Wajahmu memang tak manis, tapi engkau lekat dengan sapaan si Manis. Engkau memang tidak sedang tersenyum, namun ketika memandang padamu, membuatku segera melampirkan senyuman pada wajah ini.
Engkau ku Ching ta!
Kucing, tidak banyak dari kita yang tidak mengenal makhluk hidup yang satu ini. Bahkan, ada dari kita yang sangat tidak suka dengan yang namanya kucing. Mengapa?
Pernah pada suatu hari, saya menyaksikan sendiri dengan bola mata ini. Ketika ada seekor kucing yang sedang melintas di hadapan. Tiba-tiba, seorang yang sedang berada di sekitarku, segera kelabakan! Wah! Ada apa yang terjadi? Padahal, keadaan tidak ada yang berubah. Banyak orang sedang enjoy-enjoy dengan waktunya. Namun, seorang yang tadi itu, sedang mencari tempat sembunyi. Ia seakan menatap sesuatu yang sangat tidak ingin ia tatap. Ia berusaha mencari jalan, bagaimana cara menghindar. Entah apa yang ada di dalam pikirannya, saat itu. Namun, satu hal yang saya pahami adalah, beliau sedang ketakutan. Karena ada seekor kucing yang sedang melintas, di sekitar kami.
Dengan suara khasnya, sang kucing berkeliling, melangkahkan kaki-kakinya yang berjumlah empat. Kucing yang berbulu sungguh lembut apabila kita menyentuhnya, ada yang tidak suka, ternyata. Bahkan, saat melihat saja, ia tidak sanggup. Seperti fakta yang saya saksikan pada suatu hari dalam kurun waktu yang telah berlalu itu.
Wahai,… si Manis nan jelita, tidak semua menyukanya, ternyata.
Lalu, bagaimana denganmu teman? Engkau yang pernah mampir di mari, apakah engkau mempunyai pengalaman yang sama dengan yang baru saja saya ceritai? Xixixiii…. 😀 sorry, bahkan kalau salah satu dari seorang yang mengalami pengalaman serupa, adalah engkau. Engkau yang sangat geli dengan makhluk yang satu ini, baiklah mendekat, duduk di sini. Mari kita percakapkan tentang si Manis yang senangnya melamun, ini.
Kucing, belum banyak ku mengenal tentang ia. Karena, kucing adalah keluarga hewan yang sangat jarang ku bersamai. Walaupun demikian, setiap kali berjumpa dengannya, ada nuansa tersendiri yang menyelimuti relung hati. Ada keteduhan yang ia sampaikan lewat sorot matanya yang sedang menatap. Ia yang seringkali menyapa, terkadang kita abaikan. Kucing yang seringkali memanggil kita, dapatkah kita menyahut sapanya? Wahai, ku ching tha! Namanya si manis.
Pada suatu sore, dalam perjalanan menuju pulang, saya asyik sendiri. Langkah demi langkah terus menjejak bumi. Waktu demi waktu berlangsung tanpa saya sadari. Nah! Ketika itu, saya sedang melintas pada sebuah jalan yang sepi. Ada seekor kucing yang sedang bermenung diri. Ia merenungi keberadaannya di bumi, rupanya. Ai! Tidaklah dapat saya menerka, apa yang sebenarnya ia renungkan. Namun, ada yang mengusik diri ini, untuk segera menghampirinya, mendekati, lalu mengabadikan si Manis.
Kucing dengan bulu yang berwarna kelabu, putih bercorak hitam ini, sangat ingin kembali ku pandangi. Pada suatu hari yang akan datang, saat kami tidak bersama lagi. Yah! atas keyakinan ini pula, maka saya pun segera memotret si Manis, tanpa banyak pikir. Yes. Sukses. Satu kali, dua kali, dan beberapa kali, saya mencoba untuk memperbaiki arah potret. Hingga akhirnya, terpilihnya gambar di atas, sebagai yang terbaik. Seekor kucing dengan sorot mata yang sedang fokus pada diri ini.
Kucing, dari matanya saja, kita dapat mengambil hikmah. Adalah pesan yang sedang ia sampaikan, walau tanpa suara. Ada makna yang sedang ia tebarkan, meskipun tak tampak oleh mata kita yang sedang menatap. Dari sana, ada pesan cinta.
