baru yang hadir dalam kehidupanku untuk menjalani hari. Beliau yang akan menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya. Dan salah seorang dari ketiga sosok tersebut adalah engkau. Namun kini, engkau telah menjauh, pergi. Semoga beliau berdua yang saat ini masih ada, dapat memberikan bukti, tanpa janji!

Selama empat hari, saya belum lagi mau menulis di sini, hingga akhirnya catatan hari ini tercipta. Karena, saya sedang merenungi akan keberadaan diri. Bagaimana dengan saya? Apakah akan mengambil keputusan yang senada? Seperti engkau yang terlebih dahulu telah memutuskan untuk melangkah pada jalan yang lain. Ai!

Paragraf ini adalah kesan ke lima dari hasil perenungan yang terjadi, yaitu tentang kerelaan hati untuk mengabdi, tentang loyalitas dan kesetiaan. Saya ingin memberikan bukti, bahwa selama kita masih mau mengintrospeksi diri, maka kita dapat menemukan beraneka alasan untuk kembali meneruskan perjuangan. Walaupun terkadang, jalan yang kita tempuhi berlubang, berbatu, berkerikil tajam yang menusuk. Semoga, ada kesediaan hati untuk kembali memberikan sebaris jawaban, saat pikir menanyai, “Mengapa engkau masih di sini?”

Kita tidak pernah tahu tentang bagaimana kisah yang akan kita jalani selanjutnya. Namun, berbekal kepercayaan kepada rukun iman yang jumlahnya enam, maka kita dapat menjalani hari dengan sepenuh hati.

  1. Beriman kepada Allah
  2. Beriman kepada malaikat-malaikat Allah,
  3. Beriman kepada kitab-kitab Allah,
  4. Beriman kepada Rasul-Nya
  5. Beriman kepada hari akhir
  6. Beriman kepada qada dan qadar

Kesan ke tujuh tentang perpisahan yang telah terjadi, mengingatkan diri ini pada satu hari yang pasti terjadi. Hari perpisahan yang tidak dapat lagi kita tolak walau dengan alasan apapun juga. Hari pasti yang merupakan pengingat diri, agar ia segera menyadari, tidak selamanya kita mengalami keadaan demi keadaan ini. Kalau saat ini kita bertemu, bersama dan kemudian menjalani hari dengan senang hati, akankah kita yakin dapat kembali mengiringi kebahagiaan sampai nanti?

Bagaimana kita menyadari tentang silih bergantinya cuaca dan iklim dalam hari-hari? Dapatkah kita meluaskan cara pandang akan beraneka kesan, pesan, dan kenangan yang kita alami saat ini? Bagaimana kita memberikan tanggapan atas segala pinta diri, ketika yang terjadi malah sebaliknya. Ya, bukan seperti itu yang sesungguhnya kita ingini. Kita maunya hal yang berbeda. Kita inginnya yang lain. Kita bisanya apa, tanpa pertolongan dari-Nya?  Wahai diri, . . .

Tanggal delapan belas, adalah hari ini. So, apakah yang telah kita lakukan pada hari ini? Bagaimana kita memanfaatkan waktu terbaik yang kita temui pada hari ini? Bagaimana kalau hari perpisahan yang pasti, menemui kita segera? Sudah maksimalkah persiapan kita dalam menyambutnya? Bukankah kita tidak pernah tahu, tentang rencana Ilahi? Jalanilah detik demi detik waktumu dengan sepenuh hati, nikmati hadirnya dengan melakukan yang terbaik, setelah itu, engkau dapat menyaksikan hasil yang terbaik.

Sembilan gelembung yang ada di dalam gambar di atas, untuk mengingatkan diri ini, tentang sembilan hasil kontemplasi setelah lebih dari dua hari belum lagi ngeposting di sini. Xixiixxixiii…. 😀 Adapun hasil kontemplasi yang ke sembilan adalah tentangmu yang saat ini sedang membaca catatan ini. Tolong maklum dan mengerti atas segala yang tercipta. Karena bait-bait yang ada, merupakan pengingat kita untuk segera mengingat akan hari perpisahan yang abadi. So, bukan saatnya lagi mentangisi perpisahan, baiklah kita mengambil sebuah catatan untuk kita tulisi. Lalu, kita beraikan apa yang sedang kita alami tentang satu kata ‘Perpisahan’, di dalamnya.  Setelah itu, baca kembali apa yang telah kita tulis, dengan wajah yang berseri-seri.

Wahai hati, kita sedang memprasastikan salah satu kesan dalam kehidupan. Ia telah menjadi prasasti. Ia ada untuk menjalankan misi yang pernah kita rangkai sebelum saat ini,

“Mempelajari, menghayati, menikmati alam dan mengabadikan hasil yang diperoleh dalam bentuk catatan-catatan sebagai prasasti eksistensi, menciptakan kedamaian setiap detik waktu dalam menjalani hari, menjalin keakraban dalam berinteraksi dengan alamNya, mengaplikasikan hasil yang telah diperoleh selama masa pembelajaran dalam keseharian.”

For, Nai… specially, “Tersenyumlah sayang… karena engkau sedang berbagi.”

Bukankah berbagi itu adalah aktivitas yang sangat menyenangkan, teman. Dan catatan saat ini, tercipta karena saya ingin membagikan segala yang sedang menari-nari di dalam pikiran, sebelum ini. Alhamdulillah, sekarang rasanya lebih ringan. Semoga ada manfaatnya, walaupun secuil hikmah, yaa.

