RSS

Yes! Ajiiib

14 Mar
Yes!

Yes!

Adek Nazif. Ajiiib panggilannya. Balita lucu yang sempat bercakap-cakap dengan saya beberapa lama, sore tadi. Ya, beberapa menit sebelum melangkahkan kaki keluar dari gerbang istana tempat berlindungnya Ajib hari ini, saya sempatkan waktu untuk menemuinya, mendekat padanya. Ia yang sedang bermain-main dengan Teh Rara, sangat ceria saat itu. Saya sukaaaa… Saya senang menatap kedua bola matanya yang bening. Tatapan yang ia pancarkan, penuh dengan keringanan. Inginku tenggelam di dalamnya, untuk merasakan kesejukan. Kesejukan? Yes! Karena beberapa waktu sebelum berjumpa dengan Dek Nazif, saya beraktivitas sebagaimana biasa. Aktivitas yang membuat pikir ini perlu menjelajah nun  jauh ke ujung negeri. Aktivitas yang membuat pikiran perlu terus bergerak.

“Pikirkanlah, introspeksi,”  begini bunyi salah satu pesan yang ingin ku agar ia abadi. Sehingga segera saya  menitipkannya pada salah satu lembaran catatan ini. Sebuah kalimat yang hanya terdiri dari dua kata, sangat berkesan hari ini. Ya, kata-kata yang meminta kita untuk kembali memanfaatkan waktu untuk berpikir, kemudian berintrospeksi diri. Buat apa kita ada di sini, saat ini? Adalah ia menjadi sebaris tanya yang hadir, setelah kalimat tersebut hadir.

Masa untuk berpikir sedang menemani kita saat ini. Demikian pula dengan waktu untuk berintrospeksi. Sekarang, adalah kesempatan terbaik untuk melanjutkan kedua aktivitas yang bermakna.  Aktivitas tersebut terdiri dari berpikir dan berintrospeksi. Wahai diri, bagaimana dengan aktivitas yang engkau lakukan pada waktu sebelum saat ini hadir? Apa sajakah yang telah engkau lakukan dalam rangka mengabdi? Bagaimana engkau melakukan semua itu? Sudahkah engkau melakukan dengan sebaik-baik upaya yang engkau optimalkan pelaksanaannya?

***

Pagi tadi. Sebagaimana biasanya, saya berangkat beraktivitas. Sebelum jarum jam menjejak pada angka delapan, saya sudah mesti sampai pada lokasi tujuan. Karena, memang begini jadwal yang perlu saya taati hingga saat ini. Berangkat lebih awal dari biasanya, dan datang lebih dahulu dari rekan-rekan yang lainnya. Ya, sebelum para sahabat yang akan melanjutkan perjuangan bersama, datang… maka saya sudah terlebih dahulu ada. Ai! Rajin amat, yach! Ini adalah kehendak diri. So, enjoy it.

Selagi kita mau untuk berusaha dan berupaya, maka jalan terbuka senantiasa. Hanya perlu kemauan kita untuk menunjukkan bukti atas tekad yang terpatri jelas di relung sanubari. Ketika niat telah kita lahirkan, maka melangkah untuk menjadikannya nyata dengan upaya terbaik, perlu kita lakukan. Saat mentari masih bersinar menerangi bumi, maka saat itu adalah kesempatan kita untuk kembali melangkah. Meskipun jejak-jejak yang sedang kita tapakkan terkadang tanpa bekas. Walaupun apa yang kita lakukan tidak terlihat dengan jelas. Namun, yakinlah bahwa tiada satu kesia-siaan atas tekad yang telah kita pancangkan. Teruskan berbuat.  Selagi kita yakin akan apa yang sedang kita laksana, maka tidak ada satupun yang dapat menghalanginya.  Semoga beliau juga mengerti, akan segala bakti.

Semestinya, waktu pagi yang merupakan pembuka hari, dapat kita pergunakan untuk memulai langkah-langkah lagi. Langkah yang telah kita ayunkan sebelum bertemu dengan mentari. Ya, lanjutkan ia.

Selangkah demi selangkah, kaki-kaki ini bergerak. Maju, untuk mencapai arah yang sedang ia tuju.  Tidak berapa lama kemudian, ia pun bertemu dengan kendaraan umum yang akan menjadi jalan sampaikannya lebih cepat pada tujuan.

Nyampe bahagia, Pak,” tanya saya pada Bapak  Supir, sesaat setelah beliau memperlambat laju mobil.