Cinta? Ada cinta di mata kucing? Sungguh! Di mana-mana, cinta itu ada, ini menurut hasil pengamatanku. Hohooo.. Meskipun dari mata seekor kucing sekalipun. Kalau engkau memandangku seperti ini, dengan sorot mata yang tajam seakan menyampaikan bait-bait pesan, engkau sedang menyampaikan cinta.
Ada mata yang sedang memandang, ada pesan yang sedang mengalir. Kita, engkau, siapapun yang seringkali bersua dengan kucing atau si manis mungkin segera bergumam, ai! Indah matanyaaa…
Kucing, makhluk hidup yang seringkali berlarian ke sana kemari. Untuk keperluan apakah ia bergerak? Kucing yang banyak orang memberinya nama. Nama yang melekat padanya, sesuai dengan kesukaan si pemberi nama. Si manis yang engkau namai, merupakan bukti bahwa engkau sedang menyampaikan pesan cinta, padanya. Ia yang sangat penurut, meski terkadang bawel sekali. Si manis yang suka pergi, tanpa pamit atau meminta izin. Si manis yang main-main sendiri, atau engkau yang mengajaknya bermain. Si manis yang lucu, memang saat ini sedang tiada di sisi. Kucing tersebut, entah berada di mana, kini. Namun, pertemuan kami yang hanya beberapa menit pada masa lampau, mengingatkanku pada satu rindu. Rindu pada Pemilik mata yang sedang menyorot tajam.
Teman, apa yang engkau pikirkan, ketika ingatanmu tiba-tiba mengalir? Engkau teringat dengan beliau yang sebelum ini pernah engkau temui, engkau bersamai, ataupun engkau sapa meski sekilas. Engkau yang pernah berjumpa dengannya, lalu menatap kedua bola matanya. Engkau yang belum mengenalnya, hanya sempat bersua saja. Engkau yang kemudian mengabadikan potretnya dalam ingatan dan bayanganmu. Engkau yang kemudian, membukanya lagi, mungkin sengaja ataupun tidak. Lalu, engkaupun menuliskan berbait-bait kalimat, tentang ia. Engkau merindukannya.
Potret seekor kucing yang pernah saya temui, pada sore hari dalam perjalanan, tanpa sengaja ku pandangi lagi. Kucing yang hanya ku jumpai beberapa menit saja. Ia yang ku jumpa tanpa perencanaan. Kucing yang sedang duduk dengan sendiri, sepertinya berpikir sangat dalam. Tidak ada senyuman dari wajahnya, karena memang tidak terlihat dengan tatapan mata yang nyata. Namun, dari sorot matanya yang tajam, ada pesan yang sedang ia sampaikan. Ada senyuman di matanya. Ada rindu yang tiba-tiba menyeruak rasa, ketika dua bola mata itu ku pandangi satu persatu.
Si manis dengan tatapan mata yang kadang terlihat sayu, memandangku penuh kelembutan. Ia yang tercipta tidak dengan sendirinya, tentu merupakan salah satu jalan bagi kita dalam memetik pelajaran. Karena, belajarnya kita, tidak hanya lewat materi yang tertulis di dalam rangkaian kalimat saja. Pun ada bahan pelajaran yang perlu kita pelajari dari alam yang membentang. Belajar dari alam, tiada akan pernah membuat kita puas dan apalagi merasa terpuaskan. Ingin kita kembali membuka lembaran demi lembaran yang sedang menawarkan bantuan. Ia bertanya, “Apa yang dapat kami berikan?”
Alam, terlihat sangat pendiam. Alam yang tidak banyak bicara, namun sekali bicara dapat mengagetkan. Yah! Seperti rintik hujan yang sedang berlangsung di luar. Malam saat ini, di sini. Saya yang semenjak tadi sedang asyik dengan seekor kucing dalam tatapan, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan, pada hujan.
Memang, begitulah saya selalu. Yang mudah sekali terbawa suasana. Pada suatu masa, terbuai pula oleh keadaan dan akhirnya menjadi penuh dengan perasaan. Seperti halnya perempuan, yang seringkali terbuai oleh apa yang ia ciptakan dalam pikirannya. Sungguh, masih ku belajar untuk mengerti, tentang semua ini. Termasuk ingatan yang seringkali muncul dan menunjukkan eksistensinya. Ingatan pada sesiapa saja yang pernah ia temui, ia bersamai, walaupun beberapa waktu saja.
Ingatan.