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on March 18, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , , ,

Secepat Itukah?

Warna yang berbeda

Warna yang berbeda

Lantunan ayat-ayat penyejuk jiwa, sedang ia simak dengan maksimal. Al ma’surat sore, menyelingi deru gemuruh yang menyentakkan jiwanya, segera. Lalu, mengalirlah tanya dari bibirnya yang sedari tadi mengatup, “Secepat itukah?”.  Ia menanya pada sesosok wajah yang sedang duduk di hadapannya, yang segera mengangguk.

Belum selesai kisah yang sedang kita rangkai. Hari ini kita masih ada di bumi, untuk mengabadikannya satu persatu. Baik, kalau memang ini yang engkau pilih. Seyakin-yakinnya engkau, teruslah menjadikannya bermakna. Karena engkau bisa, teman.

Tidak banyak lagi kata yang mampu ia suarakan. Hanya beberapa patah kata yang sempat ia susun, mengalir dengan lembutnya. Setelah itu, ia pun tertunduk. Diam, mengikuti alur pikiran yang menggantikan peran suara. Ia sedang menyelami lautan kehidupannya saat ini. Bukan ia tidak mau meneruskan pandangan mata yang semulanya menjadi jalannya menatap dunia. Namun, memang inilah yang telah ia putuskan. Banyak yang menyayangkan apa yang ia pilih. Semoga menjadi yang terbaik, untuk semua.

Masih kelu, tanpa suara. Ia menekur, teruskan pikiran yang sedang menerawang. Buat apa semua ini ada? Apakah hikmah yang sedang ia bawa?

“Tidak banyak waktu yang kita punya, mari kita mengabadikannya dalam catatan hari ini, teman,” ajaknya pada beberapa sahabat yang sedang memperhatikannya sedari tadi.

Beberapa perlengkapan telah ia siapkan. Tetesan rasa sedang memancar. Titik-titik imajinasi, sedang mengendalikan apa yang sedang ia pikirkan. Berlama-lama dalam kondisi sebelum ini, bukanlah tujuan kita ada di sini. Sekehendak jiwa memberaikan apa yang ia mau. Semaunya menyampaikan apa yang ia tahu. Sekiranya masih ada yang perlu kita selesaikan, baiklah kita menyelesaikannya lebih segera. Karena tidak pernah kita mengetahui tentang waktu yang sedang kita jalani saat ini. Akankah kita dapat berjumpa lagi setelah kebersamaan ini? Bukankah waktu bergerak sungguh melesat. Apakah yang dapat kita perbuat dalam kesempatan yang hanya sesaat?

Tidak perlu lagi mengajukan banyak tanya, ia segera melipat suara. Karena anggukan di seberang sana, telah menjelaskan semuanya.

“Iya, semoga engkau mengerti,” begini jawaban yang ia terima atas tanya yang  tadi ia ajukan.

“Bukankah kita hanya dapat berencana, sedangkan Kehendak-Nya adalah penenang terbaik. Apabila ada dari rencana kita yang belum menjadi nyata,” barisan kalimat berikutnya, menyentuh dinding hatinya. Ia simak dengan sepenuh hati. Ia belajar memahami atas bahan ajar yang baru saja ia terima.

“Kalau memang engkau yakin dengan segala yang engkau pilih, teruskan saja. Karena saya yakin, engkau dapat menentukan bagaimana yang seharusnya engkau jalani. Namun, satu hal yang tidak boleh engkau abaikan adalah tentang peran tunggal Sang Pemilik Keputusan. Engkau perlu menyadari akan hal ini, segera. Ketika nanti engkau mengalami hal-hal yang berada diluar rencanamu. Ok?,” dengan nada meyakinkan, ia bangkit. Ia layangkan pandangan sangat jauh ke hadapan. Ya, keberadaannya kini, sangat cocok untuk meneruskan pandang. Karena tepat di hadapannya ada hamparan pemandangan yang luas membentang. Di ujungnya, terlihat jejeran pegunungan yang tidak terlihat jelas, memang. Nuansa alam yang penuh dengan kesejukan. Angin bersemilir, segera memberikan bukti bahwa mereka ada bersamanya.

“Saya memang bukan siapa-siapa bagimu, namun satu kesan yang kita jalani dalam kebersamaan ini, membuat rasa hati awalnya sangat berat untuk melepasmu. Baiklah saya mengatakan hal ini, agar engkau tahu tentang apa yang sedang bersemayam di dalam jiwaku ini. Agar engkau pun mengerti akan makna kehadiranmu bagi diri ini. Agar engkau dapat menemukan di bagian mana posisimu di sini,” Ia menyentuhkan telapak kanannya ke dada. Setelah itu, bibirnya kelu. Ia tidak mampu berucap lagi. Sedangkan permata kehidupan, segera bertebaran membasahi kedua pipinya yang pualam.

Tetesan bening mutiara kehidupan masih tersisa, menganak sungai. Ia tidak dapat membendungnya. Banjir yang tercipta seketika, membuat sosok yang sedang duduk di hadapannya, mengalihkan pandang. Kemudian, ia berdiri, melangkah pelan ke arah kanan. Kedua tangannya sedang bersatu di belakang. Ia sungguh rupawan, dalam langkah-langkahnya yang sedang tidak tegap begini.

Siapakah sosok tersebut?