(Bapak supir mengangguk, melayangkan pandangan kepada saya)

Meskipun tanpa jawaban yang beliau sampaikan, namun saya mengerti bahwa beliau menyetujui apa yang sedang saya sampaikan. Lalu, dengan segera, saya pun mengangkat kaki kanan terlebih dahulu. Hup! Secepat kilat, saya telah berada di atas kendaraan umum berwarna orange, ini. Angkot jurusan Caringin – Dago, adalah tumpangan yang setia saya cegat hampir setiap pagi. Ya, agar lebih segera sampai ke bahagia. Bahagia yang merupakan nama sebuah minimarket. Minimarket tersebut berlokasi sangat dekat dengan tempat di mana saya beraktivitas selama hampir empat tahun. Ai! Empat tahun? Sudah begitu lama, yaa. Tempat beraktivitas yang saya kunjungi dengan langkah-langkah ringan. Tempat aktivitas yang saya temui dengan senyuman yang menebar. Bahagia yang merupakan  sebuah kata, adalah pemicu diri ini untuk kembali mendekat padanya. Setiap pagi, pada hari-hari tertentu, dengan sepenuhnya langkah ini bergerak menuju padanya.

Sangat jarang kiranya, diri ini absen dari padanya. Kecuali pada hari-hari libur ataupun tanggalan merah. Dapat dipastikan, saya sedang melangkah menuju bahagia, kalau bukan liburan. Bahagia. Ai! Satu kata yang saya simak dengan penuh konsentrasi. Beberapa saat setelah Teh Novi, salah seorang sahabatku ketika masih menempuh pendidikan dulu, menyampaikan pesan. Beliau adalah kakak tingkatku.

“Nanti berhentinya, di depan bahagia, yaa. Bilang aja ke supirnya, nyampe bahagia,” ungkap beliau padaku, via telepon. Ya, pada saat ada keputusan yang saya terima, bahwa saya perlu mengikuti wawancara kerja, di lokasi beliau sedang beraktivitas. Inilah pengalaman pertamaku memasuki dunia kerja. Mendapat panggilan wawancara untuk sebuah pekerjaan? Siapa yang tidak bahagia? Siapa yang bakal menolak? Siapa pula yang tidak ingin mengikutinya? Inilah yang sedang saya alami pada waktu itu. Meski sedetikpun belum pernah terbayang dalam pikiran ini, bagaimanakah lokasi yang akan saya tempuhi? Adakah bahagia itu berlokasi pada sebuah tempat yang menyejukkan? Apakah bahagia itu?

Tanpa banyak membuang waktu, keesokan harinya, tepat satu hari setelah menerima telepon dari Teh Novi, sayapun menuju bahagia. Ya, sesuai dengan petunjuk yang beliau (Teh Novi) berikan, saya mencatat beberapa buah kata kunci yang dapat mempermudah langkahku  mencapai tujuan.

~*..Naik angkot berwarna orange yang menuju ke arah Dago, lalu berhentinya di depan Toko Bahagia..*~

Petunjuk tersebut, saya berusaha pahami. Semalaman, ia teringat dalam pikiran. Seharian ia menjelajah ruang kehidupan. Semoga selamat sampai tujuan, begini bunyi tekad yang saya titipkan pada ruang jiwa. Semoga kita dapat mencapai tempat yang ingin kita tuju. Semoga, jalan kita mendapat kemudahan. Semoga, kita dapat menemui bahagia yang sedang kita harapkan.

Berangkat lebih awal dari jadwal yang seharusnya, adalah salah satu langkah untuk merasakan ketenangan dalam perjalanan. Apalagi daerah yang akan kita tuju merupakan tempat yang sangat asing. Ya, kita belum pernah ke sana, sebelumnya. Nah!  Ditambah lagi ini adalah untuk keperluan wawancara kerja, pertama kali. Bersama aneka rasa yang bercampur menjadi satu, terciptalah rasa tak menentu. Itu yang saya alami ketika itu. Hari ini, hari yang terbaik. Kita perlu melakukan yang terbaik. Kita ada saat ini, untuk menunjukkan siapa kita yang sesungguhnya. Walau bagaimanapun hasilnya nanti, semoga ia adalah yang terbaik.