“Ketika mentari bersinar sungguh cemerlang, ingatlah aku wahai teman. Namun saat hujan mengguyur bumi dengan derasnya, maka ingatan yang berlebihan, akan segera mengalir padamu. Engkau yang seringkali mengulurkan bantuan, meskipun hanya dalam bayangan,” ini pesan hujan pada mentari yang sedang berada, sangat jauh dari tatapan.
Ketika hujan, teringatku pada sesosok ciptaan Tuhan. Mentari yang seringkali bersinar dengan cemerlang, mentari yang menyampaikan senyuman. Senyuman yang penuh dengan pesan. Pesan untuk kita abadikan, dalam berbagai kesempatan. Namun, ketika benderangnya tiada, terlarutkah kita dalam buaian ingatan yang terus menggemuruhkan deru perubahan? Ingatan yang tidak selamanya hanya ingatan, semoga dapat menjadi kenyataan.
“Esok, mentari bersinar cerah dan berseri,” yakinku.
Baiklah teman… Kembali kita kepada si manis yang sedang menatap. Potret yang memesankan inti dari perjalanan. Ya, karena potret tersebut berasal dari sesudut jalan di kota ini. Jalan yang sepi, tanpa banyak insan di sekitaran. Hanya ada Allah, aku dan kucing yang sedang merenungi diri. Pun malaikat-malaikat yang memantau kami. Selain itu, ada juga makhluk ciptaan-Nya yang lain, namun tidak terlihat. Mereka ada, selayaknya cinta.
Perlahan, ku mendekat pada si manis. Sangat hati-hati. Agar, tidak mudah ia berlari, lalu menjauh dan tidak terlihat lagi. Yah, begitulah yang pernah saya lakukan, sebelum akhirnya, si manis terabadikan. Sungguh, lembut pekertinya, menyambut sapa dengan senyuman. Dari sorot matanya, seakan ia bertanya, “Mengapa datang kemari?”
“Karena, ada rindu yang mengajakku untuk menemuimu, wahai manis…,” jawabku atas tanya yang tidak mengalir.
Bukan pula ilusi, atau lagi sejenis imajinasi. Kucing seakan bertanya dengan ramahnya, seraya menyampaikan pesan dari sorot mata yang berkelipan. Saat itu, mata kucing sedang membuka. Sungguh indahnyaaa… inginku menatapnya berlama-lama. Namun, untuk menghabiskan waktu bersamanya, tidaklah menjadi pilihan. Hanya iseng, untuk menikmati perjalanan, ini yang ku lakukan.
Teman, ada waktunya kita melakukan sesuatu, tanpa pernah kita tahu, mengapa kita melakukannya. Aktivitas yang kita laksanai dari waktu ke waktu. Aktivitas yang tanpa kita sadari, ternyata telah mencuri banyak perhatian kita. Lalu, ingin kembali melanjutkannya, pada waktu yang lain. Setelah kita melakukannya pada saat ini. Inikah cinta?
Teman, sebagaimana halnya engkau yang akhirnya sampai ke sini, tanpa pernah engkau mengingat, sudah berapa kali engkau mampir dan menyempatkan waktumu. Adalah karena cinta, engkau melakukannya lagi, meski tanpa ku tahu.
Sejenis ingatan yang hadir lagi dan tiba-tiba mengajakmu datang, adalah cinta.
Kemudian, engkau menyiapkan mata terbaikmu untuk menatap huruf demi huruf yang tercipta. Agar engkau dapat menangkap beberapa pesan yang terselip diantaranya. Dengan cinta, engkau melakukannya. Satu persatu, kata demi kata engkau telusuri. Hingga pada akhirnya, engkau berkata, sebagaimana engkau memikirkannya. Sungguh, engkau cinta membaca. Kalau tidak, kita belum akan dapat berjumpa, meski dalam bait-bait kata.
Serasa pertemuan telah menjelang segera, membawa kita ke kebun bunga penuh senyuman. Ada mekarnya yang sedang kita pandang, dengan mata yang penuh kesegaran. Ada pesan yang kita coba pahami, di setiap helai kelopaknya yang berwarna-warni.
Cinta, tidak hanya sebuah kata yang kita suarakan. Tidak pula rangkaian huruf-huruf yang terdiri dari lima jenisnya. Namun cinta, ada di mana saja. Dari sorot mata si manis yang sedang tertegun, melalui tetesan hujan pada malam yang kelam ataupun lewat ingatan yang mempertemukan kita.