Kalau melihatnya dari arah belakang, kita tidak akan pernah tahu tentang siapa beliau. Karena, kostum yang ia pakai sedang menutupi sekujur tubuhnya. Pakaian yang longgar, membuat lekukan pada tubuhnya tidak terlihat sama sekali. Ditambah lagi dengan selembar mantel yang sedang ia kenakan. Mantel bulu yang lucu, warnanya putih. Ai! Sosok tersebut sangat suka dengan warna putih. Karena baginya, warna putih identik dengan kebersihan. Warna putih terlihat penuh dengan kecerahan. Bening tanpa warna. Ya, seperti hari ini yang sedang ia alami. Ada putih menyelingi sebagian waktunya.

“Lalu, maukah engkau menitipku bait-bait pesan, sebelum waktu itu datang?,” ia beranikan diri untuk menyampaikan pinta pada sosok yang saat ini sedang berdiri membelakanginya.

“Agar dapat saya menjadikannya sebagai prasasti terindah darimu. Sebagai jalan bagi kita dalam merangkai kisah bersama untuk memanfaatkan kesempatan di sisa-sisa kebersamaan ini. Saya ingin ia ada. Agar ia dapat menjadi kenangan tentangmu. Agar prasasti yang tercipta setelah saat ini, dapat menjadi pengingatku padamu. Maukan?,” ia meneruskan kalimat berikutnya, berisi pengajuan, meminta persetujuan.

Sang sosok tersenyum. Kemudian membalikkan badannya seratus delapan puluh derajat dari posisinya semula. Terlihat mereka sedang berhadapan. Senyumannya semakin lebar, ketika ia menyaksikan, wajah yang sedari tadi bertaburan bulir-bulir bening, menatapnya penuh. Di selembar wajah pualam, juga ada senyuman.

Ia tangkupkan kedua telapaknya, kemudian membawanya lebih tinggi. Telapak yag menangkup, sedang berdiri di depan wajahnya. Senyumannya makin mekar. Senyuman yang menandakan persetujuan, meskipun belum ada suara yang ia ucapkan.

***

Berulangkali, saya mengalami bagaimana rasanya ditinggalkan. Ai! Sungguh haru, sendu, menyentuh ruang hati ini, teman…. Hiks. Beberapa waktu yang lalu, terjadi lagi perpisahan. Yah, salah seorang sahabat kami yang menjalani waktu bersama, ingin meneruskan langkah-langkah perjuangannya, tidak lagi di sini. Saya yang baru mengenalnya beberapa bulan saja, sungguh tertohok. Ada seberkas jejak yang ia selipkan pada ruang hati ini. Ada sejumput harapan yang ia bawa, untuk ia tebarkan dalam menjalani hari-hari. Ada sebentuk pinta yang saya titipkan pada beliau juga. Beberapa saat setelah beliau datang.

Siang yang begitu terik, memang. Saat saya menerima sebuah informasi. Bahwa akan ada di antara kami yang akan melangkah dari sini. Awalnya, saya belum terlalu yakin atas keputusan yang beliau ambil. Namun, setelah menanyakan langsung kepada yang bersangkutan, ternyata benar. Beliau tidak akan lagi di sini, bersama kami. Ini berarti, akan terjadi jarak yang membentang di antara kami. Raga yang selama ini berjarak cukup dekat, hari ini telah berjarak sungguh panjang. Ai! Sepanjang waktu yang sedang kami jalani saat ini, hingga pada waktu-waktu yang akan datang setelah saat ini, sejauh itulah jarak yang membentang di antara kami.

Ada sebuah sapa yang terhadirkan dari ruang jiwa, pada beliau di sana. Sapa yang menandakan bahwa keberadaan beliau sangat berharga. Walaupun tidak lama, dalam nyata.

Ada sudut jiwa yang menggemuruh, ketika ia menerima kabar tentang perpisahan. Walaupun sebenarnya, hanya raga. Sedangkan jiwa-jiwa kita telah lama bersama, meskipun belum pernah bertatap sekalipun. Dengan keyakinan ini, akhirnya saya kembali tenang. Yes! Putusanmu adalah yang terbaik untuk saat ini dan nanti, teman. Selamat melanjutkan langkah. Selagi kita masih dapat saling mengingat, maka selama itu pula kita sedang bersama. Karena kebersamaan yang telah tercipta, akan selamanya ada di dalam ingatan kita.

Ini untuk ke sekian kalinya, saya menyampaikan kabar tentang perpisahan. Perpisahan raga dalam jarak yang tidak lagi sedepa. Akankah kita dapat kembali jumpa, wahai sosok berkacamata? Hahaha… siapakah engkau yang baru-baru ini meninggalkan kami?  😀

Yah! Saya sangat berkesan dan terkesan dengan keputusan yang telah engkau ambil. Sehingga sekata dua kata dari kesan yang menyelip di relung hati ini, mampir pula ke mari. Agar ia abadi dan memprasasti, itu saja. Semoga ia dapat menjadi jalan yang mengingatkan kita satu sama lainnya, yaa. Semoga engkau dapat menemukan jalan baru yang lebih menawan untuk engkau tempuhi dalam meneruskan langkah perjuangan. Agar, banyak cita yang telah engkau patri di ruang hari-harimu, dapat tercapai dengan berhiaskan aneka kemudahan. Walaupun tidak lagi di sini, semoga saya masih dapat mengetahui bagaimana perkembanganmu.