Dengan menggunakan kostum hijau muda bercorak lingkaran yang berwarna putih pada kerudung yang saya pakai waktu itu, senyuman menebar dari wajah ini. Tas tangan berwarna hitam, dengan hiasan bulat-bulat di pinggirannya, menjadi tempat untuk menyimpan aneka alat tulis. Ada pulpen berwarna hitam, binder dan beberapa dokumen penting, sedang berkumpul di sana. Dengan berhias secukupnya, saya merasa paling cantik saat itu.  😀 Ya, karena seulas senyuman sedang mengembang dengan indahnya, pada wajahku. Wajah yang selama ini sangat jarang banget berpoles make up, tiba-tiba menjadi merona.  Pemerah pipi sederhana, bertemankan lipstik merah muda, membawa aura yang berbeda. Kesegaran menebari seluruh raga. Pikiran teruskan perjalanannya. Mengingat-ingat petunjuk yang Teh Novi sampaikan, terus ia lakukan. Sedangkan jiwaku yang sedang berbahagia, membawa sejumput harapan. Harapan yang ia semaikan dari detik ke detik waktu. Hati yang berupaya untuk membuktikan, bahwa ia sedang memberikan kontribusi pula.

Bahagia terasa. Ketika teman-teman yang lainnya sedang meneruskan perjalanan untuk belajar, kita ada kesempatan untuk memenuhi panggilan wawancara. Saat teman-teman yang lain sedang berangkat menuju kampus tercinta, kita sedang melangkahkan kaki menuju bahagia. Saat teman-teman yang lain berangkat dengan membawa peralatan serta perlengkapan untuk belajar, kita sedang mempersiapkan diri untuk rangkaian pertanyaan. Ketika teman-teman yang seangkatan sedang menulis materi perkuliahan yang dosen sampaikan, maka kita sedang mengisi jawaban tertulis dari soal-soal psikotest. Teman, kita sama-sama berjuang. Namun, lokasi kita berbeda. Kita sama-sama melanjutkan langkah pada waktu yang sama.

Sebuah niat untuk melakukan yang terbaik, terlanjur hadir. Senyuman yang terukir telah terlihat. Ia memberikan jawaban atas berbagai upaya yang kita lakukan pada masa-masa yang sebelumnya.

“Semoga sukses, yaa…,” begini kalimat yang Ibu Anna sampaikan, sehari sebelum saya berangkat menuju bahagia.

***

Beberapa waktu lagi, saya akan bekerja. Saya akan menjadi mahasiswa yang kuliah sambil bekerja. Aha!  Inilah bait-bait kalimat yang pernah saya baca dulu, ketika masih berada di kampung halaman tercinta. Kalimat yang saya baca dari sebuah buku usang. Buku yang mengisahkan tentang bagaimana suka-duka yang dialami oleh sesiapa saja yang bekerja sambil kuliah. Sungguh mengesankan! Semoga kita dapat menjalaninya dengan sebaik-baik kenangan untuk kita prasastikan.

“Setelah sampai nanti,  bilang saja kepada sesiapa yang bertemu bahwa Yani datang untuk memenuhi panggilan wawancara kerja,” tambah Teh Novi pada hari sebelumnya.

***

Bagaimana kita berpikir, ketika akan menempuhi daerah baru yang sangat asing bagi kita? Apakah yang sedang kita usahakan untuk dapat mencapainya? Pasti banyak kesan yang hadir setelahnya. Apalagi kalau kita ternyata menemui banyak keadaan yang sebelumnya tidak pernah kita bayangkan. Seperti nyasar, atau sejenisnya. Hahaaa…   😀 kesan pertama itu memang selalu menyenangkan. Karena ia memberikan kita satu cerita gratis, untuk kita abadikan.

Alhamdulillah, setelah menumpang angkot orange yang menuju ke arah Dago, dan memberikan informasi kepada supir untuk menurunkan di depan Toko Bahagia, saya pun duduk manis. Tepat di belakang supir, adalah posisi yang saya ambil pada saat itu. Ya, agar menjadi lebih dekat dengan supir. Sekaligus agar mempermudah tanya tersalurkan.

Cukup menempuh perjalanan tidak sampai sepuluh menit, akhirnya angkotpun sampai di depan Toko Bahagia. Bapak supirnya bilang,  “Di sini bahagia, Neng.”

“Baik Pak, terima kasih ya, Pak,” senyuman terukir dari wajah ini, ketika menyerahkan lembaran rupiah pada supir.  Setelah deal akhirnya supirpun melaju. Sedangkan saya, berdiri, melirik ke kiri dan ke kanan, berusaha untuk menemukan titik fokus.

Benar, di depan sana ada Toko Bahagia. Lalu, di manakah lokasi gedung yang akan saya tuju?,” bercakapku dengan diri sendiri. Bertanya, lalu melayangkan pandangan ke sekeliling.  Pertama-tama ke ujung jalan dari arah saya berasal. Kemudian, ke ujung jalan, arah yang sedang ditempuh oleh mobil orange yang tadi saya tumpangi.  Ku ikuti arah angkot yang melaju, dengan pandangan.  Kemudian berpaling lagi ke arah semula. Lalu, berpaling ke sekitaran. Tidak ada siapa-siapa yang sedang melintas, untukku bertanya. Ke mana dirimu wahai insan?