Untuk membuktikan kecintaanmu, engkau melanjutkan aktivitas yang sangat engkau sukai. Sekalipun engkau tidak memahami, sebelumnya. Engkau masih mengusahakan untuk mengerti, seraya menjalani. Dengan cinta, engkau berangkat setiap hari, melangkahkan kaki.
Terkadang, engkau bersua dengan beliau-beliau yang membuatmu segera tersenyum saat menikmati waktu. Terkadang pula, engkau masih bersedia menjalani waktu bersamanya, padahal kebahagiaanmu sedang terangkat nun jauh ke ujung semesta. Tapi engkau tidak lagi pedulikan semua. Cintamu telah melekat pada apapun yang sedang engkau laksana.
Sungguh ajaib!
Cinta.
Engkau yang tidak dapat menatap wujudnya dalam nyata, merasakan kehadirannya. Bersama ingatan yang engkau bangun, luruhlah segala bersama waktu. Engkau teringat pada awal langkah yang engkau ayunkan. Dari sana engkau berpedoman. Sampai akhirnya, pertemuanmu dengan si manis yang mungkin engkau suka atau tak suka.
Mengapa, teman? Mengapa? Mengapa engkau tidak suka saat berjumpa dengannya yang menatap dengan sorot mata penuh cinta? Bagaimana engkau menghindar darinya yang berusaha mendekatimu? Mengapa engkau tiba-tiba ingin menjauh, berlari, padahal banyak yang sedang berada di dekatmu, mereka enjoy-enjoy saja. Adalah pesan sedang menyapamu, untuk memberikan ingatan pada Pemilik mata yang sedang menatap. Ada keteduhan yang sedang ia sampaikan, ke relung jiwamu terdalam.
Si manis yang sedang berada di dekatmu, tentu tidak ada dengan sendirinya. Ia ada, karena bermakna. Selamanya begitu, tidak akan pernah usang oleh perjalanan waktu yang terus bergulir. Sesiapa saja yang kita temui, ataupun menemui, ia sedang menitipkan kita cinta. Adakah kita memahaminya? Maukah kita menyelaminya? Dapatkah kita memetik hikmah dan makna bersamanya?
Kalaulah kita menghindar dari sesiapa saja yang menjadi jalan sampaikan pesan, lalu kapan lagi kita dapat menerima pesan? Kalaulah pada awal-awal pertemuan, kita bersenyuman atas keadaan yang sangat kita sukai, bagaimana mungkin di ujung-ujung kebersamaan, kita abaikan arti senyuman?
Ketika kita belum memahami keadaan, kita lakukan apa yang mesti kita jalankan. Bersama kemauan yang kita munculkan, akhirnya tercipta pertemuan. Nah! Ternyata, dalam menjalani waktu-waktu yang berikutnya, kita merasakan nuansa yang tidak lagi sama dengan sebelumnya, lalu kita mau menghilangkan ingatan. Wahai sungguh bukan hal yang demikian kita harapkan.
Memang ingatan sangat tidak mudah tertinggalkan. Semoga bersamanya kita dapat memperoleh bahan pelajaran. Untuk menjadi bekal dalam mengumpulkan pesan. Bukankah alam adalah guru yang sedang mengajarkan kita tentang segala yang kita belum tahu? Adalah baik kiranya, kalau kita terus memperluas wawasan, membuka pikiran. Lalu, mencari tahu makna yang berikutnya, dari sebuah ingatan.
Ingatan pada teman, misalnya. Ingatan pada sorot mata kucing yang tertangkap di jalanan, misalnya. Atau ingatan pada alam-Nya yang membuat kita tiba-tiba ingin menghindar. Seperti halnya seekor kucing yang juga ciptaan Allah. Setiap kali bertemu dengan makhluk yang satu ini, ada rindu yang menelusup qalbu,…
Adalah satu rindu yang mengingatkan diri ini pada Sang Penciptanya. Si manis yang seringkali mentafakuri diri. Si manis yang sering menyapa saat kita mendekatinya. Si manis yang bersungut, namun tidak pernah bersungut-sungut. Ia bersyukur tercipta sebagai kucing, bersama postur tubuh yang unik.
Si manis berkumis tipis,
helainya tidak banyak, memang…
itulah yang membuat ia terlihat manis,
meski tanpa senyuman yang terlihat nyata,
sebagaimana cinta yang tanpa raga,
namun ia sedang mensenyumi kita yang tersenyum padanya,
🙂 🙂 🙂