“Baik, semangat dan sukses, yaa…,” begini bunyi sebaris kalimat yang mampu saya ungkapkan, pada detik-detik sebelum beliau berangkat. Buat beliau, sosok berkacamata. Ai! Bapak Ade, terima kasih atas perannya, bantuan dan kerjasamanya selama kita bersama. Walaupun tidak lama kesempatan yang dapat kita manfaatkan, namun ia sangat berharga. Walaupun belum banyak kenangan yang terangkai atas kebersamaan ini, namun beberapa diantaranya pasti ada.

Berikut ini adalah bait-bait harapan yang menjadi kenangan di relung jiwaku.  Hasil dari kontemplasi bertemakan perpisahan dengan beliau, salah seorang teman berbagi saat menjalani aktivitas. Agar ia ada, baiklah menetes di salah satu catatan ini…

Saat kehadiranmu untuk pertama kali, satu kesan yang saya ingat adalah tentang senyuman. Senyuman yang menebar dengan mudahnya dari helai wajahmu, semoga senantiasa ada yaa. Tersenyumlah dalam menjalani hari, walau bagaimanapun warnanya. Karena dengan tersenyum, kita dapat membuat hari bermendung menjadi berseri-seri. Buktikanlah!

Kedua, adalah tentang semangat berbagi. Engkau yang seringkali saya repoti dengan pertolongan-pertolongan, dengan titipan-titipan dan permintaan-permintaan, semoga merelai. Apabila ada di antara ucap bibir ini yang terkesan dan sampai ke hati, tolong maafkan yaa. Tanpa garansi!

Sebelumnya, saya senang saat ada tiga orang sosok baru yang hadir dalam kehidupanku untuk menjalani hari. Beliau yang akan menjadi bagian dari hamba-hamba-Nya. Dan salah seorang dari ketiga sosok tersebut adalah engkau. Namun kini, engkau telah menjauh, pergi. Semoga beliau berdua yang saat ini masih ada, dapat memberikan bukti, tanpa janji!

Selama empat hari, saya belum lagi mau menulis di sini, hingga akhirnya catatan hari ini tercipta. Karena, saya sedang merenungi akan keberadaan diri. Bagaimana dengan saya? Apakah akan mengambil keputusan yang senada? Seperti engkau yang terlebih dahulu telah memutuskan untuk melangkah pada jalan yang lain. Ai!

Paragraf ini adalah kesan ke lima dari hasil perenungan yang terjadi, yaitu tentang kerelaan hati untuk mengabdi, tentang loyalitas dan kesetiaan. Saya ingin memberikan bukti, bahwa selama kita masih mau mengintrospeksi diri, maka kita dapat menemukan beraneka alasan untuk kembali meneruskan perjuangan. Walaupun terkadang, jalan yang kita tempuhi berlubang, berbatu, berkerikil tajam yang menusuk. Semoga, ada kesediaan hati untuk kembali memberikan sebaris jawaban, saat pikir menanyai, “Mengapa engkau masih di sini?”

Kita tidak pernah tahu tentang bagaimana kisah yang akan kita jalani selanjutnya. Namun, berbekal kepercayaan kepada rukun iman yang jumlahnya enam, maka kita dapat menjalani hari dengan sepenuh hati.

  1. Beriman kepada Allah
  2. Beriman kepada malaikat-malaikat Allah,
  3. Beriman kepada kitab-kitab Allah,
  4. Beriman kepada Rasul-Nya
  5. Beriman kepada hari akhir
  6. Beriman kepada qada dan qadar

Kesan ke tujuh tentang perpisahan yang telah terjadi, mengingatkan diri ini pada satu hari yang pasti terjadi. Hari perpisahan yang tidak dapat lagi kita tolak walau dengan alasan apapun juga. Hari pasti yang merupakan pengingat diri, agar ia segera menyadari, tidak selamanya kita mengalami keadaan demi keadaan ini. Kalau saat ini kita bertemu, bersama dan kemudian menjalani hari dengan senang hati, akankah kita yakin dapat kembali mengiringi kebahagiaan sampai nanti?

Bagaimana kita menyadari tentang silih bergantinya cuaca dan iklim dalam hari-hari? Dapatkah kita meluaskan cara pandang akan beraneka kesan, pesan, dan kenangan yang kita alami saat ini? Bagaimana kita memberikan tanggapan atas segala pinta diri, ketika yang terjadi malah sebaliknya. Ya, bukan seperti itu yang sesungguhnya kita ingini. Kita maunya hal yang berbeda. Kita inginnya yang lain. Kita bisanya apa, tanpa pertolongan dari-Nya?  Wahai diri, . . .

Tanggal delapan belas, adalah hari ini. So, apakah yang telah kita lakukan pada hari ini? Bagaimana kita memanfaatkan waktu terbaik yang kita temui pada hari ini? Bagaimana kalau hari perpisahan yang pasti, menemui kita segera? Sudah maksimalkah persiapan kita dalam menyambutnya? Bukankah kita tidak pernah tahu, tentang rencana Ilahi? Jalanilah detik demi detik waktumu dengan sepenuh hati, nikmati hadirnya dengan melakukan yang terbaik, setelah itu, engkau dapat menyaksikan hasil yang terbaik.

Sembilan gelembung yang ada di dalam gambar di atas, untuk mengingatkan diri ini, tentang sembilan hasil kontemplasi setelah lebih dari dua hari belum lagi ngeposting di sini. Xixiixxixiii…. 😀 Adapun hasil kontemplasi yang ke sembilan adalah tentangmu yang saat ini sedang membaca catatan ini. Tolong maklum dan mengerti atas segala yang tercipta. Karena bait-bait yang ada, merupakan pengingat kita untuk segera mengingat akan hari perpisahan yang abadi. So, bukan saatnya lagi mentangisi perpisahan, baiklah kita mengambil sebuah catatan untuk kita tulisi. Lalu, kita beraikan apa yang sedang kita alami tentang satu kata ‘Perpisahan’, di dalamnya.  Setelah itu, baca kembali apa yang telah kita tulis, dengan wajah yang berseri-seri.