Belum sampai lima menit berdiri di tempat yang sama, tiba-tiba satu angkot orange terlihat dari kejauhan. Lama kelamaan, sang angkot mendekat, lalu berhenti tidak jauh dari tempatku berdiri. Agak ke depan sedikit. Beberapa detik kemudian, seorang muslimah keluar dari angkot. Dengan kostum yang membuatku tenang saat menatapnya, jiwa ini menjadi damai. Segera, senyuman lebar mengembang dari wajahku. Ada bahagia yang tidak dapat terungkap dengan kata-kata, ketika itu. Ada perasaan nan membuncah serasa menggemuruh di relung qalbu.

“Wahai, Tetehkuuuuuuuuuu…..,” setengah berteriak, bibirku yang sedari tadi membisu, mengeluarkan suara merdu. Muslimah yang tadi saya lihat adalah Teh Novi. Senangnya, bertemu orang yang kita kenal di tempat yang baru. Bahagianya, berjumpa dengan wajah yang pernah kita tahu, di tempat asing.  Sungguh, haru.

“Hai, sudah datang aja, Yan!, pagi banget,” sambut beliau. Setelah kita bersalaman, berpelukan, dan saling pandang. Kami saling terpana. Aku belum  percaya. Ini tidak biasa. Ini adalah pengalaman pertama.

“Sudah lama?,” tanya Teh Novi lagi.

“Belum juga Teh,” jawabku dengan kagum yang menyeluruh.

“Mariiiiiiii, kita masuk,” ajak beliau kemudian.

Lalu, kami saling bergenggaman tangan. Saya berjalan di samping beliau. Dengan senyuman yang mengembang indah, kami melanjutkan langkah. Beliau telah terlebih dahulu menjalani aktivitas di tempat yang baru saya datangi. Teh Novi adalah seniorku. Yes! Akhirnya kita bertemu, bersama di tempat ini. Kami melanjutkan langkah, dengan saling mengajukan tanya. Menyelipkan tawa diantara senyuman, kemudian berpandangan lagi.  Kamipun sampai di dalam sebuah ruangan.

“Silakan tunggu di sini dulu, yaa…,” dengan suara yang ramah, beliau mempersilakan saya duduk di sebuah kursi dengan meja yang bundar di hadapan. Kursi tersebut berwarna biru. Biru cerah yang empuk. Saya sedang asyik menikmati waktu dalam penantian. Ketika tidak berapa lama kemudian, sesosok wajah keibuan yang berukir senyuman, datang. Beliau adalah Ibu yang akan mewawancaraiku. Beliau adalah yang menyampaikan jawaban, bahwa saya layak untuk mendapatkan panggilan wawancara untuk sebuah pekerjaan. Beliau adalah Ibu yang penuh dengan kelembutan. Wajah yang saya pandangi dengan senang hati. Ibu yang baik. Cantik. Inilah kesan pertama yang saya peroleh setelah bertemu dengan beliau.

***

Pagi tadi, ketika saya menerima satu kalimat yang terdiri dari dua buah kata, “Pikirkanlah, introspeksi” adalah tepat di depan kursi saat saya menjalani interview  dulu. Sedangkan yang menyampaikan kalimat tersebut pada kami, adalah beliau, Ayahanda dari Dek Nazif.

Saat pertama kali saya datang ke tempat yang saya manfaatkan untuk beraktivitas hingga hari ini, Dek Nazif belum ada. Namun kini, telah bertambah permata jiwa Ayah dan Bunda.

“Beraktivitas dengan penuh kekeluargaan, sungguh sangat mengesankan.”

Semoga, silaturrahim antara kita dapat terus terjaga, meskipun nanti kita belum lagi dapat bertatap mata. Semoga  Dek Nazif menjadi anak yang shaleh yaa. Ekspresi jempol yang Dek Nazif pertunjukkan saat ini, semoga kembali tercipta ya Dek, kelak saat kita berjumpa dalam kata. Tentu saja bersama senyuman yang mengembang lebih ekspresif lagi. Selamat bertumbuh, sayang… Engkau adalah generasi penerus yang Ayah dan Bunda perjuangkan.  Ajiiiib, Yes!

🙂 🙂 🙂

 
Leave a comment

Posted by on March 14, 2012 in Paragraf-paragraf Sahaja

 

Tags: , , , , ,

-Write even one word, now. Then, it is describing who are you?-