Wahai hati, kita sedang memprasastikan salah satu kesan dalam kehidupan. Ia telah menjadi prasasti. Ia ada untuk menjalankan misi yang pernah kita rangkai sebelum saat ini,

“Mempelajari, menghayati, menikmati alam dan mengabadikan hasil yang diperoleh dalam bentuk catatan-catatan sebagai prasasti eksistensi, menciptakan kedamaian setiap detik waktu dalam menjalani hari, menjalin keakraban dalam berinteraksi dengan alamNya, mengaplikasikan hasil yang telah diperoleh selama masa pembelajaran dalam keseharian.”

For, Nai… specially, “Tersenyumlah sayang… karena engkau sedang berbagi.”

Bukankah berbagi itu adalah aktivitas yang sangat menyenangkan, teman. Dan catatan saat ini, tercipta karena saya ingin membagikan segala yang sedang menari-nari di dalam pikiran, sebelum ini. Alhamdulillah, sekarang rasanya lebih ringan. Semoga ada manfaatnya, walaupun secuil hikmah, yaa.

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on March 18, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , , ,

Hadiah Terindah Adalah Kehadiran

Hehee...
Estafet; the best of my believe

No more, no more hope except that Allah…

Nothing, nothing happen without Allah…

No one, no one help but Allah…

Now, now only Allah…

 

Allah. Adalah satu kata penegasan yang menjadi awal rangkaian catatan pada hari ini. Yes! Catatan ini sedang menuju angka judul ke tiga ratus sembilan puluh satu. Dari total catatan sebanyak empat ratus empat puluh judul dengan isi yang mesti lebih dari dua ribu dua belas karakter ini, ia hitung mundur. Mundur… mundur… satu judul, untuk maju. Pada kesempatan terbaik ini, catatannya bertemakan tentang bagaimana suasana yang sedang dialami oleh seorang insan yang sedang menata jiwa. Lara, duka dan hampa, adalah kondisi yang sedang ia alami pada saat merangkai catatan hariannya, saat ini. Meskipun ada tetesan airmata yang menyelimuti ruang jiwanya, namun bersama harapan yang tinggi, ia kembali mau melanjutkan langkah-langkah untuk membuktikan eksistensi, bahwa ia ada pada hari ini.

Bagaimana kabarmu teman? Semoga engkau sedang berbunga-bunga bahagia sentosa dan sejahtera yaa… Usah ikut terlarut bersamanya, karena ia sedang mengungkit rasa. Itu saja. Mari kita mengikuti perjalanannya, yuuuuks..?!  Mari kita menatapnya. Kalau-kalau terjadi apa-apa dengannya, maka kita segera siap untuk memberikan pertolongan terbaik, padanya. Bagaimana, teman?

***

Untuk berehat sejenak dari perjuangan, ia perlu mempertimbangkan lebih lama lagi. Mikir dulu sebelum melakukannya.

Untuk kembali berbalik ke awal mula melangkah, ia tidak akan pernah melakukannya. Karena perjuangannya sedang dalam masa puncak. Ai! Menguras tenaga sajakah? Atau bersama luka yang sedang menembus lembut jiwanya, pula? Apakah yang dapat ia lakukan untuk mengembalikan ingatannya yang sebelum ini pergi sejenak? Ingatan yang sedang mencari jawaban dari berbagai rasa yang menerpa ruang jiwa. Jiwa yang ia hanya ingin menjaganya. Jiwa yang ia bawa menjadi sahabat. Jiwa yang kembali mau memberikan senyuman, meski awalnya sulit. Ia kembali menitikkan bulir permata kehidupan.

Azan Isya berkumandang dengan syahdu. Ketika itu, ia sedang melangkah, berjalan, menelusuri sisi alur kehidupan. Menjelang pukul delapan malam, teman. Ia meneruskan perjuangan dengan persediaan energi yang telah ia pakai seharian. Hanya beberapa langkah perjalanan, ia membaca sebuah pesan, yang intinya, “Festival tidak jadi berlangsung.” Padahal, sebelumnya ia telah membayangkan akan berada pada suatu pesta yang megah, mewah dan meriah. Pesta yang menjadi jalan baginya untuk tersenyum lebih indah pada masa-masa berikutnya. Tujuan masih sama, untuk meneruskan langkah menuju bahagia. Namun, adakah ia telah memulai dengan niat yang baik? Ini yang perlu kita pertanyakan. Buktinya, masih ada luka dan sebentuk kecewa yang ia rasa atas berita yang ia baca pada pesan tersebut. Ai!

Melangkah ketika alam telah gelap, gulita, sunyi dan tanpa penerangan yang memadai, bukanlah kondisi yang ia suka. Ya, karena ia sangat takuuuuuuuut aslinya, berjalan di tengah malam. Sure, perempuan adalah ia. Jadi, dapatkan engkau membayangkan teman, bagaimana pikiran yang sedang ia bawa? Ia yang tercipta dengan lebih banyak memakai perasaan daripada logika, merasakan takut berjalan sendirian, hanya raga. Saat itu, pikirannya sedang melayang ke udara. Entah kemana ia hinggap. Tidak dapat terdeteksi, sebelum akhirnya ia pun kembali lagi ke istana hatinya.

Alhamdulillah, bertepatan saat untuk menemui-Nya telah datang. Meskipun hati panas, namun pikiran perlu tetap sejuuuk, do you agree me? Hohooo… 😀

Ia sedang merasakan panas yang membara jiwa. Ia terluka, jiwanya  periih. Masih adakah persediaan perban  yang akan ia gunakan untuk membalutinya? Apakah ia masih mampu membersihkan sisa-sisa pedih yang apabila disentuh, akan semakin menyakitkan. Sembilu melukai tanpa memberi kenangan berupa bekas. Hanya perih, kemudian perih, dan terluka. Wah! Gawat!  

Berwudu adalah aktivitas yang pertama kali ia lakukan. Setelah membuka pintu gerbang istana hatinya, kemudian masuk ke sana. Ia perlu membasuh wajahnya segera. Agar, kesegaran kembali ia rasakan. Lalu, sudahkan ia berniat sebelumnya? Buat apa ia melakukan semua? Wiiiits, kesia-siaan adalah pembuka jalan kesia-siaan berikutnya. Ingatkah kita tentang makna hadirnya waktu, teman? Ia yang bergerak engga pelan, namun secepat kilat menyambar dinding hari kita. Ia yang telah menyapa, tidak akan kembali lagi. Waktu yang saat ini sedang kita bersamai, akan meninggalkan pesan, kesan dan atau kenangan untuk kembali kita perhatikan dengan baik, pada waktu setelah ini. Lalu, bagaimanakah kita memanfaatkan kesempatan berupa waktu yang sekarang? Sudahkah kita menggunakannya untuk kembali mengintrospeksi diri, sebelum akhirnya menyalahkan orang lain? Atas berbagai harapan yang belum menjadi kebutuhan. Untuk beraneka pinta yang masih dalam impian. Apakah kita sudah mengembalikannya kepada diri kita terlebih dahulu, sebelum akhirnya kita melemparkan sang harapan, menitipkan pinta, pada beliau di sana. Sudahkah?

Setetes air yang menempel pada pipi-pipinya, belumlah cukup untuk mengungkapkan semuanya. Adalah kelegaan akan ia rasakan, setelah mengalirkan lebih banyak lagi air pada selembar wajah yang masih belum mau tersenyum. Karena ia terluka, ini alasannya. Hingga akhirnya, ia temui wajahnya yang sedang memfokuskan tatap. Tatap yang sedang memberikan perhatian pada bagian terdepan saja. Hingga terlihat matanya seakan bertaut. Alis-alisnya sudah melekat erat. Mereka sedang berakraban. Sedangkan hidungnya, menjadi lebih langsing. Hidung yang awalnya berada pada posisi penuh ketenteraman, kini berjuang keras untuk menunjukkan siapa ia. Hidung yang maju beberapa sentimeter ini, membuat mulutnya pun ikut-ikutan ke depan. Ia bilang, kondisi yang demikian adalah manyun. Right?

Salah siapa yang menautkan kedua alis. Ingin siapa mempertemukan kedua mata, hingga ia menjadi akrab. Maunya siapa, mempertunjukkan keseksian hidung saat ia maju beberapa sentimeter? Siapa yang melakukan permanyunan pada bibirnya? Itu tandanya ia sedang berekspresi. Inilah aku yang sedang berpikir. Menemukan kembali pikiran yang semula bepergian, memang membutuhkan konsentrasi, teman. So, jangan biarkan pikiran kita melayang, terbang, kalau kita tidak ingin dikuasai oleh keadaan. Yes! Menjaganya tetap ada merupakan pilihan. Apakah yang dapat kita lakukan bersamanya?

Akal bersama pikiran yang Allah titipkan kepada kita adalah nikmat, karunia terindah dari-Nya. Adalah anugerah berupa pikiran, hanya Allah titipkan kepada kita, sebagai makhluk ciptaan-Nya. Bersama pikiran yang sedang kita bawa, apa yang mampu kita upaya? Saat rasa menggulung seluruh ruang kesadaran kita. Ketika makna yang tersirat dari sebuah kejadian, masih kita upaya untuk menemukan. Apakah kita tiba-tiba berkata, “Aku bisa!.”

Dengan kesadaran penuh, kitapun mencari solusi yang dapat kita lakukan. Ada Allah disekitaran. Ia bahkan sangat dekat dengan diri kita, lebih dekat dari urat leher yang sedang menempel dengan eratnya. Ya, sentuhlah leher kita meski untuk beberapa lama, rasakan disana ada denyutan. Leher bagian kanan, dan bagian kiri sebelah dalam.

Segera, temukan kehidupanmu, teman. Hari ini masih ada. Bersama engkau yang sedang bersamanya, ia sedang memesankanmu seputik hikmah. Dapatkah engkau merawatnya hingga menjadi buah pengalaman? Pohon kehidupanmu ada di halaman depan tempat engkau bersinggah. Bersama pohon tersebut, ada dedaunan yang kehijauan. Ia sedang berputik, menuju masa menjadi buah. Apakah engkau ingin memetiknya ketika ia masih begitu belia, muda dan masih belum bisa diapa-apain? Bagaimana kalau engkau kecewa, karena menemukan kenyataan bahwa putik yang engkau petik, engga dapat engkau santabp. Piuh…! Pahit? Atau tanpa rasa?

Serta merta menyalahkan keadaan, tanpa memberikan pikiran untuk mengambil peran, akan membuat kita bersesalan. Apakah akan ada senyuman, ketika kondisi yang demikian mendekati sedetik waktu yang sedang kita jalani? Bagaimana cara untuk menetralisir keadaan? Bagaimana kesungguhan kita dalam menata beban yang saat ini ada di pundak? Ia berat. Sedangkan kita pelan pelan berkata, “Aku keberatan.”

Bukankah kita mempunyai pusat harapan? Lalu, ketika harapan masih menyala dengan benderang sinar kebaikan, dapatkah kita tersinari oleh sinar tersebut? Bukankah tiada yang terjadi dengan kesia-siaan, tanpa hikmah yang mempengalamankan? Agar kita tidak bersegera melakukan apapun yang kita inginkan. Kalau itu akhirnya akan menyakitkan, kalau keadaan yang serupa kita alami pula. Apakah kita memberikan perhatian pada hal yang satu ini?

Keinginan yang hanya keinginan, tinggalkanlah. Pastinya bukan kebutuhan kita, kalau keinginan tersebut belum menjadi kenyataan.  Bersabarlah teman. Kebutuhanmu pasti terpenuhi, meskipun berliku jalan sedang engkau tempuhi. Untuk dapat menemukan apakah segala sesuatu adalah kebutuhan? Kita perlu menyadari terlebih dahulu.

Festival yang tidak jadi berlangsung, bukanlah kebutuhannya. Ia pun menitikkan airmata lebih banyak lagi. Di dalam sujud panjangnya, ia mengungkapkan semua. Ia tersedu, tenggelam dalam sungai kehidupan yang ia ciptakan sendiri. Menangis, ia menangis meskipun tanpa suara. Apakah betul, niatnya belum pas atau masih pas-pasan?

Kembali ia bersujud untuk kesekian kalinya. Dalam kondisi demikian, sangat mudah baginya untuk mengumbar perasaan. Ia terisak, tertahan. Untuk meneruskan apa yang menggumpal pada jiwanya. Agar gumpalan itu meluber, mencair, bersama tetesan air yang menetes kemudian membanjir. Kembali ia bersujud, dalam rakaat salatnya yang ke-empat. Apakah ia belum menemukan jawaban, setelah permata kehidupan itu mengurai tanpa pernah merasa kehabisan? Stoknya masih banyak. Buang-buang saja sebagian. Niscaya engkau temukan kelegaan. But, jangan kelamaan teman. Apakah engkau yakin, bahwa ini tidak berlebihan…? Mubazir kaan? Pikirkanlah.

 

Dalam sujud-sujud panjangku,

Ku menemukan harapan,

Masih ada sumber kehidupan,

Allah…,

Kepada-Nya ku memohon pertolongan,

Kedekatan, keakraban, kelekatan yang selama ini ia rasakan, kembali membuka celah. Ia menemukan dari sana ada penerangan. Dari celah yang membuka. Matanya masih sipit, pada mulanya. Hingga, silau cahaya yang menerpanya semakin dekat. Ia pun menempelkan punggung jemarinya pada sisi kanan alisnya. Agar cahaya itu tidak sampai menembus  bola matanya yang masih terus menatap. Ia ingin tahu, ada apa di sana? Dari manakah sumber cahaya itu? Ia masih mencari tahu. Ia tidak sedikitpun mengedipkan matanya. Ia tidak ingin kehilangan moment. Karena ia yakin, waktu yang sedetik saat ini sangatlah berharga. Bukankah ia tidak, sangat tidak menyukai berjalan di tengah gelap, gulita tanpa cahaya? Lalu, bagaimana dengan siluet cahaya yang menerpa hingga ke matanya? Apakah ia tidak dapat menangkap pesan dari kehadiran cahaya?

Percayalah teman, gelap dan gulita tidak selamanya ada. Setelah malam akan ada sinar mentari esok hari. Itupun kalau tidak hujan, gerimis ataupun ia benar-benar sedang menguji kesabaran insan. Yakinlah, ia ada walaupun tanpa sinar yang nyata. Ketika engkau menamai hari dengan pagi, engkau dapat menemukan lagi jalan yang sebelumnya engkau pandangi. Walaupun butuh jeda waktu bernama dini hari untuk dapat menemuinya.

Apakah engkau tidak yakin dengan beraneka kisah yang telah engkau lalui sebelum akhirnya engkau sampai pada hari ini? Bagaimana engkau menjalani semua itu? Ketika tanpa engkau sadari, tiba-tiba engkau telah mengalami segala yang masih serasa mimpi. Apakah engkau tidak meyakini akan peran tunggal yang sedang memberikan bukti? Bahwa benar, Allah ADA bersama kita.

Dapatkah engkau menemukan kembali catatan-catatan silammu? Ketika engkau pernah menduga ia sedang terjadi? Bagaimana dengan semua yang pada waktu itu masih belum engkau jalani, akan tetapi jelas sekali di hadapan matamu yang menatap. Namun kini, semua itu bukan hanya hayalan apalagi mimpi. Kalaupun engkau masih merasa ia sebagai mimpi, maka bagaimana kalau kita melanjutkannya di sini? Yuuuks, kita menemukan keindahan yang lebih indah lagi.

Saya masih ingat, dengan sebuah catatan yang pernah ada pada masa silam. Catatan yang ada karena beliau yang sedang menangis tadi, pernah mencatatnya.  Catatan yang masih ada saat ini, bersama kami. Karena kami tidak lupa membawanya serta, sebelum keberangkatan kami, beberapa tahun yang lalu. Hingga lembaran buku yang telah mulai berubah warna pun sampai ke kota ini. Sebuah diari masa lalu. Hup! Before I give my speech I had better have a little brushup on my subject.

Sebuah catatan dari hati. Xixiixiii. Hati. Bagaimana cara menata hati? Panjaaaaaaaaaaaaang waktunya teman. Langkah-langkah yang kami tempuhi, sungguh banyak sekali. Catatan-catatan yang kami rangkai untuk menatanya, sangat banyak. Apakah engkau ingin mengetahui beberapa bait dari langkah-langkah tersebut? Langkah-langkah yang telah mewujud catatan. Catatan yang memprasasti. Ia pun ingin mengeksiskan diri lagi, saat ini, di sini. Setelah sebelumnya, kalau engga salah, saya pernah pula menitipnya pada lembaran maya ini. Namun, kapan dan dimana, yaa?

Let’s, help me to find it, cry baby… (buatmu yang lagi terluka. Cengeng amat yaaa…. Gitu aja nangis).  Yuuks kita senyum dulu… 😀

Catatan yang mengingatkanku pada kekuatan dan keyakinan. Yes! Engkau kuat teman. Catatan yang ia tulis pada awal hari, sebelum waktu Dhuha menepi. Tepatnya enam belas Juli tahun dua ribu lima yang lalu.  Ya, begini bunyinya:

Sudah begitu terlambatkah aku untuk berbuat?

Tidak adakah jalan terbuka untukku melaksanakan niatku? Sudah begitu jauhkah keterlambatan itu? Udah tidak adakah orang yang mau membantu?

Pikirku… masih ada. Tapi dengan cara apa?

Sekarang…

Aku bingung.

Harus kemana? Mengapa?

Apa yang harus aku perbuat.

Tidak adakah lagi celah bagiku, untuk bisa menyelinap dan memasuki ruangan yang selama ini aku harapkan? Tak adakah lagi seberkas sinar yang mampu dan mau memberi petunjuk?

Mengapa?

Aku pengen sekali.

Aku ingin bergabung dengan mereka.

Berkumpul dan ikut menjadi pelaku kegiatan di lingkungan tersebut. Ya, aku ingin sekali. Sangat ingin.

Aku merasa sudah tersisih dari kegiatan itu. Akankah aku dapat menerobos dinding pemisah ini? Akankah ada kekuatan yang bisa membantuku untuk menuju ke sana? Akankah ada?

Ya!

Mereka yang sangat bisa.

Mereka yang memiliki andil di dalamnya.

Akankah mereka mau membuka sedikit peluang bagiku untuk bergabung. Bergabung dan ambil bagian di kehidupan dan kegiatan seperti mereka.

Teman…

Ku cemburu padamu!

Ya!! Terus terang kukatakan. Aku cemburu dengan kalian. Mengapa kalian bisa. Tapi aku tidak bisa! Oh tidak! Tidak mau!

Aku tak ingin mengalah. Aku ingin seperti kalian juga.

Tapi belum terlambat bukan?

Ku ingin seperti kalian, teman!

Aku ingin berhasil juga.

Aku ingin terus belajar, berbuat dan berpikir.

Aku sangat cemburu pada kalian. Justeru karena itu, aku tak ingin ketinggalan dari kalian.

Walau aku tak punya uang, tapi aku berniat di hatiku ini dan aku bertekad tak akan mundur sampai di sini. Aku akan tetap yakin padaNya. Aku akan tetap berdoa dan berusaha. Semoga DIA mengabulkan keinginan dan niatku ini.

Haruskah aku berhenti sampai di sini saja?

Tidaaak! Batinku berontak. Aku tak mau putus asa dan putus harapan. Ayo! Wujudkan cita-cita dan niat tulusmu. Jangan engkau putus asa. Kalau putus asa, tak mungkin cita-citamu tercapai.

Dalam hati ini…

Tercipta dan tersimpan sejuta niat.

Ya… Niat untuk lebih baik

Hidup lebih baik dari sekarang ini

Hidup yang lebih baik dimasa datang

Hidup lebih baik dimasa depan.

Masa depan…

***

Sebuah kalimat yang saya tebalkan, perlu mendapat perhatian setiapkali saya sedang menangis. Apakah pelajaran, perbuatan, hasil pikiran yang dapat tercipta dari aktivitas yang satu ini?

Perempuan mudah sekali menangis. Ia menangis tidak hanya karena terluka. Namun, ketika keharuan dan kebahagiaan menerpa jiwanya, ia juga tidak jarang menyambutnya dengan menangis. Ai! Sungguh insan yang satu ini, penuh dengan perasaan. Apa-apa dirasa. Mengapa engkau menangis, teman?

Bukankah saat ini engkau sedang berpikir? Lalu, apa yang sedang engkau pikirkan? Heeey…, bangunlah sayang. Ini masih pagi. Mari kita melangkah lagi. Bukankah engkau ingin terus belajar, berbuat dan berpikir.

So, what are you waiting for? Keep moving! Then, share your more beautiful smiles in your day. Ke manapun engkau akan pergi hari ini, pergilah. Karena kehadiranmu sangat berarti. Namun satu hal yang pasti, hadirkan Allah dalam setiap kehadiranmu, di manapun saja engkau berada. Ini sudah cukup!

🙂 😀 🙂

   

 
1 Comment

Posted by on February 23, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , , , , , , , ,